Realita adalah Hiperrealita, Sebuah Pola
Realita kebutuhan, sebuah kata yang sering disalah artikan. Keingingan dan kebutuhan dikaburkan dengan sebuah perasaan. Alih-alih sebuah keinginan, maka disebut sebagai kebutuhan. Kita hidup dalam dunia dimana realita sudah berada diatas realita. Realita yang sebenarnya tertutup oleh realita yang dibangun berdasarkan “zaman” dan teknologi yang semakin canggih seperti sekarang.
Dengan begitu banyaknya “kebutuhan”, kita lupa bahwa kebutuhan yang memang kebutuhan merupakan dua hal yang berbeda dengan kebutuhan yang sebenarnya sebuah keinginan. Keinginan tersebut membawa kita kedalam satu lingkaran yang memaksa diri kita untuk terus bergerak untuk memenuhinya.
Konsumsi akan terus dilakukan mengingat begitu banyaknya “kebutuhan” yang harus dipenuhi. Konsumsi yang awalnya hanya berkutat pada sandang, pangan dan papan. Kini telah bergeser secara tajam.
Kebutuhan akan eksistensi seakan mengajak kita untuk lebih banyak lagi melakukan konsumsi. Masyarakat konsumsi yang kerap disebut oleh seorang filsuf Perancis bernama Jean Baudrillard merupakan sebuah gambaran realita yang ada sekarang.
Masyarakat dibawa oleh para kapitalis untuk terus menghamburkan uang mereka untuk menjadi seorang yang konsumtif. Demi apa? Demi eksistensi mereka di ruang publik. Demi eksistensi mereka di sosial media.
Kehidupan kejam yang ada di sosial media tak sedikit membuat para penggunanya menjadi “gila” dengan terus-terusan harus membuat sebuah konten. Bahkan tidak jarang, terjadi kesenjangan sosial akibat sosial media ini.
Ada sebuah film menarik yang menggambarkan keadaan konsumtif seperti ini, yaitu film The Confessions Of a Shopaholic.
Diceritakan dimana tokoh utamanya yang bernama Rebecca, mempunyai kebiasaan berbelanja yang sangat berlebihan, sehingga disebut sebagai shopaholic. Kebiasaan Rebecca dalam berbelanja sudah sangat akut sehingga tidak jarang membuat dirinya terlilit oleh hutang.
Berjalan lurus dengan realita yang ada sekarang, dengan menjamurnya pinjol (pinjaman online), memudahkan seseorang untuk berbelanja tanpa perlu mengeluarkan uang banyak secara langsung, mereka bisa berhutang terlebih dahulu, yang terpenting adalah mereka bisa bergaya dengan banyaknya konsumsi yang dilakukan.
Secara filosofis, kita telah hidup dalam yang namanya hiperrealita. Realita yang ada telah dikonstruk sedemikian rupa, sehingga terlihat sebagai realita yang sebenarnya.
Jika dikatakan dalam bahasa gaul, disebut sebagai dunia tipu-tipu. Yang jarang disadari bahwa kita telah terjebak dalam hiperrealita.
Contohnya apa? Hal kecil saja. Di sosial media, setiap kegiatan yang kita lakukan, wajib kita jadikan status atau unggahan. Realita di sosial media tersebut kita bangun sedemikian baik, untuk menutupi realita yang sebenarnya.
Sehingga orang yang tidak mengetahui diri kita sebenarnya, akan melihat semua unggahan itu sebagai bentuk realita.
Dibalik itu semua, realita yang sebenarnya terbungkus rapih tak bercela. Lucunya, para filsuf seakan bisa “meramalkan” apa yang akan terjadi di masa sekarang, jauh sebelum hari ini datang.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, tidak menutup kemungkinan bahwa realita akan semakin kehilangan dirinya dan berganti semua menjadi hiperrealita.
Tentu tidak ada yang salah dengan menganut paham konsumtif atau shopaholic. Yang salah adalah ketika sebenarnya terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi itu semua, namun tetap memaksakan diri untuk memenuhinya, sehingga menggunakan segala cara dan menghalalkan segalanya.
Realita memang tidak selamanya indah, bahkan sebenarnya realita itu berat, sehingga banyak yang akhirnya mencoba “kabur” dari realita tersebut dengan membuat sebuah hiperrealita.
Realita pahit yang suka tidak suka ada dan akan selalu ada. Tinggal kebijakan dari kita secara pribadi untuk memilihnya saja.
Perilaku konsumtif yang tidak terkontrol dan terkelola dengan baik, juga turut akan berdampak kepada lingkungan.
Tahukah kamu, bahwa apa yang kamu makan dapat berpengaruh pada keberlangsungan alam semesta tempat kita tinggal ini? Ya. Pada kenyataannya, apa yang tersaji diatas piring kita, tidak hanya semata menjadi energi dan gizi bagi tubuh kita. Tapi juga dapat berpengaruh pada alam dimana kita tinggal.
Mengapa demikian? Coba sejenak kita lebih turun ke bumi, jangan terus berada diatas. Coba lihat sekitar lebih luas lagi. Pernah gak kamu berpikir bahwa satu kilo telur yang kamu beli di pasar itu dihasilkan dari apa saja?
Baca juga: Menyelamatkan Dunia dimulai dari Piring-mu!
Editor: Jibriel Firman
Tanggapan