Tambang Pasir Laut Dikata Investasi, Nelayan Dianggap Anarki

Adakah kalimat sakti yang mampu meredam semua protes dan mengampuni segala penindasan oleh negara selain “Demi Pembangunan”? Tentu tidak!

Maaf menyela dan tidak memberikan ruang bagi kalian untuk menjawab pertanyaan saya. Sebab pertanyaan ini lahir bukan untuk dijawab, melainkan untuk membuka diskusi yang lebih luas:

Apakah benar pembangunan nasional mampu mengerek rakyat setempat menuju tanah yang dijanjikan?

Begitupun soal penambangan pasir laut. Sudah jelas bahwa kegiatan tambang ini bukanlah penghidupan masyarakat setempat. Nelayan adalah mereka. Mereka adalah nelayan. Ikan, kepiting, dan terumbu karang menjadi daya hidupnya.

Lalu datanglah sepeleton kapal-kapal tongkang yang tak hanya membawa misi menambang pasir namun juga membonceng mantra sakti: “Demi Pembangunan Nasional” .

Kedoknya adalah investasi. Sebab investasi akan berdampak pada kondisi makroekonomi lalu bisa menggenjot pembangunan nasional dan membawa negara ini keluar dari jebakan middle-income trap lalu bimsalabim, selamat datang di Indonesia Emas 2045.

Begitu kata pemerintah. Begitu kata investor. Begitu kata penambang. Supir kapal tongkang? Cuma manggut-manggut sebab ia hanya mengemudi cita-cita penggede-nya. Tidak lain.

Lalu bagaimana dengan masyarakat setempat, para nelayan? Meski sama-sama supir kapal seperti halnya pengemudi kapal tongkang, mereka ogah untuk manggut-manggut begitu saja.

Bayangkan anda masih mengangguk sementara nyawa sudah dipiting? Tinggal menunggu waktu mampusnya saja. Jelas tidak terbayang sebab kita bukanlah nelayan yang daya hidupnya dirampas para penambang pasir laut.

Tidak butuh otak sekinclong Einstein untuk paham betapa kejinya penambangan pasir laut di wilayah tangkapan para nelayan. Begini, proses penambangan pasir laut tidaklah seperti dokter bedah yang jeli dan butuh kehati-hatian. Barangkali sebab terumbu karang, ikan, dan ragam biota laut tak dipandang bernyawa sehingga prosesinya pun blingsatan.

Imbasnya, penurunan kualitas lingkungan perairan laut, pesisir pantai, meningkatnya pencemaran pantai, menyebabkan abrasi, erosi pantai dan banjir rob. Pada akhirnya, timbulnya konflik sosial antara masyarakat yang pro-lingkungan dan para penambang pasir laut.

Apakah berhenti sampai disitu? Tentu tidak. Aktivitas tambang yang cenderung “kasar dan keras” jelas merusak ekosistem ikan dan fauna lainnya. Terumbu karang dilibas yang membuat hewan-hewan laut, yang nantinya jadi penghidupan nelayan, tewas.

Bila selamat, mereka jadi tunawisma. Hilang hunian. Bingung dimana hendak berkembang biak dan memijah. Bayangkan saja ketika Bunda Maria bersandar di batang pohon kurma hendak melahirkan Yesus lalu tiba-tiba ditebang oleh perusahaan kayu demi lancarnya pembangunan Kota Betlehem. Gila memang. Namun, begitulah adanya.

Singkat kata, matilah generasi penerus penghidupan nelayan. Makin sejahtera? Tanyakan kepada nelayan. Bagaimana bila tanya kepada penambang atau penguasa? Tidak apa apa, ujar mereka, pastinya. Toh demi pembangunan nasional, imbuh mereka, pastinya.

Lalu rakyat pesisir, para nelayan yang selalu dicitrakan nerimo dan hidup sederhana itu, bangkit melawan. Penambangan pasir oleh PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara (PT SSN) di kisaran perairan Pulau Sekopong, Lampung Timur, sukses menyandera kehidupan para nelayan.

Tak terima, nelayan balik menyandera tongkang-tongkang besi itu. Rekonsiliasi, lalu kedua kubu bersepakat untuk tidak ada penambangan di daerah tangkapan. Selesai? Tentu tidak.

Penambangan terus lanjut, begitupula dengan resistensi rakyat setempat. Puncaknya, kalau bisa dibilang puncak sebab mestinya tidak ada puncak dalam perlawanan selama tujuan belum tercapai, adalah pembakaran kapal penambang pasir laut oleh seorang nelayan bernama Safrijal. Singkat cerita, ia diringkus aparat.

Jelas, mana mungkin dibiarkan bila mengganggu stabilitas perekonomian dan arus investasi. Bukan kata saya, itu kata penguasa yang sering saya dengar di televisi.

Bagi nelayan, Safrijal pahlawan. WALHI pun mengamini. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia tak luput. DPRD? Mereka turut dalam gerbong pembelaan atas Safrijal. Asep selaku anggota Komisi II DPRD Lampung menegaskan bahwa pihaknya akan memberi bantuan hukum kepada Safrijal.

Lalu bagaimana dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung? Di tengah-tengah. Setidaknya begitu yang diungkap Nunik selaku Wakil Gubernur Lampung. Kenapa mesti jadi Pemprov kalau hanya ingin di tengah-tengah?, pikir saya. Mengapa tidak jadi, katakanlah, wasit sepakbola saja?, pikir saya lagi.

Nunik lantas menyoroti tindakan anarkisme warga sehingga terbakar satu unit kapal penambang pasir laut, ujarnya sambil mencoba melupakan berapa hektare terumbu karang yang tandas dan berapa unit hewan-hewan laut sumber penghidupan nelayan yang dibikin mampus penambangan pasir laut.

Lagipula,pernyataan Nunik yang menyamakan kerusuhan dengan tindak anarkis semakin menenggelamkan penguasa pada sesat pikir soal anarkisme itu sendiri.

Tulisan ini bukan diklat ideologi anarkisme. Namun singkatnya, ideologi ini menganjurkan penolakan atas segala otoritas yang mengekang dan tidak relevan dengan lapangan kehidupan manusia secara riil. Negara salah satunya. Demi menumpas paham ini, disandingkanlah gagasan anarkisme dengan tindak ricuh cum brutal.

Padahal ketika rakyat sudah mulai tidak percaya kepada negara, seperti yang akhir-akhir ini marak lewat slogan “Mosi Tidak Percaya”, seyogyanya itu bisa saja dikatakan tindak anarki. Tentunya dengan definisi yang sesuai. Bukan penyandingan sesat oleh negara tadi.

Bagaimana bila rakyat kian anarkis, kian tidak percaya pada rezim? Apa yang mesti dilakukan penguasa? Tentulah berkaca dan evaluasi. Dan tentunya pula, itu tidak akan dilakukan oleh mereka. Apa yang dilakukan hanyalah terus menambah derita rakyat sambil membius dengan kata-kata magis. Lagi-lagi, pembangunan nasional.

Resolusi konflik sempat menemui titik terang dengan diterbitkannya Perda Lampung tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) tahun 2018 dengan pengaturan pemanfaatan yang cukup adil. Nelayan mendapat hak konstitusinya soal  laut (zona tangkap) yang bersih dan kelompok penambang punya jatahnya sendiri tanpa perlu serobot sana-sini.

Namun belum lagi Perda ini terimplementasi dengan konkret sudah mesti masuk ruang operasi kembali. Alias, minta direvisi. Siapa yang minta? Pasti bukan nelayan. Satu hal yang jelas bahwa yang berencana mengubah adalah Anggota Dewan dan Pemprov Lampung. Siapa yang meminta mereka untuk mengubah? Itu satu hal yang belum jelas.

Namun WALHI Lampung berpendapat bahwa manuver “gelap” DPRD  Pemprov Lampung ini punya agenda tersendiri yang berkaitan dengan konsesi tambang pasir laut serta ragam privatisasi ruang pesisir lainnya.

Bagi mereka, tindakan pembiaran pemerintah atas penambangan pasir laut yang meresahkan seperti di Lampung Timur sudahlah menjadi bukti bahwa ada persekongkolan jahat diantara mereka.

Pada akhirnya perekonomian dan segala hal tentang mencari penghidupan akan diarahkan kepada segelintir orang alih-alih rakyat banyak. Nelayan akan kalah dengan konsesi tambang pasir. Jala tidak ada arti di hadapan tongkang-tongkang besi.

Solusi jitu: nelayan alih profesi menjadi kuli tambang pasir laut. Dengan begitu, tercapailah sudah agenda pemerintah untuk membawa rakyat setempat kepada tanah yang dijanjikan. Tentu lewat tambang pasir laut bertajuk proyek investasi.

Sementara jala dan pancing sudah digantung serta sampan telah dilabuh. Laut kian keruh, terumbu karang memutih, ikan-ikan mati mengambang, dan kapal tongkang sudah kehabisan pasir laut untuk disedot.

Saat itulah mereka, nelayan; penambang pasir; dan pemerintah, akan sama-sama sadar bahwa sejahtera sesederhana memberi ruang hidup sesama tanpa mesti menghisap yang lainnya. Tanpa mesti melindas yang lainnya.

Editor : Annisa Dian N

Dokumentasi foto sampul : Walhi Sulsel

Artikel Terkait

Tanggapan