Melihat Kondisi Pulau Tunda dari Sudut Pandang Internasional, Seperti Apa Ya?
Pada tanggal 28 Juli lalu, tim Ocean Defender Indonesia bertolak ke sebuah pulau yang tidak jauh dari Jakarta. Pulau tersebut bernama Pulau Tunda.
Pulau tersebut dapat ditempuh dengan kurang lebih 1,5 jam perjalanan darat dan 2 jam perjalanan laut dengan kapal nelayan. Perjalanan ke Pulau Tunda kali ini merupakan bagian dari agenda Ekspedisi Pembela Lautan yang telah tertunda karena pandemi COVID-19.
Ekspedisi Pembela Lautan kali ini diadakan selama 5 hari dengan melibatkan 22 personil. Beberapa kegiatan yang dilakukan selama di pulau, di antaranya Kelas Laut (kegiatan untuk berbagi pengetahuan dalam mengenal ekosistem laut dengan siswa-siswi kelas 5 dan 6 SDN Satap Pulau Tunda), Kemudian dilakukan pula kegiatan membersihkan pantai (Beach Clean Up) dari sampah plastik yang berserakan serta Brand Audit yang dilakukan bersama dengan warga lokal dan mahasiswa Universitas Bina Bangsa. Tak lupa kami juga melakukan kegiatan Photo ops untuk menyuarakan isu-isu yang ada di Pulau Tunda di hari terakhir.
Menariknya, kami melihat bagaimana masyarakat Pulau Tunda hidup dengan sarana dan pra-sarana yang sangat terbatas. Jangankan berharap untuk mendapatkan koneksi internet yang baik ataupun fasilitas pendidikan yang memadai, akses listrik masyarakat Pulau Tunda sangat terbatas.
Masyarakat Pulau Tunda hanya dapat menggunakan listrik dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi. Tentunya, hal ini sangat ironi mengingat bagaimana pemerintah kita sangat “mendewakan” PLTU. Bahkan, letak Pulau Tunda tidak jauh dari lokasi PLTU Cilegon, kami pun seringkali melihat kapal tongkang batubara melintasi laut Pulau Tunda yang hendak menyuplai batu bara ke PLTU tersebut.
Melihat secara langsung potensi laut Pulau Tunda yang sangat luar biasa sekaligus permasalahan yang ada, membuat Pulau Tunda menjadi rentan terhadap masalah-masalah yang lebih besar di masa depan.
Tentunya, Pulau Tunda sebagai bagian dari pulau-pulau kecil mempunyai perlindungan dan perhatian tersendiri di lingkup nasional dibawah Undang-Undang yang berlaku.
Dilingkup nasional, Pulau Tunda sebagai bagian dari wilayah pesisir telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang “Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” yang kemudian UU ini pun digantikan oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang “Cipta Kerja”.
Bagaimana Sudut Pandang Internasional Melihat Kondisi Pulau Tunda Saat Ini?
Secara umum di lingkup internasional, Indonesia sebagai negara kepulauan sudah diberikan mandat melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) untuk mengelola sumber daya alamnya (terutama laut) dalam jangkauan 200 mil dari garis pantai terluar sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Tidak hanya itu, melalui konvensi hukum laut PBB juga telah dimandatkan bagaimana negara pantai dapat mengeksplorasi dan memanfaatkan kekayaan alam (untuk kesejahteraan nasional) yang ada secara terukur dengan mempertimbangkan faktor-faktor relevan, inter alia, dan memperhatikan sumber daya hidup (living resources) yang ada dalam wilayah yang dimaksud.
Tentu saja, membuat dan mengimplementasikan regulasi laut Indonesia dengan maksimal sangat penting mengingat bagaimana masyarakat pesisir di pulau-pulau Indonesia sangat bergantung kepada laut yang sehat.
Sebagai contoh masyarakat Pulau Tunda menggantungkan kehidupannya dengan menjadi nelayan tradisional ataupun penggiat wisata bahari.
Jika keberlangsungan ekosistem laut Pulau Tunda terus terganggu akibat dampak dari pencemaran sampah plastik maupun aktivitas fossil fuels, maka masyarakat Pulau Tunda akan menerima dampak buruk baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga perlu memperhatikan dengan betul bagaimana sektor ekonomi berjalan di Pulau Tunda.
Adanya ketimpangan antara sarana dan prasarana dasar yang kurang memadai bagi masyarakat lokal dengan potensi sumber daya Pulau Tunda yang menjanjikan dapat menunjukkan jika pemerintah masih belum menyeluruh dalam memberikan perhatian kepada pulau-pulau kecil di Indonesia.
UNCLOS sebagai payung dasar untuk hukum laut internasional telah cukup memberikan kewenangan dan batasan-batasan bagi sebuah negara pantai untuk mengatur dan mengelola wilayahnya.
Namun sayangnya, dalam perjanjian UNCLOS tidak disebutkan mengenai sistem pengawasan (monitoring) agar implementasi regulasi ini berjalan dengan maksimal dan bagaimana penyelesaian atas konflik tertentu ataupun pemberian penalti bagi negara pelanggar.
Dengan begitu, kita sangat perlu perjanjian laut dunia yang kuat. Yuk, kita dorong pemimpin-pemimpin dunia untuk segera menyetujui perjanjian laut internasional untuk melindungi laut kita sebesar 30% di 2030!
Baca juga: “Healing” bersama Goyangan Lamun, Mangrove dan Mentari Senja di Dermaga Pulau Tunda
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan