Kemanusiaan bagi Seluruh Nelayan Indonesia

“Cheap seafood endangers fish workers right,” dikutip dari situs OHCHR. Sebagai penyedia hasil laut, para nelayan juga berperan dalam menjaga kedaulatan perairan Indonesia. Namun, selain tantangan dari alam, tahukah bahwa nelayan Indonesia juga menjadi sasaran para pelanggar Hak Asasi Manusia?

Layaknya TKI (Tenaga Kerja Indonesia), para nelayan Indonesia (kita sebut saja NI) juga diimingi gaji dan insentif oleh mandor atau bos yang mewakili individu atau perusahaan penangkapan ikan. Bos-bos tersebut sebagian besar merupakan WNA yang mendirikan perusahaan gabungan di Indonesia. Setelah melalui proses perekrutan, para NI “diangkut” oleh kapal asing, berharap adanya titik balik nasib di lautan. Persaingan yang ketat serta penurunan profitabilitas perikanan, membuat para pelaku usaha penangkapan ikan memangkas biaya operasional, yaitu jumlah awak kapal. Opsi buruk untuk meraih untung adalah dengan menangkap ikan secara ilegal dan menghindari biaya perizinan, sedangkan opsi lainnya adalah merekrut pekerja ilegal dengan upah rendah.

Berdasarkan berita beberapa tahun terakhir, para NI bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan sandang mereka dengan layak. Dari upah yang rendah, makanan bekas, hingga minimnya air bersih untuk dikonsumsi. Adapun siksaan fisik, jam kerja minim istirahat dan tanpa libur harus mereka alami sebagai bentuk dari perbudakan modern. Gaji dan insentif dipotong, dengan alasan fasilitas selama di kapal yang disebut “pinjaman”.¹ Bahkan dalam beberapa kasus, tidak ditunaikan hingga para pelaku tertangkap.

Tahun 2015 terdapat kasus perbudakan modern NI dengan jumlah korban terbesar dalam satu waktu. Sekitar 4000 nelayan terdiri dari NI dan warga negara tetangga yang bekerja di bawah PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Maluku, dikurung dan mengalami siksaan tidak manusiawi selama kurang lebih 10 tahun.² Nasib NI korban perbudakan laut di luar Indonesia pun mengalami nasib serupa. Menurut SBMI (Serikat Pekerja Migran Indonesia), tercatat pengaduan perihal perbudakan modern NI meningkat di tahun 2019 dari sekitar 70 pengaduan menjadi sekitar 300 pengaduan hingga Juli 2020.³

Janji Manis Perekrutan Ilegal

Kendati beberapa kasus terjadi, para NI seolah terjebak dalam siklus eksploitasi. Proses perekrutan melalui aparat resmi dirasa sulit. Selain birokrasi yang berbelit, kriteria sulit dipenuhi para NI. Hal ini yang membuat NI rentan terhadap penipuan oleh calo serta agen perekrutan, yang kemudian dipaksa bekerja di bawah ancaman kekerasan atau dengan cara perbudakan utang.

Kejahatan yang paling umum pada tahap rekrutmen adalah penipuan dokumen berbasis kertas. Pemalsuan dokumen palsu tersebut mencakup formulir, bendera negara asal, nama, dimensi, atau identifikasi kapal. Pola perekrutan pun hampir seragam. Biasanya dari mulut ke mulut, calon pekerja dijanjikan gaji dan bonus, proses penandatanganan dokumen (notabene dokumen palsu) atau bahkan tidak ada dokumen sama sekali. Padahal,  perjanjian kerja laut merupakan poin krusial untuk keamanan buruh dalam hal ini adalah NI.

Proses perekrutan lainnya adalah Transshipment. Proses bongkar muat di laut antar kapal telah menjadi sarana lain untuk melakukan praktik Human Trafficking. Selain itu, pembiaran kapal penangkap ikan tetap berada di laut selama berbulan-bulan dengan alasan transshipment, para kapten kapal dapat menahan awak kapalnya di laut tanpa batas waktu, sehingga menjadikannya perbudakan secara de facto⁵.

Skala “belum” Prioritas

Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organization) nomor 188 tentang hak pekerja migran di bidang perikanan. Ratifikasi tersebut bertujuan untuk mencegah perbudakan awak kapal atau memperkuat perlindungan ketenagakerjaan bidang perikanan. Inisiatif pengawasan pun kurang, padahal kuantitas Sumber Daya Manusia tidak sulit ditemui. Setiap daerah memiliki aparat administrasi dan penegak hukum yang seharusnya diberdayakan. Pengawasan ini penting untuk investigasi jaringan perbudakan lainnya, mengingat perbudakan di laut dilakukan sistematis dan berkomplot.

Dari segi pencegahan, perlu adanya edukasi secara merata kepada para NI. Hak-hak pekerja dan kewaspadaan terhadap penipuan. Edukasi demikian terdapat pada pasal 1320 Kitab UU Hukum Perdata menjelaskan, perjanjian kerja laut harus mengandung unsur-unsur : kesepakatan antar dua belah pihak, kecakapan akan bertindak, persetujuan akan hak tertentu, dan isi perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan. Dalam kata lain tidak boleh mengandung unsur eksploitasi yang melanggar pasal 20 UU Hak Asasi Manusia tentang larangan perbudakan atau perhambaan. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan (HAMP) untuk merespon kasus PT PBR. Sedangkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 22/2022 yang mengatur perlindungan pekerja migran Indonesia di industri perikanan pun tidak diterapkan secara efektif karena orientasi pra-keberangkatan bagi para pekerja migran tidak diatur secara detil di badan hukum termasuk pendanaan orientasi oleh pemerintah atau pihak perusahaan.⁴

Selain pencegahan, Indonesia dinilai belum maksimal dalam penegakan hukum. Masih banyak korban selamat dan keluarga korban jiwa yang belum menerima restitusi berupa gaji dan ganti rugi selama menjadi korban trafficking.

Pemerintah yang menghindar dari ratifikasi ILO nomor 188 adalah bukti, bahwa kasus perbudakan nelayan belum ditangani secara serius. Setidaknya, pemerintah seharusnya berkomitmen pada tata kelola pencegahan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Konklusi

Populasi ikan di perairan dekat pantai semakin menipis, sedangkan permintaan akan protein hewani laut tidak menurun.  Para nelayan harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk menangkap ikan. Akibatnya, kebutuhan bahan bakar dan biaya operasional meningkat, berdesakan dengan upaya meraih keuntungan. Di satu sisi, di negara dengan nelayan yang kurang diperhatikan, rentan terjebak dalam perangkap perbudakan modern.

Tidak hanya edukasi, para NI juga perlu disejahterakan oleh negara. Jika semakin banyak yang bergantung pada sektor ilegal, maka berpengaruh pula dengan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Indonesia masih lemah dalam pengawasan dan penegakan HAM di perairan. Peran pemerintah lebih minim dibandingkan LSM dan LBH terkait. Diperlukan sinergi antar jajaran pemerintah dan aparat serta dengan pemerintah negara-negara tetangga dalam investigasi dan mengungkap praktik perbudakan laut modern dan penangkapan ikan ilegal.

Penanggulangan perbudakan di Indonesia merupakan yang harus menjadi skala prioritas. Harus kita akui, perbudakan berarti alarm akan kondisi Indonesia belum bisa merdeka. Sedangkan kemerdekaan adalah bentuk dari Pancasila. Terakhir, namun tak kalah penting: Di balik makanan laut yang kita konsumsi, terdapat perjuangan para nelayan yang belum merdeka.***

Sumber:

¹ https://projectmultatuli.org/eksploitasi-dan-kematian-kisah-budak-budak-di-laut-lepas/

² https://en.antaranews.com/amp/news/98685/benjina-slavery-case-sheds-light-on-other-crimes

³ https://sbmi.or.id/anak-buah-kapal-ikan-asal-asia-tenggara-mengalami-perbudakan-modern/

⁴ https://id.usembassy.gov/id/our-relationship-id/official-reports-id/laporan-tahunan-perdagangan-orang-2023/

⁵ https://www.freedomunited.org/news/how-transshipment-hides-human-trafficking-at-sea/

Artikel Terkait

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan