Laut Juga Bernyawa dan Merasa

Laut dan manusia Indonesia telah memiliki ikatan jiwa yang sangat erat. Berbagai jenis emosi manusia seperti sedih, kehilangan, cinta, rindu, keberanian, kepahlawanan hingga perasaan religius pernah tumpah dan merenangi lautan nusantara. Anda bisa menemukan semua itu dalam khazanah literatur bangsa kita.

Bagi kita, laut sudah seperti tempat ibadah. Laut adalah tempat dilayarkan harapan, doa, sembah kepada Tuhan hingga tempat memulangkan arwah manusia. Kita mengenal bermacam ritual agama yang menempatkan laut sebagai kiblatnya.

Kita tentu pernah melihat arak-arakan sesajen maupun sedekah laut dilarung ke laut guna memohon keselamatan dan keberkahan hidup manusia. Hanya saja, nalar pariwisata kita hanya mengerti kesenangan estetika kebudayaan, bukan menghayati bobot spiritualitasnya.

Barangkali kita juga lupa, bahwa laut adalah tempat sakral. Saat kita dengan ringan hati membuang sampah di sungai atau tanpa rasa bersalah menyetor jutaan ton sampah ke lautan, ternyata ada saudara kita yang sedang melarung abu jasad keluarganya ke laut dengan iringan tangis air mata.

Mereka berharap arwah keluarganya dapat beristirahat dengan tenang di laut yang indah, bukan diusik oleh bom ikan, bahan kimia beracun, atau alat-alat tambang.

Tak hanya sakral, lautan juga telah dianggap sebagai sosok adikuasa bagi masyarakat kita. Bangsa kita mengenal berbagai mitos Nyi Roro Kidul (Jawa), Nyi Wii Temo (Sulawesi), Putri Mandalika (Lombok), Si Boru Biding Laut (Sumatra) dan berbagai legenda lainnya.

Nenek moyang kita menganggap mereka adalah pelindung dari musuh serta sang pemberi hidup melalui segala kekayaan di lautan. Sebagai balasan atas perlindungan dan kehidupan, nenek moyang dengan kesungguhan hati melaksanakan semua moral dan tatasusila yang dititahkan oleh sang penguasa laut. Kehidupan bernegara pun menjadi baik.

Jauh sebelum visi poros maritim, bangsa kita telah dikenal sebagai raja selatan. Kita adalah bangsa yang beradab, maju, kaya dan kuat. Atas izin sang penguasa lautan, nenek moyang kita berlayar merajai samudra hingga belahan Afrika.

Kemana pun mereka berlayar, lautan tunduk. Keramahan lautan itu tak lain adalah timbal balik dari sesajen, sedekah laut, dan sembah dari nenek moyang terhadap lautan. Itulah rahasia kekuasaan mereka!

Ketika Tahta Dewata Digulingkan

Abad telah berubah. Manusia, dengan senjata akal fikirannya, telah menggulingkan dewa-dewa, bahkan juga mencoba menandingi Tuhan. Manusia menamai zaman kemenangan mereka dengan sebutan abad modern. Mereka telah berhasil merebut tahta dan kekuatan dewa.

Sosok adikuasa itu telah dicampakkan oleh ilmu pengetahuan. Tak terkecuali, para penguasa lautan di nusantara.

Manusia tak perlu lagi memberi sesajen, ritual sedekah laut, maupun takhayul. Mereka sudah cukup dengan memiliki armada laut, bom, mesin tambang dan berbagai teknologi ikan yang canggih untuk menjamin tunduknya samudra.

Manusia bebas melahap segala kekayaan biota laut yang menjadi sumber immortalitas hidup dewa. Mereka juga bebas mengambil mineral berharga membuat manusia bisa memiliki kekuatan adimanusiawi.

Kekayaan dan kekuatan yang dulu hanya ada dalam cerita mitos dan legenda kini telah dirasakan sendiri oleh manusia. 12,54 juta ton hasil laut bisa dinikmati manusia setiap tahun!

Lantas apakah manusia mampu menggantikan posisi dewata? Celakanya, nikmat dan kuasa ternyata menimbulkan candu bagi manusia. Bermula dari mencerap sepercik kesenangan dan keuntungan lalu berubah menjadi kobaran ekploitasi laut secara besar-besaran.

Manusia tak mampu mengendalikan diri saat duduk di tahta dewata. Ia justru menjadi gila, rakus, dan terobsesi untuk terus memangsa sebanyak-banyaknya.

Lautan bagai seorang ibu, ia hanya bisa memendam semua luka atas perbuatan durhaka manusia. Laut kita itu hanya membisu, menanggung banyak kerusakan akibat aktivitas manusia.

Berdasarkan sumber dari klikhijau.com menyebut lebih dari 36 persen terumbu karang di Indonesia telah mengalami kerusakan. Penyebab kerusakan terumbu karang berasal dari pencemaran laut, aktivitas perikanan yang tidak bersahabat, dan pemanasan global.

Padahal terumbu karang berperan penting untuk melindungi dan menyediakan makanan biota laut serta mencegah terjadinya abrasi. Celakanya, terumbu karang yang rusak membutuhkan puluhan tahun untuk pulih kembali secara alami.

Contoh aktivitas perikanan yang tak bersahabat adalah maraknya penggunaan bom ikan. Bagi saya, itu adalah cara berburu ikan yang sangat buruk. Banyak ikan mati sia-sia karena hancur. Bom ikan juga mempersulit perolehan tangkapan ikan sebab ikan tak mau lagi mengunjungi tempat yang telah dibom.

Bom ikan juga merusak terumbu karang. Setiap 250 gram bom ikan mampu merusak 50 meter persegi terumbu karang.

Rusaknya terumbu karang juga disebabkan oleh aktifitas pertambangan. Misalnya penambangan pasir laut yang dilakukan oleh Boskalis dan Makasar New Port di Kodingaren yang sempat menuai protes keras dari warga dan berbagai aktivis lingkungan.

Tak hanya terumbu karang, penambangan pasir juga menyebabkan abrasi dan memicu tingginya ombak laut. Beberapa nelayan Kodingaren pun sudah menjadi korban akibat amukan ombak yang ganas.

Tak cukup hanya dieksploitasi, laut juga dijadikan tempat sampah oleh manusia. Laut tercemar parah. Menurut Mongobay.co.id, tingkat pencemaran laut Indonesia sejumlah 1,29 juta ton per tahun.

Pencemaran laut terjadi karena beberapa faktor seperti tumpahan minyak, limbah industry, aktifitas perkapalan hingga tumpahan batubara. Namun, pencermaran laut paling serius diakibatkan oleh sampah aktivitas manusia.

Mengutip dari laman economy.okezone.com, tercatat sejumlah 64 juta ton sampah laut per tahun. Laman kompas.com menambahkan terdapat 14 juta ton mikroplastik di dasar laut. Jumlah sampah plastic yang dihasilkan tersebut membuat Indonesia menjadi negara penghasil sampah terbanyak ke-2 di dunia.

Manusia dan Alam Adalah Satu Jiwa

Walau laut hanya membisu, bukan berarti ia diam. Mereka, mau tak mau, harus mengutuk manusia demi mempertahankan diri disamping agar manusia berubah setelah memetik hikmah dari bencana yang dibuatnya.

Kutukan itu menghajar warga Kodingaren yang tak bersalah. Mereka diserang kemiskinan, pertengkaran dalam keluarga, kesedihan, ketakutan, hingga berusaha menenggelamkan nelayan yang sedang melaut.

Kutukan laut itu juga menyerang para penangkap ikan. Laut menebarkan suasana nikmatnya perbudakan para pekerja kapal maupun penindasan kepada nelayan kecil.

Kutukan itu juga yang bertanggungjawab memicu peperangan antara bangsa dalam memperebutkan klaim wilayah kekuasan di lautan. Kehidupan laut menjadi panas, suasana haus darah, persis gejolak hati yang terjadi saat membantai ikan secara besar-besaran.

Tak hanya itu, Ratu Laut pun mengkosongkan ikan-ikan secara terus menerus agar manusia hancur miskin di daratan. Ia juga menenggelamkan pulau-pulau, menciptakan badai, ombak ganas sebagai wujud balas dendam atas semua kerusakan dan pencemaran tubuhnya.

Barangkali, arwah-arwah manusia yang jasadnya dilarung di lautan pun ikut serta menciptakan segala malapetaka tersebut.

Saya tidak tahu, sampai kapan lautan akan terus menghukum kita. Bukan kah ini adalah hal ironis, mengingat dahulu kala, laut dan manusia Indonesia saling bersahabat? Kini justru kita harus saling membunuh.

Nilai-nilai budaya bangsa kita tidak memandang alam sebagai musuh yang harus ditaklukan. Nenek moyang tidak memandang alam sebagai objek atau benda mati, melainkan juga sosok makhluk yang memiliki nyawa dan bisa merasakan penderitaan.

Nenek moyang bangsa kita menghayati alam sebagai satu kesatuan dengan jiwanya. Sebab itu, kita mengenal ajaran tentang hubungan mikrokosmos dan  makrokosmos.

Kita tahu bahwa Pancasila saripati dari kebudayaan nusantara. Jika bangsa kita menganut Pancasila, maka lazimnya kita harus memandang lautan ini bukan sebagai benda mati semata, melaikan juga memandang sisi spiritualitas. Laut itu memiliki nyawa dan mampu merasa, hanya saja mereka tidak bisa berbicara.

Sebab itu, visi poros maritim yang hendak diwujudkan oleh pemerintah, seyogyanya dimulai dengan sikap batin memandang lautan sesuatu yang sakral, bukan sekadar sisi benda dan ekonomi semata.

Berdasarkan kearifan tentang hubungan makrokosmos dan mikrokosmos, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa rusaknya lautan adalah cerminan dari rusaknya hati kita. Sebab itu mari kita perbaiki hati kita yang sakit ini.

Pandanglah lautan sebagai ratu dari alam halus, dewi, sahabat manusia, dan sebagainya. Merusak alam sama saja dengan merusak diri sendiri.

Jika kita telah memperlakukan laut sebagaimana kita merawat diri kita sendiri, maka laut akan merawat hidupmu dengan sebaik-baiknya.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Tanggapan