Merawat Petuah dari Sang Ayah: Hiu adalah Panglima di Laut
Hiu adalah panglima di laut.
Mata pria berumur 50 an tahun itu menerawang mengenang puluhan tahun silam. Bibirnya mulai asyik bercerita, tentang pengalaman memancing bersama sang ayah. Tidak hanya bercerita tentang mancing. Tapi dia juga menceritakan pesan ayahnya kepada dirinya. Saat melaut, ayahnya hanya memperbolehkan dia untuk menangkap jenis ikan tertentu. Tidak boleh sembarangan. Apalagi menangkap Hiu. Sangat dilarang ketat.
Itu adalah salah satu pertemuan saya dengan dirinya dalam suatu kopi pagi, awal tahun 2022. Dia adalah Bakri Lolo Wajo. Beberapa bulan Setelah pertemuan itu, saya mencari tau informasi lebih dalam alasan mengapa Bakri dan ayahnya tidak menangkap ikan Hiu.
Saya datangi dan bertemu dengan Bakri Lolo Wajo di Mekko. Mekko adalah sebuah dusun yang masyarakatnya bermukim di wilayah pesisir. Secara adminustrasi wilayah dusun Meko merupakan bagian dari Desa Pledo, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pa Bakri, begitu sapaan akrabnya. Dia lahir dan dibesarkan di Mekko. Pada pertemuan tahun 2021 itu, dia sedang menjabat sebagai Ketua komunitas lokal Kelompok Sadar Wisata Bangkit Muda Mudi Mekko ( POKDARWIS BM3 ). BM3 adalah kelompok yang mengelolah wisata bahari ( wisata air ) di Mekko.
Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di keluarga suku Bajo, nelayan di laut adalah profesi utama Bakri. Beliau tidak hanya tokoh di keluarga tapi juga tokoh pandai menjaga laut, melalui kearifan lokal yang dia punya. Mereka menaruh penghidupan sepenuhnya di laut.
“Dulu, leluhur kita tidak makan ikan Hiu”, Kata Bakri, dalam suatu pertemuan singkat bersama personil WWF di Meko. Dia memiliki wawasan tentang kearifan yang cukup dan suka berbagi.
Selain tidak menangkap dan mengkonsumsi Ikan Hiu, Bakri juga menceritakan mereka menangkap ikan dengan jumlah secukupnya. Tidak berlebihan. Biasanya mereka habiskan beberapa jam saja di laut untuk mancing. Ketika kantong atau bakul penyimpanan sudah penuh, mereka pulang dan menikmat hasil di meja makan bersama keluarga.
Soal pendidikan formal masih sangat berjarak ketika itu. dia memelihara dan merawat petuah sang ayah hingga dirinya beranjak dewasa. Tapi mereka sungguh menikmati kehidupan dengan serba kecukupan. Sandang, pangan dan papan beres. Semua terpenuhi dengan kehidupan terus berlanjut, laut lestari, perikanan berkelanjutan tanpa memikirkan tekanan ekonomi apa pun.
Bersama Bakri saya belajar tentang perbandingan akivitas dari dua generasi, yaitu generasi boomer dan generasi mileneal.
Kehidupan zaman dulu berbeda dengan sekarang. Bakri juga mengatakan perbedaan orang tua atau para pendahulu dengan Generasi sekarang. Generasi sekarang kurang melestarian laut. Hampir semua nilai budaya hampir mereka tinggalkan. Mereka lebih sibuk mengambil daripada memberi.
Beberapa tahun lalu, tahun 2015 sebelum kedatangan WWF, masyarakat nelayan di sana dipaksa menjaga laut dari kerusakan contoh pemboman ikan, over fishing atau penangkapan ikan dengan jumlah berlebihan atau hal serupa tidak bertanggung jawab lainnya. Namun dalam implementasinya, lemahnya hukum dan penegakannya masih ditemui di lapangan. Mereka harus berhadapan dengan jaringan pemboman yang terorganisir. Para pemboman ikan yang kebanyakan dari maumere masih menjual ikan di pasar khusus penampung ikan hasil pemboman yang tidak ramah lingkungan.
Dalam laporan WWF, 10 saksi bersaksi pelaku pemboman berasal dari Sikka-Maumere. Laporamg WWF juga mengungkapkan pecahan karang 14% di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Flores Timur.
Sebenarnya keadaan hukum yang memaksa generasi nelayan sekarang jadi begitu brutal beraktifitas di laut. Mereka tidak dilindungi secara hukum ekonomi. Mereka terjerat dan pasrah harus merusak laut, contohnya membom ikan dan menebang mangrove. Semua alasan untuk kebutuhan ekonomi untuk hidup. Baik terhimpitnya ekonomi untuk hidup kebutuhan maupun kebuuhan untuk menyekolahkan anak mereka.
Bakri mengatakan baru gererasi sekarang (generasi di bawahnya) yang menangkap dan menjual Hiu. Mereka menjual Hiu karena alasan ekonomi. Dirinya tidak menyalahkan pelaku penangkap dan penjual Hiu, tetapi ini karena lemahnya pengetahuan dan perlindungan Hiu yang dilakukan di tingkat lokal, contohnya di Mekko.
Pada posisi ini, Bakri juga bingung. Di satu sisi dirinya di tuntut ekonomi. Sementara di lain sisi, dirinya harus terus merawat petuah yang diberikan ayahnya yang masih dia jadikan sebagai pedoman hidupnya.
Bakri menjawab dengan jawaban berbeda. Ketika keadaan ekonomi makin menghimpit, Beberapa kali Bakri sempat merantau mencari kehidupan beradu nasip di perantauan. Namun dirinya tetap kembali menggeluti Profesi utamanya sebagai nelayan.
Saat kembali dari perantaun, Bakri bertemu dan berkenalan dengan program WWF di Meko. Bakri
sangat berterima kasih kepada WWF atas kampanye dan memberi penyadaran tentang pentingnya peran Ikan Hiu dan program perikanan berkelanjutan di perairan Mekko. Petuah dari ayah Bakri kini sejalan dengan program WWF, dimana mempunyai makna yang sama, yaitu sama melindungi Ikan Hiu.
Di sela obrolan, dia mengatakan, semenjak WWF masuk Mekko, sejak saat itu dirinya dan nelayan lain makin tertib tidak menangkap ikan Hiu.
Saya masih bertanya. Kenapa alasan leluhur suku bajo di mekko tidak menangkap dan mengkonsumsi ikan Hiu?
Kita tidak tau apa alasan leluhur suku bajo di mekko tidak makan Ikan Hiu, tapi jawaban kurang lebihnya mungkin karena mereka paham peran hiu dalam menjaga kesehatan ekosistem di perairan tersebut.
Pada kunjungan 16 Juni itu Bakri telah berpulang rumah yang Maha Kuasa. Akhirnya saya harus bertemu kakak sepupunya, Sopan Suku alias Ama Laga.
“Io adalah panglima laut yang menjaga laut”, Kata Ama Laga, kakak sepupu Bakri, dalam suatu pertemuan yang berbeda. Io adalah bahasa Bajo yang artinya Ikan Hiu.
Waktu keberangkatan saya pun tiba. Saya harus beranjak dari Mekko. Semoga ada Bakri Bakri lain.***
Tanggapan