Pesan dari Baduy: Mencintai (Alam) Tidak Harus Memiliki

Sudah terlambat untuk menyesal.

Kata-kata itu menggaung di kepala saya, sementara saya berusaha membulatkan tekad dan meluruskan kaki yang kram di depan lumbung padi penduduk.

Sudah satu jam kami trekking jalanan berbatu, pada dinihari. Perut saya keroncongan karena belum makan siang, tubuh saya basah karena keringat dingin, dan otot saya berontak minta diistirahatkan.

Namun, melihat rombongan yang sudah menunggu di atas sana, saya jadi urung.

Maka saya melanjutkan perjalanan. Pukul dua dinihari, kami akhirnya tiba di rumah penduduk Baduy Luar yang akan menjadi tempat peristirahatan kami tiga hari ke depan. Begitu tubuh menyentuh sleeping bag, saya tidak ingat apa-apa lagi selain pertanyaan kenapa saya melakukan ini.

Lima jam kemudian, saya dibangunkan kokok ayam dan asap. Ternyata Teteh (sebutan kami untuk istri Kang Jakam, “gatekeeper” kami di Baduy Luar) sedang memasakkan sarapan.

Mereka masih menggunakan tungku kayu dan arang untuk memasak. Sederhana sekali. Tapi, kesederhanaan dan “apa adanya” memang kunci hidup Suku Baduy.

Saya teringat potongan-potongan obrolan saya dengan Kang Jakam. Beliau menceritakan bahwa Baduy, baik Luar maupun Dalam, hidup berlandaskan “Pikukuh Baduy” atau “amanat buyut Baduy.”

Kang Jakam mengutip salah satunya, “Gunung tak boleh dihancur, lembah tak boleh dirusak. Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung.”

“Apa artinya?” tanya saya.

Alih-alih mengelaborasi, Kang Jakam justru memberi contohnya pada kehidupan sehari-hari. Ketika membangun rumah, suku Baduy tidak menggali tanah agar lantai rumah panggung rata.

Mereka justru mengganjal bagian bawah rumah mereka dengan batu. Rumah mereka tidak memiliki listrik, toilet, atau kaca. Sebab, “Listrik dan kaca bikin panas, toilet bikin banyak nyamuk.”

Sungguh saya tak menyangka, di balik praktik masyarakat yang relatif jauh dari peradaban modern, tersimpan asumsi yang telah terbukti secara ilmiah.

Ketika panen, masyarakat Baduy hanya menggunakan sebagian padi untuk diolah. Sisanya, disimpan ke lumbung, yang menjadi tolok ukur kekayaan. Padi bisa disimpan selama ratusan tahun.

Kualitasnya tidak akan menurun, hanya berasnya yang berubah jadi kemerahan. Saya sempat mencoba nasi dari beras berusia dua puluh tahun—lebih tua dari umur saya—dan rasanya nikmat.

“Ketika suatu saat terjadi bencana, kami sudah punya cadangan makanan,” ungkap Kang Jakam. Pandangan yang sungguh berorientasi masa depan. Saya berandai-andai jika semua orang berpikiran seperti itu. Betapa damainya dunia ini.

Ketika sakit, masyarakat Baduy menggunakan tumbuhan herbal yang melimpah ruah di sekeliling mereka. Jika sudah parah, mereka akan dibawa ke pu’un atau kepala suku untuk diobati.

Namun, jika pu’un tidak sanggup, mau tidak mau mereka dibawa ke puskesmas terdekat.

Salah satu public goods yang sangat dijaga Baduy Luar adalah sungai mereka. Kegiatan MCK dan pengambilan air minum dilakukan di titik sungai yang berbeda.

Air minum diambil dari titik yang lebih tinggi (perempuan Baduy, tua dan muda, biasanya mengambilnya pagi-pagi dan menenteng ember jauh sekali). MCK dilakukan di tempat yang lebih rendah.

Saya sudah mengekspektasikan sungai yang keruh ketika saya tak kuasa menahan ekskresi, tapi ternyata aliran sungai jernih, sehingga yang saya perlu khawatirkan “cuma” belut sungai (saya sampai kesandung waktu melihat) dan orang lewat.

Sayangnya, saya menemukan beberapa bungkus plastik di sungai. Yang membuat saya marah, bungkus plastik itu adalah kemasan makanan ringan yang biasa kita lihat di kota-kota besar. Sehingga dapat dipastikan mereka berasal dari pengunjung seperti saya.

“Saya jarang ada sampah plastik. Biasanya itu dari pengunjung,” kata Kang Jakam, “kalau sampah daun dan yang lain biasanya kami masukkan ke galian tanah saja. Tapi, kalau sampah plastik, kami harus membakarnya di dalam galian itu, lalu ditutup lagi dengan tanah.”

Seandainya tidak ada plastik, tentu saja para Baduy tidak perlu melakukan pembakaran yang ujung-ujungnya meningkatkan CO2. Saya jadi semakin kesal memikirkannya.

Namun, kekesalan saya memuncak mendapati beberapa pria mengangkuti potongan batang kayu besar di tepi jembatan menuju kampung. Ketika saya tanyakan, salah satunya mengakui kayu besar itu akan dikirim ke produsen mebel. Kayu itu didapat dari dalam hutan Baduy.

Lagi-lagi, untuk membangun. Saya berusaha tidak memikirkan para Baduy, dengan amanat yang mereka jaga, dengan alam yang mereka jaga, mendapati sungai mereka dicemari dan hutan mereka ditebangi. Oleh orang-orang luar. Orang-orang seperti saya. Dan barangkali, seperti Anda. (*)

Artikel Terkait

Tanggapan