Meneropong Laut Indonesia Lewat Filsafat dan Kebudayaan

Kelestarian lingkungan seringkali tidak menarik perhatian manusia karena sumbangsih yang diberikan oleh alam dianggap hal biasa. Sebagaimana laut yang seringkali dilupakan karena manusia lebih banyak hidup dan memperhatikan daratan.

Padahal ketika lingkungan tidak lagi memiliki kelestarian dan laut mencabut daya dukungnya, maka semua tidak lagi seimbang. Terlebih dua pertiga bumi terdiri dari lautan. Seiring berjalannya waktu, lautan pun mulai memperingatkan manusia tentang tenggelamnya daratan akibat ulah manusia itu sendiri.

Paradigma Berpikir Antroposentris yang Usang

Rene Descartes, Thomas Aquinas, Thomas Kuhn, Fritjof Capra

Kerusakan lingkungan akibat ulah manusia telah menjadi berita harian yang sangat memprihatinkan. Deforestasi, alih fungsi lahan hingga kebakaran hutan sudah dianggap sebagai hal biasa. Menurut data Forest Watch Indonesia, Indonesia telah kehilangan 23 juta hektar hutan selama tahun 2000 – 2017.

Luas tersebut setara dengan 347 kali luas DKI Jakarta. Tidak hanya kerusakan di darat, selama 6 bulan di tahun 2021 saja, berita tentang pencemaran dan kematian satwa di laut tak terelakkan. Mulai dari kematian penyu lekang di Aceh akibat jaring, kematian dugong di Dumai, kematian hiu paus dan lumba-lumba dalam keadaan tubuh terpotong di Bali hingga tumpahan minyak yang telah terjadi berulang di Indonesia.

Berbagai kasus kerusakan tersebut apabila ditelaah kembali pada dasarnya berakar pada paradigma berpikir manusia dalam memperlakukan alam sekitarnya. Manusia cenderung menggunakan paradigma antroposentris dalam memperlakukan lingkungan dan seluruh makhluk di alam semesta.

Antroposentrisme yang dicetuskan Thomas Aquinas, merupakan sebuah konsep yang menempatkan manusia sebagai spesies paling penting dibanding spesies lain. Hal ini menyebabkan manusia melihat alam sekitar sebagai entitas untuk memenuhi kepentingan manusia semata.

Hal inilah yang menyebabkan kerusakan lingkungan semakin tak terkendali. Kesalahan perilaku tersebut menurut Thomas Kuhn dilandaskan pada kesalahan cara pandang. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk menghentikan kerusakan lingkungan adalah dengan mengubah cara pandang atau paradigma berpikir manusia.

Salah satu cara untuk menghentikan kerusakan lingkungan adalah dengan mengubah cara pandang atau paradigma berpikir manusia.

Paradigma berpikir antroposentris menjadi populer dan bertahan hingga saat ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Rene Descartes. Rene Descartes menyatakan bahwa materi (res extensa) dan kesadaran (res cogitans) merupakan sesuatu yang terpisah. Hal ini memicu cara pandang bahwa alam semesta merupakan mesin besar yang dapat dikontrol dan dikendalikan sesuka manusia, sehingga eksploitasi berlebihan terjadi dimana-mana.

Fritjof Capra dalam bukunya ‘The Tao of Physics’ menyatakan bahwa paradigma tersebut pelan-pelan mulai beralih. Fritjof Capra sendiri sebagai fisikawan, berusaha menyelaraskan Sains Barat dan Kearifan Lokal Timur. Kearifan Lokal Timur yang menganggap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini saling terhubung.

Berbeda dengan pemikiran Descartes, sehingga memunculkan cara pandang untuk lebih menghormati alam semesta. Perlu disadari bahwa, alam semesta memang bukan sebuah mesin besar yang mati melainkan sebuah sistem kehidupan yang pengelolaannya pun harus menggunakan pendekatan kerja sama dan dialog.

Dialog Masyarakat Adat Indonesia untuk Lingkungan

Pertunjukan Wayang

Indonesia merupakan Negara yang dikenal menjunjung nilai-nilai yang disebut sebagai budaya ketimuran. Budaya ketimuran dikenal sebagai budaya yang memiliki nilai sopan santun, gotong royong, saling menghormati dan sebagainya.

Ternyata nilai-nilai tersebut tidak hanya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam interaksi sosial sesama manusia saja melainkan dengan alam sekitar. Hal ini dapat diamati pada perilaku masyarakat adat di Indonesia yang menghormati lingkungan sekitarnya salah satunya lingkungan laut.

Beberapa wilayah seperti Banyuwangi, Jepara, Demak, dan Batang menggunakan upacara sedekah laut sebagai bentuk syukur atas kehidupan yang diperoleh dari laut. Sedikit berbeda dengan hal tersebut, di Maluku dan Papua menerapkan ‘sasi’ untuk bekerja sama dengan kehidupan laut.

Sasi merupakan larangan sementara untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu pada wilayah tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumber daya hayati alam tersebut. Sasi di laut yang menjadi kesepakatan penduduk untuk melarang seluruh masyarakat mengambil sumber daya dari laut dalam kurun waktu yang ditentukan pada dasarnya memiliki peran bagi keberlanjutan sumber daya dan ekosistem.

Ikan dan seluruh biota laut diberi waktu untuk melakukan perkembangbiakan dan regenerasi sehingga keberlanjutan ekosistem laut tetap terjamin. Kearifan lokal yang menjadi media dialog masyarakat adat dengan lingkungan tidak hanya tergambar dalam tradisi yang berlaku, seperti sedekat laut dan sasi.

Pesan untuk menjaga lingkungan dan laut juga merasuk dalam kesenian yang dimiliki masyarakat Indonesia salah satunya wayang. Wayang adalah salah satu seni yang bersumber dari budaya Jawa. Wayang bagi masyarakat Jawa memiliki fungsi tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cara panduan. Oleh sebab itu melalui wayang, dapat dipetik nilai-nilai sebagai tuntunan hidup manusia termasuk yang berkaitan dengan lingkungan.

Merusak lingkungan dan laut seharusnya tidak menjadi budaya masyarakat Indonesia

Menurut penelitian Sulaksono dan Saddhono, cerita wayang Dewa Ruci dalam salah satu kisahnya menceritakan tentang Rama yang ingin menyerbu Alengkawas. Namun kemudian Rama tenggelam di laut yang membuat Rama melepaskan anak panah ke laut untuk mengeringkan laut.

Namun kemudian laut menjadi panas dan membunuh semua biota laut. Cerita ini relevan dengan kondisi saat ini ketika banyak orang membuang sampah, limbah dan kotoran ke laut yang mengakibatkan tercemarnya perairan dan matinya biota laut.

Tidak hanya itu, panasnya perairan laut dalam kisah pewayangan tersebut dapat dipetik sebagai penggambaran bahwa laut yang berperan menyerap radiasi juga terpengaruh adanya pemanasan global. Oleh sebab itu, perlu dipahami kembali bahwa merusak lingkungan dan laut seharusnya tidak menjadi budaya masyarakat Indonesia.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Tanggapan