Nasib Nelayan Galesong Bertahan Hidup Setelah Reklamasi

“Bukan lautan hanya kolam susu.

Kail dan jala cukup menghidupimu.

Tiada badai tiada topan kau temui.

Ikan dan udang menghampiri dirimu.”

(Koes Plus – Kolam Susu).

Itulah sepenggal lirik sederhana yang pernah dipopulerkan oleh Koeswoyo bersaudara di era 1970-an. Mereka menggambarkan kekayaan alam Indonesia di masa lampau melalui “Kolam Susu”. Lantas, mungkin kita bertanya apakah lagu tersebut masih bisa mewakili kondisi alam indonesia pada saat ini?! Masih bisa? 

Potongan lirik lagu tersebut merupakan gambaran terbalik dari kondisi yang sekarang masih dialami masyarakat pesisir Galesong Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Hal yang mereka alami tersebut merupakan efek dari salah satu pembangunan di Kota Makassar yang mengabaikan kondisi alam, yaitu reklamasi.

Sedikit cerita tentang reklamasi Center Point of Indonesia di Makassar dan efeknya yang sampai sekarang sedikit-banyak masih dirasakan oleh masyarakat pesisir Galesong.

Sekilas Tentang CENTER POINT OF INDONESIA

Dari berbagai informasi yang saya dapatkan, bahwa reklamasi ini adalah sebuah megaproyek yang telah digagas oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2008. Megaproyek ini bernama Equilibrium Centerpoint Park, namun belakangan lebih dikenal dengan Center Point of Indonesia atau CPI.

Dimana pada perencanaannya akan menimbun laut yang berada di kawasan Pantai Losari untuk dibangun beberapa bangunan seperti Istana Presiden, dan beberapa fasilitas publik seperti CBD Area, The New Karebosi, Mesjid 99 Kubah (sudah ada), Mesjid  Terapung (sudah ada), Tugu Pahlawan-pahlawan (sudah ada), Monumen dan Plaza Lontara Bilang (sudah ada), The Marina, hingga Balai Rakyat.

Sebuah laporan penelitian di tahun 2020 (Analisis Dampak Penambangan Pasir di Galesong Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat) oleh Dewi Anggariani, dkk mengatakan bahwa reklamasi ini dikerjakan oleh beberapa perusahaan besar diantaranya, PT. Ciputra Grup dan PT. Yasmin Bumi Asri sebagai penyokong dana.

Sementara PT. Boskalis Internasional Indonesia sebagai pemenang tender proyek dan PT. Witteveen Bos Indonesia sebagai konsultan supervisi proyek. Proyek reklamasi ini membutuhkan ±22.627.480 meter kubik pasir dan urukan untuk menimbun laut seluas ±157,23 hektar untuk pembangunan CPI.

Penambangan Pasir dan Masyarakat Pesisir Galesong

Kabupaten Takalar dengan ibukota Pattalassang terletak ±29 km ke arah selatan Kota Makassar. Panjang garis pantainya ±74 km. Garis pantai inilah masuk ke dalam daerah Galesong, tepatnya kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan, daerah inilah yang menjadi lokasi penambangan pasir untuk pembangunan CPI.

Aktivitas penambangan pasir di wilayah pesisir Galesong telah dimulai sejak tahun 2017 dan berhenti di tahun 2020. Hasil sebuah penelitian geologi Triangel Resource Indonesia dalam situs web mongabay mengungkapkan bahwa pasir Takalar termasuk pasir besi yang mengandung mineral-mineral magnetik seperti Fe2O3 (iron oxide), TiO2 (titanium dioxide) dan Fe (iron) yang cukup tinggi.

Pasir laut yang ada di laut Galesong merupakan sedimen yang berasal dari Gunung Bawakaraeng. Sedimen tersebut mengalir melalui sungai menuju bendungan dan sungai Bili-bili hingga terbawa ke Laut Galesong. Sedimen yang telah terbawa arus ini telah tercuci dengan baik dalam perjalanannya, sehingga membuatnya menjadi berkualitas dan tidak berlumpur.

Penambangan pasir ini, selain diharapkan bisa menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sulawesi Selatan, reklamasi  ini juga diharapkan bisa memberi dampak positif terhadap masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang bermukim di garis pantai dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

Sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Namun kenyataan tidak sesuai dengan harapan, dampak reklamasi Pantai Losari tidak seindah “Kolam Susu”. Nelayan pesisir Galesong sampai saat ini harus menerima kenyataan bahwa mereka masih sulit mendapatkan ikan setelah penambangan pasir mulai dilakukan. Para nelayan mengeluhkan mengenai tangkapan yang semakin jauh akibat habitatnya yang terganggu.

Lokasi penambangan ini terletak tak jauh dari pulau Sanrobengi, sebuah pulau yang ditetapkan sebagai obyek wisata oleh Pemerintah Kabupaten Takalar. Menurut nelayan, pulau kecil tersebut terancam akan hilang jika pengerukan pasir berlangsung secara terus menerus. Penambangan pasir bisa menjadi awal bencana bagi pesisir.

Nelayan Galesong mengatakan bahwa lokasi penambangan pasir di laut Galesong adalah tempat mereka menangkap ikan, cumi-cumi maupun kepiting. Di daerah itu terdapat batu-batu karang yang mereka yakini sebagai rumah dan tempat berkembangbiak bagi tangkapan mereka.

Akibat penambangan, batu karang dan pasir laut terhisap dan menyebabkan air menjadi keruh sehingga biota laut tangkapan mereka menjauh untuk mencari habitat baru. Dampaknya, sebagian nelayan kecil memilih untuk bergabung dengan para nelayan penangkap ikan di laut dalam dan menjadi awak untuk punggawa perahu-perahu besar, sebagian lainnya memilih untuk mencari pekerjaan lain.

Salah seorang nelayan kecil asal Galesong Selatan yang juga teman dekat saya (Harto Dg. Gassing, 49 thn) melalui percakapan pribadi mengeluhkan kondisi ekonomi keluarganya. Ia mengatakan, semenjak penambangan pasir di Galesong Selatan dimulai, dia dan beberapa nelayan kecil lainnya makin sulit mendapatkan tangkapan, pendapatan makin berkurang.

Ironinya kemudian membuatnya harus mencari pekerjaan sampingan di kota Makassar sebagai buruh bangunan dan pengemudi angkutan umum roda 3, Bentor (becak-motor). “Api di dapur harus terus menyala”, tambahnya.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, garis pantai di Takalar tercatat telah berkurang hingga 15-20 meter dan makin mendekati pemukiman masyarakat pesisir Galesong. Selama berjalan, kegiatan penambangan pasir hanya akan berhenti jika pengerukan pasir laut sudah mencapai lapisan tanah berlumpur. Dimana kedalaman minimalnya 10 meter, dan memungkinkan untuk dikeruk lebih dalam lagi sesuai ketersediaan pasir di lokasi penambangan.

Penambangan pasir di laut Galesong tidak pernah menjadi atau memberi solusi bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir Galesong. Selain memperburuk kondisi ekonomi para nelayan, penambangan tersebut juga ikut melenyapkan ruang bermain dan belajar bagi anak-anak nelayan.

Ruang di mana mereka bisa mempelajari dan memahami laut yang akan menjadi tumpuan hidup bagi mereka yang kelak ingin memilih berprofesi sebagai nelayan. Laut bukan kolam susu, yang keberadaannya hanya untuk dinikmati. Lebih dari itu, dia butuh dirawat!

Ya, pada akhirnya lagu tidak lebih dari sebuah hiburan ataupun kenangan.

Ikan menjauh… tidak lagi menghampiri kita.

Untung cuma ikan yang menjauh.

Tidak bisa saya bayangkan jika yang menjauh itu kekasih, istri/suami, anak, teman atau keluarga. Hehehe ironi…. 

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan