Kenalan dengan Suku Pengembara Lautan dari Timur Nusantara, yuk!

Nenek moyangku seorang pelaut

Gemar mengarung luas samudra

Menerjang ombak tiada takut

Menempuh badai sudah biasa

Lahir dan besar di Indonesia membuat kita pastinya sudah tak asing lagi dengan penggalan lirik lagu diatas. Lagu berjudul “Beramai ke Laut” yang diciptakan oleh Ibu Sud ini tak ayal menjadi lagu yang akan selalu terpatri dalam memori tersebab sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), lagu ini sudah tercetak indah di halaman buku pelajaran.

Jika diamati lebih jauh, dari liriknya kita bisa menyimpulkan bahwa sejak dulu masyarakat Indonesia telah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan laut. Tercermin dari Indonesia, negara pemilik luas garis pantai terpanjang kedua di dunia mempunyai wilayah laut yang lebih mendominasi dibandingkan daratannya.

Sebesar 71% wilayah dari negeri ini ialah perairan yang pada akhirnya melahirkan budaya unik tersendiri di kalangan masyarakat pesisir. Dari sekian banyak suku yang mendiami pesisir pantai Indonesia dengan ragam adat budayanya, salah satunya ialah Suku Bajo atau Bajau.

Jika ditanya dimanakah suku ini bermukim? Maka jawaban yang paling tepat ialah mereka tersebar di banyak tempat, terutama di daerah tengah dan timur Indonesia seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Suku Bajo sering juga disapa sebagai Orang Laut atau Orang Sama. Hal ini karena mereka sejak dulu merupakan pengembara lautan yang hidup diatas perahu dan nomaden dari satu laut ke laut lainnya.

Di era modern ini, Orang Bajo sudah tidak lagi hidup nomaden diatas perahu tetapi mereka tetap mendirikan rumah diatas perairan laut yang dangkal dengan kedalaman berkisar antara 1 – 8 meter.

Untuk mendirikan rumahnya, mereka menggunakan kayu sebagai material utama. Orang Bajo yang mendiami Pulau Sulawesi biasanya memilih jenis kayu gofasa, yakni pohon khas Sulawesi.

Permukiman Masyarakat Bajo (BeritaSatu.com)

Seperti pada kebanyakan masyarakat pesisir, sebagian besar Orang Bajo bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka tidak menggunakan Global Positioning System (GPS) untuk mencari arah dan menemukan lokasi ikan, melainkan mengandalkan pengetahuan yang diwariskan turun temurun.

Satu-satunya alat navigasi yang digunakan Orang Bajo hingga kini dalam menentukan arah ialah rasi bintang. Wilayah timur Indonesia yang minim polusi menjadikan langit bersih dan bintang gemintang dapat terlihat jelas. Sementara itu, untuk mengetahui lokasi ikan mereka berpatokan dengan tanda-tanda alam seperti tenang atau riuhnya ombak, banyak atau sedikitnya buih dan ada atau tidaknya burung laut serta tanda lainnya.

Tradisi melaut yang terkenal dari suku ini disebut dengan Mamia Kadialo. Mamia Kadialo berarti pengelompokkan orang ketika ikut melaut berdasarkan jangka waktu tertentu dan kapal yang digunakan. Menurut Profesor Ramli Utina dari Universitas Negeri Gorontalo, pada tradisi ini terdapat tiga pengelompokkan yang masing-masing diberi nama palilibu, bapongka dan sasakai.

Palilibu adalah kegiatan melaut dalam jangka waktu satu atau dua hari dengan perahu dayung (soppe). Sementara itu bapongka ialah kegiatan melaut dalam jangka waktu yang lebih lama yakni beberapa minggu bahkan beberapa bulan dengan perahu berukuran lebih besar sekitar 4 x 2 meter yang disebut leppa atau sopek.

Sasakai sendiri merupakan kegiatan melaut dalam waktu yang lebih lama dibandingkan palilibu dan bapongka dengan wilayah melaut yang lebih luas, biasanya antar pulau menggunakan beberapa perahu. Keunikan dari tradisi Mamia Kadialo milik Suku Bajo terletak pada kepercayaan mereka, dimana mereka percaya ketika anggota keluarganya sedang melaut maka ada beberapa pantangan yang tak boleh dilanggar baik oleh keluarga di rumah maupun si pelaut.

Pantangan yang dimaksud ialah tidak boleh membuang sesuatu ke perairan laut contohnya seperti arang, segala jenis air cucian dan puntung rokok, selain itu dilarang pula untuk mengonsumsi daging penyu dan menangkap ikan di daerah gugusan karang.

Apabila dilanggar, dipercaya bahwa malapetaka akan datang. Keberadaan tradisi unik ini membuat kondisi wilayah laut yang dijelajahi oleh Orang Bajo tetap terjaga karena secara tidak langsung mereka menjaga kelestarian ekosistem.

Tak hanya sampai disitu, mereka juga dikenal sebagai penyelam yang ulung. Tanpa peralatan selam, Orang Bajo mampu menyelam hingga kedalaman 70 meter selama 13 menit hanya dengan satu tarikan napas untuk mencari ikan ataupun sumberdaya lainnya yang dapat dimanfaatkan. Padahal, normalnya manusia biasa hanya dapat menahan napas selama beberapa detik di bawah air.

Salah Satu Orang Bajo sedang Berburu Ikan (bali.idntimes.com)

Dilansir dari laman nationalgeographic.grid.id, hasil penelitian dari Melissa Ilardo yang merupakan seorang peneliti di Universitas Kopenhagen, mengatakan bahwa ternyata kemampuan masyarakat Suku Bajo dalam melakukan penyelaman dengan waktu yang lebih lama tanpa bantuan alat disebabkan oleh karena adanya adaptasi genetis yang dialami generasi penerusnya.

Ukuran limpa Orang Bajo lebih besar dibandingkan manusia lainnya. Limpa berperan dalam proses pelepasan oksigen saat manusia menyelam. Adaptasi genetis yang terjadi disebabkan kebiasaan dari Orang Bajo sendiri yang  cenderung lebih sering menghabiskan 60% waktu dalam kesehariannya untuk menyelami dasar lautan. Jadi dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa Orang Bajo menganggap laut sebagai rumah kedua mereka.

Nah, itulah beberapa ciri khas dari Orang Bajo si pengembara lautan dari timur Nusantara. Luar biasa sekali ya adat dan budaya yang dimiliki oleh suku ini? Mereka adalah salah satu potret asli penjaga lingkungan laut yang sudah ada sejak berabad lamanya. Tentunya tradisi baik seperti Mamia Kadialo diharapkan dapat terus berlanjut ke anak dan cucu kita ya!***

Baca juga: Potret Suku Bajo di Laut Sulawesi (Bajau Pengembara)

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan