Hidup Tak Sekedar Tentang Mengumpulkan Uang, Tetapi Juga Kisah Tentang Keindahan Alam yang Dititipkan

hidup tak sekedar tentang mengumpulkan uang

Daratan telah dihuni oleh gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan-kendaraan berpolusi yang terkesan membosankan sekaligus melelahkan, sehingga lautan kerap kali dijadikan sebagai sisi lain bumi untuk melepas rasa lelah.

Di antara biru lautan, terdapat fauna-fauna langka yang bisa dinikmati dengan aktivitas menyelam. Di pinggir hamparan pasir-pasir putih pantai, berhembus semilir angin yang membuat pikiran tenang, melayang-layang.

Tersadar bahwa hidup tak sekadar tentang mengumpulkan uang, tetapi juga kisah tentang keindahan alam yang dititipkan.

Sayangnya, kita tidak pandai dalam menjaga titipan, kini keindahan lautan itu terancam oleh keserakahan dan ketakpedulian.

Diungkapkan oleh Lindsey Hoshaw di dalam New York Times edisi 10 November 2009, bahwa tumpukan sampah yang berserakan di Samudera Pasifik terus berlipat ganda pada setiap dekade dan dipercaya telah mencapai dua kali luas texas.

Mau diakui atau tidak, kenyataannya di tengah birunya lautan terdapat sebuah ‘pulau’ sebesar dua kali luas texas yang berupa sampah. Sialnya lagi, ‘pulau’ itu kini bisa berkali-kali lipat lebih luas dibandingkan dengan sebelas tahun yang lalu.

Jika sudah seperti ini, ke manakah manusia akan melepas rasa lelah? Di daratan terasa melelahkan sekaligus membosankan, sedang di lautan pun terasa memprihatinkan. Belum lagi lautan tak hanya sekadar tempat menyegarkan pikiran, tetapi juga menjadi sumber mata pencaharian dan sumber makanan.

Masih terngiang di dalam ingatan tentang kejadian penemuan bangkai ikan paus sperma sepanjang 9,5 meter dan lebar 1,85 meter di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada hari Senin, 19 November 2018 lalu.

Bukan tentang ikan pausnya yang membuat kejadian ini membekas di dalam ingatan, tetapi tentang penemuan sampah di dalam perut ikan paus tersebut yang membuat kejadian itu begitu lekat di dalam pikiran. Tidak tanggung-tanggung, ditemukan tumpukan sampah plastik seberat 5,9 kilogram di dalam perut ikan paus tersebut.

Jenis sampahnya juga cukup ‘berwarna-warni’, mulai dari botol plastik seberat 150 gram; kantong plastik seberat 260 gram; sandal jepit seberat 270 gram; plastik keras seberat 140 gram; serpihan kayu seberat 740 gram; gelas plastik seberat 750 gram; karung nilon seberat 200 gram; dan tali rafia seberat 3.260 gram.

Stop Plastik Sekali Pakai

Pertanyaannya sederhana saja, jika manusia akan mengalami kesakitan saat mengonsumsi sampah-sampah plastik sejenis itu (anggap saja manusia dipaksa menelan sandal jepit atau serpihan kayu), maka bagaimanakah ikan paus menanggung rasa sakit itu? Pertanyaan lanjutannya sudah jelas, siapakah yang menjadi penyebab sampah-sampah plastik itu sampai ke laut?

Jawabannya juga sejatinya sudah jelas, tidak mungkin sampah-sampah plastik itu berjalan atau berenang sendiri ke laut karena sampah-sampah itu adalah benda mati. Artinya, ada ‘makhluk hidup’ yang membawanya ke laut, entah secara sengaja maupun secara membabi buta. Mereka yang disebut ‘makhluk hidup’ hanya sibuk meminta dipenuhi keinginannya tanpa pernah peduli terhadap keberlangsungan alam yang memenuhi kebutuhannya.

Akibatnya, banyak ikan-ikan di laut dan air tawar yang dikonfirmasi telah tercemar merkuri beserta bahan-bahan kimia organik lainnya.

Ironisnya lagi, ikan-ikan yang telah terkontaminasi tersebut akan berakhir di meja-meja makan untuk dikonsumsi oleh mereka yang disebut ‘makhluk hidup’. Setidaknya hubungan ini terkesan ‘adil’, mereka yang berulah dan mereka juga yang harus menanggung akibatnya.

Dalam hal ini, ikan-ikan tak boleh menanggung sakit sendirian. Mereka yang disebut ‘makhluk hidup’ juga perlu merasakan rasanya sakit.

Oleh sebab itu, untuk mengakhiri hubungan yang sama-sama menyakitkan ini, dibutuhkan kesadaran bahwa keberadaan alam tak sekadar hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk dilindungi.

Cerita Lainnya: Berkunjung Ke Bantar Gebang, Gunungan Kesadaran

Halo sobat laut! Aku ingin menceritakan pengalamanku ke TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) Bantar Gebang untuk outing kelas.

Saat bis kami dari Sekolah Alam Indonesia mulai mendekati Bantar Gebang, semilir bau sampah mulai tercium, semakin dekat semakin kuat pula baunya.

Sampai akhirnya Kami memasuki area TPST Bantar Gebang. Banyak pohon-pohon yang tumbuh di sekitar, tapi gunungan sampah masyarakat Jakarta tetap menjadi perhatian yang dituju mata.

Selengkapnya: Berkunjung ke Bantar Gebang: Gunungan Kesadaran  

Editor: Jibriel Firman

Artikel Terkait

Tanggapan