Tradisi Mane’e, Keunikan Menangkap Ikan Secara Tradisional dari Kepulauan Terluar Indonesia
Pagi itu semua orang di Pulau Kakorotan-Intata berbondong-bondong datang ke Pantai Malo. Ada prosesi besar yang sedang mereka lakukan dan tak mungkin dilewatkan. Tua muda berkumpul di tepi pantai, tradisi yang menyelamatkan dan mengubah arah hidup nenek moyang terdahulu kala masa pelik tiba. Masyarakat menyebutnya Mane’e.
Kini jejak tradisi Mane’e sudah mengakar di masyarakat di Pulau Kakorotan-Intata. Bermula dari tragedi gempa dahsyat pada medio awal abad 17 tepatnya tahun 1628. Pasca gempa dahsyat tersebut, memicu gelombang tsunami besar yang menyapu pantai. Banyak korban jiwa masyarakat sekitar yang merenggang nyawa, menyisakan 8 warga saja yang berhasil selamat dari amukan di malam itu.
Bahkan dahsyatnya gempa secara tak langsung membuat bagian Pulau Kakorotan terbelah menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian kemudian menjadi Pulau Kakorotan, Pulau Intata dan Pulau Malo.
Lalu 8 warga yang selamat dari bencana dahsyat tersebut jadi cikal bakal empat suku. Mendiami Kepulauan Kakorotan-Intata, yakni Waleuala, Pondo, Melonca dan Parapa hingga kini.
Di masa kemalangan pasca musibah, datanglah kepada mereka dua orang asing. Mereka mengerak-gerakkan dedaunan ke dalam air laut. Gerakan unik tersebut mampu mengundang banyak ikan untuk datang ke pantai. Didorong rasa takjub, lantas penduduk memohon kepada pendatang asing itu agar diajari cara menangkap ikan seperti itu. Tak sampai di sini, pendatang asing kata leluhur mereka lalu mewariskan alat penangkap ikan tersebut sebelum kembali berlayar. Kemudian hilang tenggelam di ujung Samudra.
Sejak saat itulah tradisi Mane’e diyakini dimulai dan terus bertahan hingga kini. Kisah itu terus diceritakan turun-temurun hingga kini dan menjadi kisah rakyat melegenda. Bahkan setiap masyarakat tahu persis cerita tersebut, sehingga leluhur mereka bisa bertahan hidup dan melanjutkan hidup baru setelah bencana besar itu.
Tradisi Mane’e rutin dilakukan setiap tahunnya dan makin membesar hingga jadi festival besar tahunan masyarakat Kepulauan Kakorotan-Intata.
Mengenal Pulau Kakorotan-Intata, Tempat Diadakannya Festival Mane’e
Letak Pulau Kakorotan di ujung negeri seakan menjadikan dirinya sebagai pulau terluar yang dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Utara bersama 11 pulau lainnya.
Berbatasan dengan perairan Filipina sekaligus menjadi daratan terluar di sebelah timur laut nusantara. Jelas berada di ujung negeri membuat mereka luput dan bahkan tergolong jadi daerah 3T.
Masyarakat di sana menggantungkan hidupnya dari bidang nelayan dan bercocok tanam. Untuk hasil laut jelas sangat melimpah, kepulauan di lepas pantai tentunya menawarkan beragam jenis ekosistem laut.
Mulai dari terumbu karang dan lamun, berbagai jenis spesies hidup di sana dan memudahkan nelayan menangkap ikan tanpa harus ke laut lepas.
Jadi di daerah yang di ujung negeri bukan berarti Pulau Kakorotan-Intata tak punya sesuatu yang ditonjolkan. Panorama indah lautan Pasifik dan kaya sumber daya alam bawah laut.
Potensi hasil laut membuat masyarakat nelayan mengedepankan alat tradisional dalam menangkap ikan. Beragam alat tangkap yang masyarakat gunakan seperti pukat ukuran kecil, jaring antoni, jaring insang dasar, panah (jubi), pancing noru, pancing tonda dan lot.
Selain dari kebiasaan tersebut, mereka punya dua tradisi yang terus dijaga. Bencana alam yang terjadi silam melahirkan tradisi yang dijunjung tinggi yaitu Eha dan Mane’e. Bahkan menjadi daya tarik yang dibahas, saat manusia mengeksploitasi alam habis-habisan. Namun kepulauan kecil di ujung negeri tahu bahwa menjaga alam bisa bermodalkan rasa syukur.
Urgensi Festival Mane’e
Kata Mane’e berasal dari bahasa setempat yaitu see atau sasahara yang berarti sepakat/setuju. Inilah yang menjadikan tradisi ini hadir dari kesepakatan masyarakat terutama dalam menangkap hasil laut dengan peralatan tradisional.
Sekaligus bentuk refleksi atas terjadinya musibah di abad 17 terdahulu. Saat tak memiliki apa pun, namun bermodal tangan kosong dan hentakan dedaunan di riak air berhasil menangkap ikan di laut.
Nilai dari tradisi Mane’e tahunan, seakan mengajarkan masyarakat untuk menjaga hubungan dengan alam. Tak hanya itu saja, ada rasa syukur yang alam berikan oleh alam, apa yang alam berikan dan dimanfaatkan secukupnya, maka alam akan memberikan lebih.
Esensi inilah yang jadi cerminan dari tradisi Mane’e berupa hasil tangkapan ikan dan sekaligus pengelolaan hasil perikanan laut. Mengambil secukupnya dan tentunya mengedepankan rasa syukur.
Tradisi Mane’e diselenggarakan tahunan dan melibatkan seluruh anggota masyarakat dan puncaknya dilakukan pada Bulan Mei. Pelaksanaan terakhir secara keluarga dan tetap memenuhi jadwal untuk penangkapan yang tetap dipatuhi oleh semua warga.
Saat itulah beragam biota laut dapat berkembang biak dengan baik. Hasilnya pun dapat dinikmati untuk kesejahteraan warga. Hal ini terbukti dengan melimpahnya ikan hasil tangkapan warga Kokorotan-Intata saat acara Mane’e berlangsung dan hari-hari setelahnya ketika mereka melaut.
Penangkapan hanya dapat dilakukan setahun sekali. Kegiatan ini harus dilakukan secara bersama dan diketahui oleh semua penduduk dan dengan alat tradisional.
Pada masa Eha, dilarang dalam mengambil hasil bumi dan laut. Supaya alam terbebas dari gangguan manusia. Lalu ada yang ingin bertanya, memangnya apa itu Eha?
Bagi masyarakat, Eha adalah kearifan lokal untuk mengakhir musim melaut tahunan. Ada sangsi buat yang melanggar, berupa larangan yang diberikan pada periode tertentu yang berkisar 3 sampai 6 bulan, baik hasil laut atau darat yang didapatkan oleh masyarakat.
Ini berguna dalam menjaga kelestarian alam dan sejumlah makhluk hidup yang terancam akibat diburu oleh manusia secara intens. Hukuman yang diberikan bagi pelanggar berupa diarak keliling desa dengan hasil tangkapan yang ia langgar.
Mengetahui Jalannya Prosesi Pelaksanaan Festival Mane’e
Pada festival ini akan ditunjukkan prosesi budaya Mane’e yakni, doa adat, mengambil tali hutan, membuat alat, pelepasan Sammy (janur kelapa yang sudah dirangkai), memanggil ikan, menebar alat, menombak ikan, bagi hasil tangkapan, hingga acara syukuran.
Acara ini dilakukan secara berurutan di sekitar Pantai Malo yang tersebar sebanyak 9 titik. Semua tahapan ini dilaksanakan secara bergotong-royong yang melibatkan semua elemen masyarakat Kokorotan-Intata.
Acara puncak festival Mane’e dimulai sehari sebelum hari pelaksanaan. Nantinya akan ada seorang Ratumbanua (tetua adat setempat) akan memimpin penyelenggaraan sebuah ritual bernama Malahaan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan.
Pada ritual ini, semua perlengkapan yang akan digunakan dalam acara puncak Mane`e didoakan, seperti perahu dan tali hutan yang telah dililit janur.
Tak ketinggalan, sejumlah warga pilihan yang akan terlibat langsung dalam prosesi tersebut juga diberikan restu agar diberi kekuatan.
Perlengkapan acara adat berupa tali, sangat mendapat perhatian khusus dari penyelenggara. Karena unsur ini menjadi jantung dari prosesi itu. Tali yang digunakan haruslah diambil dari dalam hutan oleh beberapa orang desa Kakorotan-Intata.
Mereka kemudian bertugas merangkai penggalan-penggalan tali yang diambil dari hutan tersebut menjadi sebuah tali yang panjang. Tali dengan panjang sekitar 600 meter ini lantas dililit dengan janur dari ujung hingga pangkal.
Sebelum menangkap ikan di perairan dangkal yang telah dikurung dengan jaring alami tersebut, Ratumbanua melafalkan sebuah mantra dalam bahasa setempat. Dalam situasi ini, setiap peserta Prosesi Adat Mane’e dituntut ketaatannya.
Partisipan harus fokus selama prosesi berlangsung agar ikan-ikan tidak terlepas kembali ke laut. Mereka hanya diperkenankan berkerumun mengitari janur dengan tenang. Masalah busana pun juga tak luput diatur. Warga tidak boleh memakai pakaian berwarna merah.
Seluruh elemen yang menjadi bagian dalam penangkapan cara ini bisa membuat Anda tercengang.
Pertama, orang-orang yang ikut menangkap jumlahnya banyak hingga melibatkan 200 orang. Mengenai jumlah serta orang-orang yang diikutsertakan dalam kegiatan ini ditentukan oleh para tetua adat.
Jadi yang ikut serta adalah orang-orang pilihan yang ditunjuk jauh-jauh hari sebelum festival dilaksanakan.
Kedua, peralatan yang digunakan unik dan masyarakat sekitar menyebutnya dengan Sammy. Seperti apakah bentuk dari Sammy?
Sekilas bentuknya sangat sederhana, hanya berupa sebuah tali hutan berupa rotan dengan panjang sekitar 1 hingga 2 meter diberikan janur berbentuk daun kelapa yang muda.
Panjang Sammy tak tanggung-tanggung hingga tiga kilometer. Sehingga untuk pengerjaannya dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat. Lalu, dua macam alat pendukung prosesi, mereka menyebutnya dengan Jubih (panah laut) dan saringan.
Prosesi pun dimulai dengan alat tradisional yang digunakan selama prosesi berlangsung. Pada prosesi Tradisi Mane’e terdiri dari sembilan tahapan yang dilaksanakan secara berurutan dalam beberapa hari.
Rangkaian tahapan itu meliputi Maraca Pundangi (memotong tali hutan), Mangolom Par’ra (permohonan kepada Tuhan), Mattuda Tampa Pane’can (menuju lokasi acara), Mamabi’u Sammi (membuat alat tangkap dari janur kelapa yang dilingkarkan pada tali hutan).
Selanjutnya adalah prosesi berupa Mamoto’u Sammi (menebar janur), dilanjutkan dengan Mamole Sammi (menarik janur ke darat), dan Manganu Ina (mengambil hasil tangkapan).
Hasil akhirnya adalah Matahia Ina (membagi hasil) serta Manarm’Ma Alama (ucapan syukur lewat makan bersama hasil tangkapan) pada tradisi tersebut.
Ini melibatkan semua elemen masyarakat sekaligus bentuk berbagi hasil tangkapan alam tanpa bantuan alat apa pun.
Segala prosesi tersebut berlangsung sehari dan pelaksanaan dipilih bulan yang tepat. Saat ikan sedang ramai-ramai di daerah pelagis.
Ini memudahkan ritual Mane’e dilakukan dan tentunya hari cerah. Bulan Mei jadi waktu rutin pelaksanaan Mane’e karena saat itu gelombang laut dan curah hujan minim di Kepulauan Kakorotan-Intata.
Terdapat beberapa pantangan atau larangan yang tidak boleh dilanggar oleh semua peserta festival. Mulai dari peserta tidak boleh menggunakan baju warna merah, tak boleh menunjuk-nunjuk sembarangan dengan jarinya dan terakhir peserta tidak boleh tertawa terbahak-bahak selama festival berlangsung.
Larangan ini dilakukan dengan tujuan membuat ikan yang terkurung di dalam janur tidak agresif dan bisa ditangkap dengan mudah dengan tangan.
Daya Tarik dari Mane’e dalam Membangkitkan Kakorotan-Intata
Tradisi Mane’e yang dilakoni oleh masyarakat sekitar dan jadi agenda tahunan yang menarik minat wisata.
Tradisi diselenggarakan dengan tujuan untuk menggali, mempertahankan juga mengenalkan nilai budaya dan tradisi khas Talaud yang kaya dan belum tentu dapat ditemukan pada daerah lain di Indonesia maupun belahan dunia lain, terutama tradisi cara khas mereka menangkap ikan dengan janur kelapa.
Tak jarang tradisi ini mulai dikenal luas dan mendorong wisatawan untuk pergi ke sana. Bagaimana bisa bermodalkan alat seadanya berhasil memancing ikan datang dan bisa menangkap ikan hanya dengan tangan.
Ada banyak potensi pengembangan ekowisata bahari dan hasil perikanan tangkap dan tentunya bisa membantu masyarakat sekitar dan mengangkat kesejateraan masyarakat dan daerah dari yang sebelum 3T jadi wilayah unggul di ujung negeri.
Tradisi Mane’e dianggap salah satu magnet yang bisa menarik hati wisatawan. Melihat keunikan budaya yang mereka punya sekaligus menjual hasil alam, budaya, dan tentu saja meningkat ekonomi masyarakat sekitar.
Umumnya masyarakat datang dari kalangan nelayan, adanya wisatawan bisa menambah omset devisa kepulauan tersebut.
Semoga tulisan ini menginspirasi kita semua dan bisa tahu tradisi unik bidang bahari bahkan di ujung negeri, akhir kata: Have a Nice Days.***
Baca juga: Mengemas Konservasi Lewat Folklore (Cerita Rakyat)
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan