Mengemas Konservasi Lewat Folklore (Cerita Rakyat)

Cantik, gulungan deburan ombak dari laut yang jernih dan punya gradasi warna kebiruan. Pasir putih terhampar, di bibir pantai pulau yang hanya seluas 27,80 Km² itu.

Nama pulaunya adalah Pulau Pisang. Konon, bukan karena tumbuhan di pulaunya didominasi oleh pohon pisang. Namun, bentuknya yang menyerupai pisang membuat pulau ini menyandang julukan ‘Pulau Pisang’.

Sekitar 250 Kilometer dari Ibu Kota Provinsi Lampung, butuh 6-7 jam untuk dapat menapakkan kaki di pulau ini. Terletak di Kabupaten Pesisir Barat, didiami sebanyak 1.335 jiwa, Pulau Pisang memiliki enam desa yakni Pekon Suka Marga, Sukadana, Pekon Lok, Pasar Pulau Pisang, Bandar Dalam, dan Labuhan.

Umumnya masyarakat pulau ini bermata pencaharian sebagai petani cengkeh dan nelayan. Masyarakatnya cukup plural, hampir seluruh desa/pekon menganut adat Lampung Saibatin, kecuali Pekon Pasar yang menganut adat Melayu karena mayoritas penduduknya berasal dari Bengkulu.

konservasi
Pulau Pisang. / Foto: backpackerlampung.com

Masyarakat tak akan pernah lepas dari istilah kebudayaan. Keduanya akan saling berkaitan. Folklore salah satunya, sebuah karya tradisional berbentuk cerita yang berkembang dari mulut ke mulut.

Eksistensinya akan tetap terjaga di kalangan masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, termasuk masyarakat Pulau Pisang. Bentuknya berupa larangan dan petuah yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat setempat.

Meskipun begitu, folklore yang berkembang di tengah masyarakat Pulau Pisang ini secara tak langsung mendukung konservasi dan pelestarian lingkungan termasuk lingkungan laut dan pesisir.

Folklore yang beredar di kalangan masyarakat Pulau Pisang seperti larangan membunuh atau merusak flora dan fauna tertentu, di antaranya adalah pohon ketapang (Terminalia catappa) dan ikan pari (Dasyatis margarita).

Pohon ketapang memiliki habitat tumbuh terbaik di lingkungan pesisir pantai meskipun dapat beradaptasi di lingkungan lain. Ketapang memiliki sistem akar tunggang yang mampu memecah gelombang pasang, menahan erosi, dan pergerakan tanah di pesisir pantai.

Masyarakat Pulau Pisang meyakini bahwa tumbuhan ini termasuk dalam flora yang tak boleh diganggu keberadaannya. Apabila larangan merusak pohon ketapang dilanggar, maka diyakini pelanggar akan memperoleh ganjaran yakni kesialan berupa penyakit kulit (kudis/gatal) disertai sakit di bagian tubuhnya.

Obat penawar yang diyakini masyarakat setempat yaitu dengan langsung meminta maaf kepada pohon ketapang di sekitar pulau atau tempat pohon tersebut dirusak/ditebang.

koservasi
Aktivitas masyarakat Pulau Pisang. / Foto: backpackerlampung.com

Ikan pari memiliki permintaan akan daging, kulit dan sirip yang cukup tinggi. Hal ini memicu maraknya perburuan berlebih yang tak terkontrol. Masyarakat baik yang sudah menetap ataupun wisatawan di Pulau Pisang meyakini folklore mengenai larangan mengonsumsi ikan tersebut.

Mitos ini bermula saat ada seorang nelayan yang melaut dan tertimpa musibah kapal bocor. Konon, ikan pari lah yang menolong nelayan itu dengan menutupi bagian kapal yang bocor menggunakan tubuhnya.

Nelayan itu pun dapat bersandar dengan selamat. Alhasil, terjadilah sebuah kesepakatan antara nelayan dengan ikan pari. Kesepakatan itu menyebutkan bahwa keturunan nelayan tersebut (masyarakat Pulau Pisang) tak boleh mengganggu keturunan ikan pari. Jika hal ini dilanggar, kesialan akan menghampiri dalam wujud penyakit kulit/gatal. Masyarakat meyakini akan memperoleh kesembuhan jika meminta maaf langsung pada keturunan ikan pari.

Folklore secara tak langsung mendukung upaya konservasi lingkungan Pulau Pisang. Sebuah keyakinan yang mengingatkan manusia akan keeratan hubungannya dengan alam baik darat maupun laut.

Cerita yang diciptakan para nenek moyang ataupun tetua adat yang turun temurun, menciptakan ketakutan bagi tangan-tangan nakal yang merusak atau terlalu mengeksploitasi tanpa memikirkan kelestarian sumber daya alam termasuk flora dan fauna. Mitos-mitos ini masih eksis di kalangan masyarakat Pulau Pisang. Sebuah upaya konservasi yang dikemas dalam bentuk folklore.***

Baca juga: Garis Pantai Banyuwangi, Laboratorium Alam Kelautan Berkelas Dunia

Editor: J. F. Sofyan

Sumber:

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lampung Barat 2020. Kecamatan Pulau Pisang dalam Angka 2020.

Rawanda, R., Winarno, G.D., Febryano, I.G., & Harianto S.P. 2020. Peran Folklore Dalam Mendukung Pelestarian Lingkungan di Pulau Pisang. Journal of Tropical Marine Science, 3(2) : 74-32.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan