Memaknai World Ocean Day dengan Sederhana: Belajar dari Masyarakat Pesisir Aru

Dengan tidak mengindahkan kampanye mengenai makan ikan dan berbagai perhatian pemerintah yang berfokus pada laut, sejatinya, permasalahan laut sudah menjadi hal yang krusial sejak lama, bahkan sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa memasukkannya dalam agenda resmi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Poin ke-14 yang secara eksplisit menyebut tentang lautan, laut, dan sumber daya laut, pada kenyataannya, masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi kita, umat manusia. Tak lepas dari segala masalah yang dihadapinya, setiap tahunnya, tepatnya tanggal 8 Juni, masyarakat dunia memperingati World Ocean Day, yang sebenarnya bukan sebagai sebuah hal yang dirayakan, namun sebagai sebuah pengingat bagi kita. Oleh karena itu, mari berkaca dan memahami seberapa penting ‘laut’ bagi kita.

Alih-alih menggunakan analogi universal dengan data statistik yang penuh angka, untuk menceritakan tentang laut, alangkah lebih nyata jika kita belajar dari masyarakat pesisir di Kepulauan Aru. Mengambil contoh dari sebuah masyarakat adat yang terletak di Maluku dan mempunyai kekayaan laut yang diapit oleh Laut Aru dan Laut Arafura dengan potensi ikan yang melimpah. Keragaman biota laut yang ada bahkan membuat wilayah Aru bagian selatan menjadi wilayah konservasi penyu. Kawasan ini seringkali luput dari perhatian pemerintah karena letak geografisnya yang sangat sulit dijangkau.

Lalu, apa sebenarnya peran laut bagi masyarakat pesisir di Aru? Mereka yang menggantungkan hidupnya pada laut tentu tidak akan pernah lepas dari keragaman hasil laut yang ada. Sejak kecil, anak-anak diajarkan tidak hanya tentang mengolah hasil laut, tetapi juga melestarikannya. Potensi ikan yang tak pernah habis, kilauan mutiara yang menjadi komoditas mahal hingga ikan garam balobo yang mampu menghidupi ratusan masyarakat adat di pulau terluar Indonesia.

Setiap harinya, puluhan kapal penampung ikan melepas jangkar di dekat desa-desa kecil di Aru, meramaikan pelelangan ikan hari itu juga. Ketinting milik nelayan lokal akan bersandar pada sore hari untuk menyetor hasil ikan mereka, bak simbiosis mutualisme antara nelayan dan kapal pengepul. Selebihnya, masyarakat membawa hasil laut lainnya ke Dobo, ibukota Aru. Menjual hasil laut dari ikan asar, kepiting, hingga lobster, atau jika beruntung, mutiara Aru yang sudah masyhur hingga di mancanegara.

Aktivitas ini menjadi krusial. Puluhan desa yang berada di pesisir Kepulauan Aru menggantungkan kepulan asap dapur mereka pada metode penangkapan ikan tradisional seperti ini. Selain itu, masyarakat juga molo (menyelam) untuk mencari hasil laut seperti teripang dan mutiara. Dengan hasil laut inilah mereka bisa menghidupi keluarga, membeli beras atau tumang (sagu), membelikan seragam untuk anak sekolah, hingga membeli solar untuk kembali melaut keesokan harinya. Sesederhana itu, laut memberikan mereka penghidupan. Berbagai ritual dan upacara adat tahunan seperti pukul tifa mereka lakukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas berkah laut yang mereka dapatkan. Sayangnya, apapun yang mereka lakukan, laut tidak bergeming, berbagai perubahan dan tanda alam lainnya nyata adanya.

Sayangnya, tidak selamanya pola indah ini terus terjalin. Masyarakat beranggapan laut sudah berubah, semakin susah diprediksi, mulai dari arah mata angin yang mudah berubah, hingga sampah yang mengotori laut dan jumlah ikan yang terus berkurang. Mereka harus mencari ikan lebih jauh dan menyelam lebih dalam untuk mencari teripang dibandingkan para tete-tete terdahulu.

Tentu saja, kondisi ini berdampak pada roda ekonomi kecil di desa. Meskipun tidak semenakutkan angka-angka statistik tentang kemiskinan, ketika laut sedang tidak sehat dengan segala masalahnya, masyarakat pesisir sangat terdampak. Mereka harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhannya. Seperti yang terjadi ketika angin barat mengoyak pesisir Kepulauan Aru, masyarakat tidak akan memaksakan diri untuk melaut. Mereka bertahan dengan cara menjual kopra atau memanfaatkan hasil kebun lainnya, toh itu juga waktu untuk membiarkan laut memulihkan diri setelah musim panen.

Masyarakat adat di pesisir Kepulauan Aru hanyalah satu contoh dari kurang lebih empat juta keluarga nelayan yang menggantungkan diri pada hasil laut. Tanpa disadari, jutaan keluarga nelayan yang berada di pesisir telah merasakan dampak langsung dari perubahan laut. Tidak perlu meminjam analisis canggih dan dampak jangka panjang dari dampak perubahan iklim ataupun pemanasan global dengan berbagai studi coral bleaching-nya, masyarakat pesisir sudah terancam dengan berkurangnya hasil laut. Mereka menjadi orang pertama yang merasakan perbedaan ini, dampak dari entah siapa yang harus disalahkan.

Rasa-rasanya, benar adanya bahwa tidak perlu saling menyalahkan dalam kasus laut ini. Namun harus saling bahu-membahu untuk membuat kembali laut menjadi sehat. Sesederhana apa yang dilakukan masyarakat adat di Kepulauan Aru untuk membuat laut sehat. Mereka memberikan jeda kepada laut melalui ‘sasi’ atau larangan berbasis adat untuk mengakses wilayah tertentu guna memulihkan dirinya dari campur tangan manusia yang terlalu ekstraktif.

Lebih dari itu, mari belajar dari mereka yang sederhana dan dengan sadar penuh menggantungkan hidupnya pada laut. Belajar dari mereka untuk mengambil apa yang menurut mereka cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, melepaskan rasa lapar dan melanjutkan hari esok. Tak perlu rasanya untuk menangkap ikan berlebihan dengan skala besar.***

Artikel Terkait

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan