Mitos Aul: Kisah Manusia Berkepala Serigala yang Pernah Menjadi Penjaga Hutan dan Mata Air

mitos aul

Tong boro nuar tangkal jeung ngaruksak leuweung, kaluar imah waktu sareup-na jeung asup ka leuweung larang wae teu wani” (jangankan menebang pohon dan merusak hutan, keluar rumah sore hari dan masuk ke hutan larang saja tidak berani).

Ungkapan di atas merupakan cerita yang disampaikan warga di Kampung Cibitung, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung yang hidup di kaki Gunung Gambungsedaningsih (2202 Mdpl), yang berdampingan langsung dengan Situ atau Danau Aul, pada tahun 2012.

Ketidakberanian masyarakat merusak dan menebang pohon di hutan, atau bahkan hanya memasuki hutan, didasari atas adanya pamali atau larangan yang terkait langsung dengan mitos aul.

Masyarakat dilarang merusak hutan, dan memasuki area yang dikeramatkan karena dipercaya tempat atau hutan tersebut dihuni oleh sosok aul. Apabila masyarakat melanggar pamali atau larangan tersebut, dampaknya akan datang “mamala” atau bala-bencana di kemudian hari.

Masyarakat Cibitung merupakan masyarakat perkebunan, yang hidup di tengah-tengah lanskap pegunungan. Perkampungannya berada di tengah-tengah hamparan perkebunan teh yang luas, berbatasan langsung dengan hutan primer yang menyelimuti komplek pegunungan Malabar, Gambungsedaningsih, dan Wayang Windu.

Sebagian besar kehidupan masyarakat di sini bergantung pada alam, terutama kebutuhan air, untuk itu, keberadaan mata air (Situ Aul) dan sungai-sungai yang berhulu dari gunung-gunung di sekitarnya, sangat penting untuk tetap terjaga.

Ilustrasi: Hamid dalam buku Sadar Kawasan

Alih-alih sebagai bentuk ketakutan, cerita aul sejatinya menunjukkan betapa masyarakat menghormati hutan dan mata air melalui keberadaan mitos.

Keberadaan larangan melalui mitologi pada masyarakat di kaki gunung menjadi semacam aturan yang menjadi pijakan bagaimana manusia memperlakukan atau berinteraksi dengan alam. Karena itu, tidak heran apabila hampir di setiap hutan, gunung-gunung, dan totalitas alam lainnya di Nusantara – Sunda khususnya, ditemukan cerita-cerita yang mengandung larangan sebagai bentuk aturan tradisional.

Hilangnya Tuah Mitos Aul dan Bencana Alam 

Di gunung-gunung dan hutan yang ada di sekitar cekungan Bandung, banyak cerita tentang keberadaan mitos aul, hal ini dapat dilihat dari ditemukannya beberapa tempat dengan nama yang memiliki hubungan langsung dengan mitos tersebut, seperti; Ciaul, hingga gunung-gunung dengan nama “Gunung Aul”.

Mitos aul sendiri merupakan mitos tentang manusia berkepala serigala – tepatnya ajak (ajag), atau dalam bahasa Latin umumnya dicatatan dengan nama “cuon alpinus”. Selain berkepala serigala, posisi kepala sosok aul dipercaya menghadap ke belakang, sehingga aul berjalan dengan cara mundur.

Menurut Claude-Levi Strauss, sebagaimana ia jabarkan dalam bukunya yang berjudul “Myth and Meaning”, dan pandangan strukturalnya tentang eksistensi mitos, di jelaskan bahwa terdapat korelasi antara mitologi dengan cara pandang, atau nalar manusia yang menciptakannya.

Bisa jadi, keberadaan mitos aul sebagai sosok manusia berkepala serigala (ajag) yang hidup di kedalaman hutan dipahami secara logis dalam kesadaran kolektif, sebagai aturan memperlakukan alam agar tetap lestari.

Di beberapa tempat, seperti hutan pegunungan Gunung Rakutak dan Papandayan, keberadaan mitos aul masih memiliki hubungan kuat dengan kelestarian alam. Berbeda dengan di Kampung Cibitung di bawah Gunung Gambungsedaningsih dan Situ Aul. Sejak akhir tahun 90-an, masyarakat menganggap bahwa keberadaan mitos ini telah hilang, dalam arti sudah tidak dipercaya dan tidak dihormati lagi, termasuk penghormatan terhadap pamali dan konsekuensi datangnya bala-bencana apabila masyarakat berani merambah hutan yang dulu dipercaya dihuni sosok aul.

mitos aul
Eksploitasi dan turunannya. / Ilustrasi: Hamid dalam buku Sadar Kawasan (2020)

Hilangnya penghormatan terhadap hutan dan mitos aul, tidak bisa dipisahkan dengan ekspoitasi pada tahun 1990-an tepat di sekitar hutan yang dipercaya sebagai tempat hidupnya sosok aul. Masih menurut warga Kampung Cibitung, benar bahwa dulu masyarakat enggan masuk hutan Gunung Gambungsedaningsih dan Situ Aul karena menganggap tempat tersebut sebagai tempat hidupnya sosok aul, apa lagi ditambah dengan pamali berupa larangan merambah hutan yang dipercaya akan mendatangkan bencana.

Tetapi, kemudian pandangan masyarakat berubah setelah terjadi eksploitasi pada hutan yang menjadi tempat hidupnya sosok aul tersebut. Warga berujar:

“Gening eta leuweung dibabad, dieksploitasi, teu aya mamala teh

Kurang lebih berarti:

“Faktanya, setelah hutannya dieksploitasi, ternyata bala-bencana tidak ada”

Eksploitasi yang dimaksud adalah pemanfaatan hutan sekitar Situ Aul yang dijadikan kegiatan geothermal, di mana dalam proses pembangunannya tidak hanya menebang satu atau dua pohon, tetapi secara massif membabat hutan hingga ke bibir Situ Aul.

Dari peristiwa panjang tersebut, khususnya melalui eksploitasi di tahun 90-an, mitos aul dan terutama tuah-nya akhirnya hilang, kemudian diikuti dengan mulainya masyarakat turut serta merambah hutan melalui pemanfaatan langsung.

Semua kisah tersebut penulis catat dalam observasi tahun 2012, sungguh menyayat hati ketika tahun 2016 kembali ke Kampung Cibitung dan mendapati fakta bahwa hari ini kampung yang menjadi lokasi keberadaan mitos aul, kini telah rata dengan tanah akibat longsor yang terjadi di tahun 2015.

Apakah ini yang disebut “mamala” sebagai bala-bencana yang datang akibat larangan atau pamali yang dilanggar?

Jika kembali pada nalar mitos sebagai cara masyarakat lama yang mengatur bagaimana masyarakat memperlakukan alam, dengan sederhana menunjukkan bahwa substansi mitologi yang ada bukanlah pada ketidaklogisan sosok aul, melainkan bagaimana penghormatan masyarakat hidup melalui mitos yang menjaga kelestarian hutan dan mata air.

Analogi mitos sebagai ekspresi aturan bagi masyarakat di kaki gunung, memiliki fungsi yang sama dengan aturan formal bagi masyarakat yang menjadikan undang-undang sebagai pijakan formal dalam memperlakukan alam.

Setiap Undang-Undang yang memuat konsekuensi pidana terhadap pelanggaran berupa kegiatan atau perbuatan yang mengakibatkan kerusakan hutan tidak melulu difahami sebagai upaya menakut-nakuti.

Fungsi utama dari keberadaan mitologi maupun Undang-Undang adalah penghormatan pada keduanya sebagai cara agar substansi dari keberadaannya dapat menjamin kelestarian alam.

Akhirnya, tuah dari mitologi penting untuk dijaga bukan untuk “menakut-nakuti”, tetapi sebagai manifestasi bagi masyarakat pemiliknya agar tetap dapat menghargai alam sehingga kelestarian tetap terjaga.***

Baca juga: Surat Lautan untuk Manusia: Bagian 1

Editor:  J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan