Pamali: Manifestasi Etik Relasi Manusia dan Lingkungan
Pamali dalam definisi paling umum merujuk pada Wikipedia dimaknai sebagai sesuatu yang tabu atau tidak boleh dilanggar dalam adat masyarakat Sunda, sebagai ekpresi kultural, konsep sejenis pamali identik dengan “ora elok” dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang tidak baik, dalam masyarakat Dayak dikenal istilah “pali”.
Banyak orang menilai “pamali” sebagai bentuk ungkapan yang eksis hanya untuk menakut-nakuti masyarakat.
Ungkapan pamali bisa dalam beberapa bentuk seperti: “pamali, tong diuk di hareupeun panto… bisi nongtot jodo” pamali, jangan duduk di depan pintu, nanti susah mendapat jodoh, “pamali, tong miceun runtah ka walungan… bisi aya jurig jarian” pamali, jangan buang sampah ke sungai, ada hantu sungai, “pamali, tong nuar tangkal… bisi gering” pamali, jangan menebang pohon, bisa sakit, “pamali, tong ka sengapan leuweung… aya aul” pamali, jangan ke mata air di dalam sungai, ada aul (manusia berkepala ajag) dan seterusnya.
Setiap ungkapan di atas dianggap hanya sebatas adagium (peribahasa) yang dihadirkan untuk menakut-nakuti masyarakat. Kemudian, sebagai masyarakat “modern” kita memaksa ungkapan “orang tua/leluhur” tersebut untuk diterjemahkan secara logis, apakah masuk akal atau tidak.
“jangan duduk di depan pintu” dirasionalisasi sebagai bentuk larangan “hanya” sebatas jangan duduk di depan pintu sebab menghalangi jalan.
Larangan menebang pohon karena sakit, hingga keberadaan aul di sekitar mata air di tengah hutan dianggap irasional, sehingga bobotnya hanya sebatas untuk menakut-nakuti, dan tidak masuk akal.
Alasannya, jelas tidak masuk akal ada manusia berkepala ajag, tidak ada hubungannya menebang pohon dengan jatuh sakit, apalagi mengakui keberadaan “jurig” yang berarti makhluk non-realis di jaman modern seperti sekarang ini.
Itu semua, hanya mitos! Penilaian tersebut menunjukkan bahwa kita, masyarakat, sudah terputus koneksinya dengan nilai-nilai budaya asli yang sudah hidup lama dan dipatuhi masyarakat.
Nilai-nilai etika diterjemahkan sebagai nilai logika belaka, maka setiap ungkapan yang tidak logis ditinggalkan. Celakanya, sebagai masyarakat mutakhir kita telah meninggalkan etika ajaran lama, tetapi di saat yang sama kita tidak mampu meraih konsepsi logis.
Sederhananya, aturan lama ditinggalkan, konsepsi baru (konstitusi) tidak diamalkan.
Pamali Vs Konstitusi
Jika aturan non-formal berupa “pamali” hingga “mitos” dianggap menakut-nakuti belaka, sebetulnya konstitusi sebagai ungkapan logis, rasional, yang merepresentasikan cara hidup manusia mutakhir (“modern”), jauh lebih mengerikan dan menakutkan dibanding konsekuensi pamali.
Mari kita lihat bagaimana konstitusi beroperasi, dan menghadirkan konsekuensi: Jika masyarakat lama cukup menghadirkan “pamali membuka hutan larang” sebagai bentuk perlindungan hutan dan gunung-gunung, masyarakat modern berjibaku dengan aturan yang rumit sehingga melahirkan UU no 5 1990 tentang konservasi sumber daya alam, UU 41 1999 tentang kehutanan dan seterusnya.
Jika masyarakat lama cukup menghadirkan “pamali membuang sampah ke sungai”, masyarakat modern (di Bandung misalnya) berjibaku, bekerja keras menciptakan aturan berupa Peratuan derah no 11 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.
Perhatikan bagaimana konsekuensi hukum yang dibangun masyarakat modern dibandingkan aturan “tradisional/adat”.
1. menurut aturan adat/kultural, masuk hutan larang konsekuensinya “pamali” kemudian dihadirkan “aul” misalnya. Selesai, sebatas itu. Menurut aturan konstitusi, masuk hutan larang (cagar alam) konsekuensinya dipidana 10 tahun penjara dan denda 5 milyar.
2. menurut aturan adat/kultural, membuang sampah ke sungai konsekuensinya “pamali” kemudian dihadirkan “jurig jarian” misalnya. Selesai sebatas itu. Menurut aturan konstitusi berupa peraturan daerah, membuang sampah ke sungai didenda 50 juta.
Pertanyaannya, mana yang lebih menakutkan antara sosok aul dan pamali, dibanding denda 5 Milyar dan pidana 10 tahun penjara bagi pelanggaran masuk hutan larang/konservasi?
Mana yang lebih menakutkan antara sosok aul dan pamali, dibanding denda 50 juta untuk membuang sampah ke sungai?
Masyarakat modern yang rasional, dan logis, tentu lebih takut menghadapi pidana dan denda hingga milyaran, dari pada konsepsi pamali, dan sosok mitologis yang tidak masuk akal.
Tetapi, ketika faktanya setiap aturan tersebut dilanggar: Pernahkah kita mendengar ada orang yang dipenjara dan dipidana hingga 5 milyar karena masuk kawasan cagar alam?
Pernahkah kita mendengar puluhan atau ratusan bahkan ribuan orang didenda 50 juta karena telah membuang sampah ke sungai?
Jika aturan tersebut efektif untuk masyarakat modern, seharusnya sampah tidak pernah kita temukan lagi di sungai, hutan larang dan lindung terjaga kelestariannya.
Tetapi faktanya, sampah semakin mudah kita temukan bergelimang di sungai, hutan semakin mudah kita saksikan mengerut, rusak tak tertahankan. Kenapa? sebab kita sama sekali tidak memiliki ikatan, koneksi imanen dengan aturan-aturan mutakhir yang dibuat dengan “hanya” konsepsi logis belaka.
Sementara itu, manusia Sunda dan nusantara yang hidup ribuan tahun dengan hutan dan gunung-gunung, tiba-tiba hari ini “dipaksa tunduk” dan diatur oleh aturan yang sama sekali terasing dari kesadaran kolektif manusia Sunda. Sebab aturan tersebut dibuat oleh peradaban kolonial, yang kesehariannya hidup di antara laut, Belanda!.
Manifestasi Etik
Pamali duduk di depan pintu, jurig jarian, aul, larangan, sebagai fragmen dari konsekuensi “pamali” adalah manifestasi etik yang menjadikan manusia yang mengimaninya dan patuh.
Manifestasi etik adalah perwujudan nilai-nilai yang menjadi pegangan hidup masyarakat, dan “pamali” sebagai manifestasi etik, merupakan ungkapan yang menjadi kendaraan yang dibuat agar yang memahaminya patuh.
Basis dari pamali adalah etika, argumentasinya empiris, sehingga manusia yang mempraktekannya tidak membutuhkan alasan logis sebagai dasar kepatuhan. Sebagai manusia mutakhir/modern, keberadaan konsepsi lampau tersebut sama sekali tidak musti dihadirkan kembali untuk menegasi aturan formal konstitusional.
Keberadan konsepsi “adat” bagi manusia masa kini penting untuk dijadikan dasar utama setiap produksi aturan formal. Artinya, setiap yang memproduksi aturan formal, kembalilah ke rumah, kampung, dan desa-nya masing-masing. Gali-lah setiap nilai-nilai yang hidup di masyarakat terkait pengelolaan atau memperlakukan alam.
Kembalilah ke masa “lampau” ketika cara memperlakukan alam telah mapan diterapkan sistem lama. Sebab sejatinya, sistem yang efektif dalam memperlakukan alam adalah budaya dan peradaban itu sendiri yang hidup di atas bumi-nya sendiri.***
Baca juga: Mitos Aul: Kisah Manusia Berkepala Serigala yang Pernah Menjadi Penjaga Hutan dan Mata Air
Editor: J. F. Sofyan
Responses