Karma Amis dari Laut untuk Bahan Pertimbangan Makhluk Egois

Koar-koar slogan “Jagalah laut untuk anak-cucu kita” hanya akan masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Konteksnya terlalu kabur. Kata-kata “Jagalah laut karena laut adalah aset pariwisata”  hanya akan mengetuk pemikiran pengelola pantai swasta atau pemerintah daerah yang sadar pendapatan daerahnya besar didongkrak pariwisata laut. Mungkin juga agen travel yang menawarkan paket wisata laut.

Potret penyu yang hidungnya tersumbat sedotan, paus yang muntah sampah, dan anjing laut yang terlilit plastik cuma buat kita meringis sesaat. Belum sampai mengetuk otak untuk berpikir jauh soal pencegahannya. Mentok-mentok, paling-paling cuma miris dengan kelakuan orang yang buang sampah ke laut.

Untungnya kita tidak melakukan hal yang sama. Lupa kalau kita juga pengguna plastik. Lupa kalau kita tidak mengikuti jalannya plastik yang dibuang dan tahu betul di mana plastik-plastik itu berakhir. Manusia itu makhluk egois. Hanya segelintir yang bisa berpikir jauh sampai ke laut.

Problematika di daratan mungkin terlampau rumit. Risiko punahnya makhluk laut tertentu dirasa tidak mengganggu kestabilan hidup mereka saat ini. Buat apa pula berpikir sampai sana? Yang penting hari ini bisa makan enak dan tidur nyenyak.

Mungkin ini saatnya menyadarkan makhluk egois ini soal dampak yang langsung ketara. “Menampar” dengan fakta di depan mata yang langsung bikin rugi mereka sendiri. Soal dampak yang lebih dekat dan bersentuhan langsung dibanding mengungkit soal anak cucu atau makhluk hidup lain yang boro-boro terpikirkan.

Di ujung. Foto: Priska

Mari saya ajak berpikir soal pangan. Satu dari tiga kebutuhan primer manusia. Sebagian besar dari kita pasti pernah mengonsumsi hewan laut. Lagipula, hewan laut ini punya segudang nutrisi baik untuk tubuh. Sebut saja protein yang tinggi, iodin, selenium, seng, kalium, omega-3, dan lain-lain. Ibarat paket lengkap, hewan laut yang tinggal ditangkap ini menawarkan manfaat tak terkira. Imbauan “Makan ikan biar pintar” itu tidak bohong.

Sebagian dari kita mungkin juga sudah paham kalau konsumsi ikan jauh lebih sehat ketimbang daging merah, atau bahkan ayam sekalipun. Ikan juga cenderung lebih murah. Makanya konsumsinya menjadi salah satu yang diandalkan pemerintah dalam mengentaskan stunting dan permasalahan kurang gizi lain.

Perlu diketahui, pada tahun 2018 WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk yang faktor stunting-nya 35% dari jumlah balita. Konsumsi ikan diharapkan dapat mengentaskan permasalahan ini. Kalau soal anak masih juga terlalu jauh untuk jadi pertimbangan, konsumsi ikan ini juga bermanfaat bagi segala usia.

Singkatnya begini, bila untuk memenuhi kebutuhan gizi yang lengkap, dengan tidak mengonsumsi ikan, kita harus mengonsumsi bermacam-macam sumber makanan lainnya. Sebut saja susu, telur, kacang-kacangan sampai jumlah tertentu.

Sementara dengan konsumsi ikan, kita bisa dapat banyak sekali santap. Hemat uang pengeluaran untuk makanan dan boleh jadi hemat uang untuk ke dokter saat tua nanti. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang dan masyarakatnya paling banyak tinggal di pesisir, tentu harga ikan sangat terjangkau .

Namun, di tengah-tengah imbauan konsumsi makanan laut, ada dilema baru yang mungkin luput dipikirkan. Hewan-hewan itu kini tercemar banyak polutan. Niatnya ingin sehat, malah jadi meningkatkan risiko kanker. Akan tetapi, menghentikan konsumsi hewan laut bukan jawaban.

Ini dapat saya katakan sebagai “karma amis”  yang dapat dirasakan manusia si makhluk egois. Kita tidak bisa menampik kebutuhan akan laut sebagai penyedia pangan yang kaya nutrisi. Akan tetapi, manfaat yang alam beri ini kita ciderai sendiri. Plastik yang kita pakai-buang seenak jidat sampai ke laut.

Di laut, plastik terurai oleh ombak dan sinar matahari dan menjadi partikel kecil disebut mikroplastik. Mikroplastik ditelan hewan-hewan laut secara tidak sadar. Hewan-hewan ini kita konsumsi. Singkatnya, plastik yang kita pakai ini ujung-ujungnya kita telan sendiri.

Tadi saya sudah singgung kalau menghentikan konsumsi hewan laut bukan jawaban. Bukan tanpa alasan. Sampai sekarang, ikan laut memang lebih mudah didapat. Hanya beberapa spesies dibutuhkan budidaya tertentu saja, laut sudah menyediakan sebanyak itu. Sekali lagi, mengingat kandungan gizinya yang lengkap, sayang sekali jika berakhir disia-siakan dan tidak dapat dikonsumsi.

Sampai sini, saya rasa kita sudah bisa menyepakati kalau dampak ketidakpedulian akan lingkungan, khususnya laut, terasa lebih dekat. Kita butuh laut dan segala yang disediakannya. Kita boleh saja jadi makhluk egois. Tapi mari kita arahkan pemikiran egois kita ini untuk tetap menyelamatkan laut. Tidak masalah jika tujuan kita pada akhirnya untuk meraup manfaat bagi diri sendiri.

Jika organisasi peduli lingkungan menyerukan arahan untuk peduli hewan-hewan laut langka yang hampir punah, kita boleh untuk tutup mata karena pemahaman soal dampak dari ini mungkin terlalu jauh untuk kita cerna.

Jika pemerintah bilang kalau laut itu aset negara yang bernilai tinggi, silakan juga jika mau tidak peduli karena merasa pendapatan kita tidak terdampak langsung.

Tapi paling tidak, dengan keegoisan kita ini, dengan urgensi yang padahal memikirkan diri sendiri ini, tujuan kita tetap sama. Menjaga laut dan seisinya. Harapannya, dari arah yang berbeda sekali pun, kita yang egois ini tidak lagi acuh dengan pencemaran laut.

Berharap ke depannya, pemakaian plastik sekali pakai mulai dipikirkan, pencemaran laut dari limbah darat mulai di perhatikan, keberlanjutan stok ikan juga tidak bisa luput dan laut terselamatkan untuk keberlangsungan hidup si makhluk egois itu tadi.

Editor : Annisa Dian N.

Artikel Terkait

Tanggapan