Refleksi Virus Corona: Keserakahan Manusia Terhadap Satwa

Sekarang pandemi virus corona adalah salah satu peristiwa paling serius yang sebagian besar dari kita masih hidup saat ini. Penyebaran virus telah menjadi peringatan besar bagi umat manusia. Ini juga menunjukkan kepada kita bahwa cara kita hidup di planet ini sangat tidak seimbang dan kita harus menganggap COVID-19 sebagai peringatan.

Kita harus mengubah cara kita tinggal di planet ini, jika tidak maka kita akan menghadapi kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian kita sendiri, baik ditimbulkan oleh pandemi maupun disebabkan oleh kerusakan lingkungan (atau keduanya sekaligus.

Setiap spesies (termasuk manusia) memiliki peranan dalam jaringan kehidupan yang kompleks. Sebagai contoh, deforestasi di berbagai hutan hujan di Indonesia (serta ekosistem lainnya) mengubah pola cuaca global dan mempengaruhi orang-orang di seluruh belahan dunia.

Manusia adalah bagian dari alam dunia dan kita berhubungan satu sama lain dan dengan semua satwa yang menghuni bumi bersama dengan kita. Demikian pula, di berbagai belahan dunia lainnya, orang seharusnya tahu atau peduli tentang hewan kecil yang disebut trenggiling.

Refleksi Virus Corona

Kemunculan Virus Corona

Di berbagai penelitian telah dijelaskan bagaimana peran yang mungkin dimainkan trenggiling dalam munculnya pandemi terbaru dari virus corona COVID-19. Kedekatannya dengan hewan liar, terutama di pasar hewan yang menjual hewan hidup, dapat menimbulkan penyakit yang disebabkan oleh virus yang melintasi spesies lain dan melompat ke kita-manusia.

Wabah SARS berasal dari sebuah pasar daging di China yang berasal dari Musang, MERS berasal dari Unta di Timur Tengah. Bukti menunjukkan bahwa COVID-19 mungkin berasal dari kelelawar, ditransfer ke trenggiling, dan kemudian menginfeksi manusia di pasar hewan hidup di Cina.

Dari sekian banyak penyakit baru yang muncul sejak 1960, para ilmuwan memperkirakan bahwa lebih dari setengahnya disebabkan oleh penularan dari spesies lain ke manusia. Profesor virologi Universitas Hong Kong Leo Poon mengatakan bahwa hewan-hewan memiliki virus mereka sendiri dan virus ini dapat berpindah dari satu spesies ke spesies lain, maka spesies itu dapat menjadi penguat.

Hal tersebut dapat meningkatkan jumlah virus di pasar hewan hidup secara substansial. Sejumlah besar orang mengunjungi pasar yang menjual hewan-hewan hidup untuk konsumsi setiap hari, maka risiko virus berpindah ke manusia meningkat tajam.

Refleksi Virus Corona

Apabila manusia terus berinteraksi dengan hewan, menghancurkan habitat dan semakin dekat dengan hewan, penyebaran penyakit menjadi hal biasa. Virus dapat bermutasi dalam penyebaran dari manusia ke hewan, membuat mereka berbahaya bagi keduanya. Jalur infeksi yang umum adalah jika manusia memakan hewan yang terinfeksi. Virus itu kemudian dengan mudah menular dari manusia ke manusia.

Permintaan global akan satwa liar, perusakan alam, dan penyebaran penyakit sudah memiliki efek bencana pada dunia seperti yang kita kenal sekarang. Kita berada di tengah kepunahan besar, keseimbangan alam telah terganggu dan penderitaan manusia dan hewan lainnya telah meningkat. Sulit bagi banyak orang untuk benar-benar memahami tingkat kerusakannya.

Seperti halnya benar bahwa kita cenderung berpikir tentang penderitaan manusia seperti kumpulan pengungsi, pekerja anak, tunawisma daripada penderitaan individu yang terdiri dari kelompok-kelompok tersebut.

Demikian juga orang jarang berpikir tentang penderitaan individu ketika kita berbicara tentang spesies satwa liar yang terancam. Setiap individu hewan dari suatu spesies, seperti setiap manusia, adalah penting. Kita saat ini berada dalam momen yang belum pernah kita alami sebelumnya yang menyadari betapa rapuhnya masing-masing kita terhadap masalah yang kita alami saat ini.

COVID-19 merupakan alasan untuk memperhitungkan dampak besar yang dapat ditimbulkan oleh suatu tindakan yang merusak alam pada kita sebagai individu. Kita sekarang merasakan biaya sebenarnya dari perdagangan satwa liar dan penghancuran alam yang membawa kita lebih dekat dengan satwa liar.

Refleksi Virus Corona

Banyak hal yang saya pelajari selama terjun di berbagai kegiatan perlindungan satwa telah menunjukkan kepada saya bagaimana ribuan (atau lebih) primata, dan satwa liar lainnya telah dicuri dari alamnya setiap tahun.

Mereka diburu untuk diambil dagingnya dan untuk bagian tubuh mereka, dan bayi hewan ditangkap hidup-hidup untuk dijual di dalam negeri dan keluar negeri secara ilegal untuk dijadikan hewan peliharaan atau untuk kebun binatang, hiburan, dan tempat wisata. Pasar ini menyusahkan bagi para pecinta makhluk luar biasa ini, tetapi juga mengancam keberadaan mereka.

Trenggiling adalah salah satu spesies hewan yang paling banyak diperdagangkan di bumi. Ketika kita berduka atas pengaruh perdagangan ini terhadap orang-orang yang menderita karenanya, kita juga harus melihat bahwa permintaan dan tragedi global ini mengakibatkan pandemi yang terjadi saat ini. Resiko yang ditimbulkan pada manusia tentu saja merupakan alasan lain untuk melawan perdagangan ilegal ini.

Larangan yang ketat untuk memperdagangkan satwa liar telah dilaksanakan di Cina segera setelah munculnya COVID-19, termasuk melarang impor, penjualan, dan makan hewan liar. Menyusul negara lain, seperti Vietnam juga mengikuti hal yang sama. Saat ini, langkah-langkah ini tidak melarang perdagangan untuk bulu, obat-obatan, atau penelitian, tetapi saya berharap bahwa celah ini akan ditutup.

Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum melakukan hal serupa yakni menutup keberadaan pasar hewan hidup baik untuk konsumsi maupun diperjualbelikan untuk dijadikan hewan peliharaan, dll. Mengingat bahwa trenggiling dan banyak satwa liar dilindungi lainnya merupakan hewan-hewan yang secara ilegal sering diimpor ke Cina.

Refleksi Virus Corona

Tidak heran bahwa status hewan ini merupakan hewan yang dilindungi, hal ini dikarenakan kebutuhan pasar global yang tinggi. Ini merupakan perdagangan global dan setiap negara dan individu harus melakukan bagiannya untuk membuat undang-undang yang lebih komprehensif untuk melindungi satwa liar, mengakhiri perdagangan ilegal, melarang perdagangan lintas batas negara, dan melarang penjualan (terutama online).

Kita harus melawan korupsi yang mengijinkan aktivitas-aktivitas ini berlanjut meskipun ketika sudah dinyatakan ilegal atau dilarang. Bahkan ketika kita berjuang untuk Indonesia khususnya mengampanyekan untuk menolak perdagangan dan makan satwa liar, kita juga harus ingat bahwa ada banyak orang yang bergantung pada perdagangan ini untuk mendapatkan penghasilan.

Upaya ini akan sia-sia jika kita tidak mendukung bentuk pekerjaan alternatif. Untuk itu, dibutuhkan berbagai upaya dari pemerintah supaya perdagangan satwa liar ini berakhir. Pemerintah harus mengupayakan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat lokal dan pengembangan mata pencaharian yang ramah lingkungan dan berkesinambungan seperti mendukung pariwisata lokal, kerajinan tangan, dll.

Melalui proses ini, masyarakat menyadari bahwa melindungi lingkungan sama artinya dengan melindungi masa depan mereka sendiri, masa depan anak-anak mereka, dan masa depan satwa liar. Pemerintah harus menghukum secara tegas bagi siapapun yang merusak lingkungan dan ruang hidup satwa dan membuat undang-undang untuk melindungi satwa liar yang mana juga akan melindungi kehidupan manusia.

Memulihkan dan melindungi hutan melalui undang-undang dan memberdayakan masyarakat lokal akan menyelamatkan spesies dan mencegah penularan penyakit. Menciptakan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan akan menciptakan masyarakat yang lebih tangguh dan sukses.

Hal ini sangat penting, di waktu yang tersisa, kita semua harus melakukan bagian kita untuk menyembuhkan kerugian yang telah kita timbulkan pada alam, di mana kita menjadi bagian di dalamnya. Mari kita berhenti mencuri masa depan dari anak-anak kita dan dari spesies lain yang dengannya kita tinggal bersama.

Editor : Annisa Dian N.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan