Kisah Nelayan Tradisional dari Teluk Lhok Seudu Aceh Barat

Tiga belas tahun sejak tsunami melanda Aceh, para nelayan Lhok Seudu tetap melaut dengan metode yang ramah lingkungan, yaitu palong, yang hanya menggunakan jaring dan lampu untuk menangkap ikan.

Teluk Lhok Seudu yang terletak 30 kilometer sebelah barat Banda Aceh, di sisi kanan  perlintasan menuju Meulaboh, merupakan tempat nelayan bermukim. Desa Layeun, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, merupakan sebuah desa kecil yang diapit dua teluk yang perairannya telah diperluas oleh gelombang Tsunami 26 Desember 2004 silam.

Lhokseudu yang dalam bahasa lokal berarti lautan yang teduh. Inilah tempat bersandar sebagian besar masyarakat disini menggantungkan hidup mereka. Foto: Fahreza Ahmad

Nyaris 17 tahun berlalu sejak bencana gelombang tsunami berlalu, nelayan Lhok Seudu masih bertahan mencari ikan menggunakan Palong, yakni sebuah kapal berbentuk katamaran; satu kapal yang ditopang oleh dua kapal yang lebih kecil di bawahnya, untuk mencari ikan. Cara ini dipercaya lebih ramah lingkungan karena hanya menggunakan cahaya lampu untuk menarik ikan ke dalam jala yang telah disiapkan.

Kapal palong beroperasi di tengah lautan, Sabtu (21/4/2018). Metode nelayan palong cenderung ramah lingkungan karena hanya menggunakan cahaya lampu untuk menarik ikan ke dalam jaring. Foto: Fahreza Ahmad

Penggunaan Palong memang sudah lazim disini karena sasaran kami memang ikan-ikan kecil yang bisa ditangkap dengan jhab atau jaring palong,” kata Hasan Is, salah seorang pemilik palong, Jumat (1/6).

Ikan teri yang menjadi komoditi utama di Teluk Lhok Seudu, Sabtu (7/5/2016). Selain untuk konsumsi lokal, ikan teri kering hasil produksi kawasan ini juga dipasarkan ke Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Foto: Fahreza Ahmad

Palong telah digunakan selama berpuluh tahun. Satu kapal palong biasanya dipimpin oleh seorang kapten atau disebut pawang dengan anak buah kapal berjumlah 6 hingga tujuh orang. Pawang bertugas menemukan titik dimana ikan berada, untuk kemudian jangkar ditambatkan dan jala ditebar.

Nelayan palong biasanya bekerja sejak pukul 2.30 sebelum fajar agar bisa segera membawa pulang tangkapan pada pagi harinya untuk segera dijual. Lagipula, nelayan palong cenderung menghemat operasional dengan tidak membawa es, selain ikan yang langsung dibawa pulang setelah ditangkap lebih terjaga kesegarannya.

Nelayan pulang membawa hasil di Teluk Lhok Seudu, Sabtu (14/4/2018). Nelayan palong cenderung menghemat operasional dengan tidak membawa es, selain ikan yang langsung dibawa pulang setelah ditangkap lebih terjaga kesegarannya. Foto: Fahreza Ahmad

Kami bekerja pada pukul 2.30 pagi untuk menjaga hasil tangkapan agar tetap segar. Ikan-ikan kecil cenderung cepat busuk jika kami bekerja (misalnya) sejak pukul 10 malam” jelas Bahri, salah seorang nelayan Palong.

Hasil tangkapan berupa ikan teri, cumi-cumi atau gurita akan langsung diangkut ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lhok Seudu tanpa menggunakan es dan pengawet.

Rata-rata palong memang tidak membawa es untuk menghemat biaya operasional,” kata Sabirin (42), pawang kapal Palong, Sabtu (21/4/2018).

Sebelum dijual, nelayan akan menyimpan satu keranjang untuk dibagikan diantara mereka. Setiap minggu, para nelayan yang bekerja setiap malam, kecuali kamis malam, meraih penghasilan kotor antara lima juta hingga sepuluh juta rupiah perminggu.

Nelayan bersantai di atas kapal palong, Sabtu (21/4/2018). Setiap minggunya, para nelayan meraih penghasilan kotor antara lima juta hingga sepuluh juta rupiah perminggu. Foto: Fahreza Ahmad

Kalau cuaca lagi bagus, kami bisa membawa pulang 80 sampai 100 keranjang ikan teri perhari, satu sampai dua ton perminggunya.Tapi, kadang-kadang dalam sehari, ikan bisa tak ada,” Zaenal menambahkan.

Hasan Is, pemilik palong, menjelaskan bahwa nelayan akan mendapatkan upah kerja tergantung dari hasil penjualan yang sudah dibagi dua, antara pemilik dan tujuh nelayan lainnya. Jumlah ini, lanjutnya, sudah dipotong biaya operasional sebanyak empat hingga lima juta rupiah per-minggu.

“Para nelayan menerima upah kerja setiap Jumat perminggunya. Jumlahnya bervariasi tergantung hasil penjualan yang dibagi dua antara pemilik palong dan tujuh orang nelayan,” jelas Hasan yang memiliki satu palong.

Meski di anggap adil, Zaenal menyatakan bahwa para nelayan masih belum puas karena belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Perjanjian bagi hasil antara nelayan dan pemilik palong sudah adil dan sesuai dengan penjualan, tapi kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari memang belum memadai,  maka untuk menambal kebutuhan sehari-hari setiap pagi sepulang dari melaut saya bertani bersama istri saya, siang beristirahat lalu kembali melaut sore harinya,” ungkap Zaenal.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan