Senja di Laut Bajoe
Senja di ufuk barat penghujung Bulan Mei, mulai terlihat jelas. Langit biru yang bercampur warna jingga keemasan ditambah pendar sang surya yang menuju tenggelam. Angin sepoi-sepoi cukup terasa di badan.
Hiruk-pikuk manusia. Ada yang berlalu lalang naik sepeda, naik motor. Ada yang memancing dan sekedar berlari olahraga santai. Sungguh besar kuasa-Mu memang.
Truk-truk serta bis “kawan-kawannya” juga seakan tidak ketinggalan berlalu-lalang. Dari dan menuju Pelabuhan. Ada yang mau ke arah Tenggara, persisnya ke Kendari dan ke Kolaka. Ada yang mengadu nasib, mencari nafkah pada dan melewati Bajoe inilah dia harus tempuh demi upaya mendulang rupiah. Tidak sedikit pula yang menuju Tenggara untuk bertemu sanak keluarga, suami/istri, orangtua, mertua, kemenakan dan yang lainnya.
Sesekali terdengar knalpot motor “bising” yang lalu lalang. Ada yang sekedar lewat, ada yang memang berhenti dan parkir hendak memancing. Ada juga yang hendak bertemu kawanp nya sesama pemotor “bising”. Ups, ini bukan Jalan Protokol Sudirman, Gatot Subroto, atau Medan Merdeka Utara ya kawan!, jadi jangan berharap banyak mereka bisa segera ditindak aparat berwajib akibat knalpot bisingnya itu.
“Mudah-mudahan dapat ini Ikan sore-sore. Atau paling tidak, udanglah”, terdengar kalimat pembicaraan berupa sebuah harapan dari para pemancing pinggir laut Bajoe tersebut sambil menggulung dan mengulur benang di kerekan joran pancingnya. Ada yang bersiap dengan embernya, ada yang membuka umpan dari botolnya. Umpannya macam-macam, mulai dari udang rebon, ikan-ikan kecil, cacing, hingga umpan mainan yang tidak sedikit dijual di toko khas kegemaran para pemancing.
“Sesekali bising, namun bisa sesekali tenang dan cenderung senyap”. Begitulah suasana yang tergambar di Pelabuhan Bajoe di awal minggu pada penghujung bulan April Tahun 2022 ini.
Seolah merepresentasikan bagaimana miniatur kehidupan yang kita jalani masing-masing. Sebentar kita bisa bersama-sama dan ramai-ramai ngopi dan bercanda ria dengan handai taulan dan kolega serta keluarga (istri, suami dan anak kita).
Namun pada waktu yang tidak lama berselang, keramaian itu pun sirna, kesunyian pun tetap harus kita hadapi silih berganti. Sendiri dan sunyi boleh, namun ingat tanggung jawab yang harus yang kita emban ya.
Tidak jauh dari situ, tampak pemuda-pemudi tanggung berkumpul disitu, sedang bersepeda maupun berjalan dan lari sore. “Foto mki dulue nah” (Jargon bahasa Bugis Sulawesi Selatan yang artinya fotokan dulu ya), ujar salah seorang pemudi disitu. Oh, mereka lagi berolahraga sore rupanya, dan hendak diabadikan di media sosial pribadi mereka masing-masing.
“Kalau bisa tempat sampah diperbanyak disini, Bang” ujar…………, salah seorang warga pengunjung yang rutin mengunjungi Bajoe seminggu sekali. Menurutnya, ia dan teman-temannya sering ke Bajoe membawa makanan dan minuman, karena memang setelah berolahraga, pasti ia makan dan minum. Namun ia mengeluhkan, karena kurangnya fasilitas tempat sampah, jadi tidak jarang ia membuang sampah di pinggir jalan bahkan ke pinggir lautan.
Lain lagi dengan Zainal, ia rutin ke Bajoe karena untuk mata pencaharian. Ia berprofesi sebagai supir truk yang memuat banyak barang dan logistik untuk diantar ke Kolaka, Sulawesi Tenggara. Hanya numpang lewat saja baginya. Demi mata pencaharian dan demi keluarga. Istri dan anaknya tinggal tidak jauh dari kawasan lelang ikan Pelabuhan Bajoe, Kecamatan Tanette Riattang Timur, Kab.Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Namun, ia sendiri tidak pulang ke rumah tiap hari, karena profesinya, seringkali ia bermalam di Konawe, Kolaka maupun Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Reski, pemudi belia, yang juga rutin ke Pelabuhan Bajoe setiap 1 atau 2 minggu sekali, biasanya ke Pelabuhan yang memiliki trestel sepanjang 2 kilometer ini. Trestel adalah daerah atau jalan yang dibangun dari gerbang depan masuk pelabuhan hingga menjorok ke arah lautan, supaya Kapal-kapal bisa bersandar karena di depan kedalaman airnya terlalu dangkal dan kapal tidak bisa bersandar di perairan dangkal.
Biasanya ia dan teman-temannya ke Bajoe di sore hari untuk berolahraga. Karena sore hari dianggap sebagai waktu paling pas untuk berolahraga bersama teman-teman.
Gunawan, yang berprofesi sebagai PNS ini juga rutin ke Bajoe namun dengan frekuensi antara 1 hingga 2 bulan sekali. “Paling kesini kalau mau ngopi aja atau kalau mau mancing”, ujar pria asal Maros, Sulawesi Selatan ini. Menurutnya, waktu yang paling pas untuk memancing adalah di malam hari antara Jam 22.00 Malam hingga Pukul 04.00 dini hari.
Selain itu waktu yang paling pas untuk memancing adalah pertengahan bulan atau di saat bulan purnama bulat penuh. “Pasang purnama” lah kurang lebih waktunya karena disitulah ikan-ikan banyak. Selain waktu, trik dan teknik, serta umpan yang menggoda ikan adalah hal yang patut diperhatikan jika tidak mau pulang dengan tangan kosong ke rumah.
Ya, Indonesia memang dikenal kuat sebagai Negara yang mempunyai julukan negara maritim. Alasannya tidak pelak lagi karena Indonesia disebut sebagai negara yang mempunyai wilayah perairan di Indonesia lebih luas dari daratan. Indonesia memiliki sekitar 17.499 pulau, bergaris pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua setelah Kanada).
Menilik data milik Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau. Sekitar 62 persen luas wilayah Indonesia merupakan laut dan perairan. Selain itu, Indonesia juga masuk ke dalam daftar teratas negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia. Indonesia berada di urutan kedua setelah Kanada. Garis pantai membentang sepanjang 81 ribu kilometer.
Otoritas Pelabuhan
Sementara itu disadur dari Kementerian Kelautan Perikanan RI yang notabene adalah salah satu stakeholder Pengelola Pelabuhan Bajoe, bahwa terdapat beberapa kapal yang memuat komoditi perikanan dari dan menuju pelabuhan Bajoe dengan melibatkan 2 provinsi lain yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Nusa Tenggara Timur :
1.Pelabuhan Penyeberangan Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara
2.Pelabuhan Boepinang Propinsi Sulawesi Tenggara
3.Pelabuhan Tenau Propinsi Nusa Tenggara Timur
Secara umum, komoditi perikanan yang di lalu-lintaskan melalui pelabuhan Bajoe lebih didominasi oleh komoditi yang masuk berupa ikan layang segar, udang vannamei segar dan ikan segar lainnya. Untuk komoditi yang keluar didominasi oleh benih udang vannamei, ikan segar dan ikan kering.
Pelabuhan Unik dengan Trestel
Tidak semua pelabuhan di Indonesia yang memiliki Trestel sepanjang 3 kilometer seperti Pelabuhan Bajoe.
Trestel adalah jalan/ akses dari dermaga menuju darat, digunakan di pelabuhan yang perairannya dangkal di garis pantai, untuk mencapai kedalaman perairan tertentu dibangunlah trestel.
Trestel dapat berupa urukan atau jembatan ataupun gabungan antara urukan dan jembatan. Di pelabuhan penyeberangan tertentu trestel yang dibangun sangat jauh menjorok kelaut, ada yang bisa mencapai 3 km seperti di Bajoe Sulawesi Selatan
Nah, karena dangkalnya kondisi perairan di Bajoe inilah yang membawa “berkah”. Berkah karena menjadi suatu alasan kuat harus dibangunnya trestel untuk mendukung akses pelabuhan penyeberangan. Karena di daratan sepanjang 3 kilometer inilah terjadi interaksi sosial – ekonomi, melalui kegiatan bersepeda, berjalan santai, berlari, memancing, hingga lalu-lalang kendaraan minibus, pick up dan truck lintas provinsi sebagai penunjang urat nadi ekonomi di Pelabuhan Bajoe.
Karena di Trestel inilah, mereka bisa bersenda gurau, memarkir sepeda maupun motornya, memancing, atau sekedar beristirahat dan menikmati suasana “laut”. Alangkah lebih indahnya jika keguyuban individu maupun komunitas/group ini juga tetap mengedepankan aspek go-green seperti yang sering didengung-dengungkan Pemerintah belum lama belakangan ini. Jangan sampai indahnya persahabahatan yang diisi keakraban handai taulan ditemani sajian makanan minuman yang acapkali dibawa ke lokasi Pelabuhan, jangan menjadi “masalah baru”.
“Ada baiknya bang, kalau Pengelola pelabuhan memperbanyak tempat sampah ya, supaya masyarakat tidak membuang sampah di pinggir. Atau bahkan ke air laut”, ujar Ardi, salah seorang pemancing yang rutin setiap hari minggu datang ke Pelabuhan Bajoe. Ya, bukan hanya pemerintah saja yang diharapkan bisa membawa paradigma “go-green” alias ramah lingkungan dalam tata pemerintahan. Tetapi masyarakat juga harus ikut mensukseskan paradigma “go-green” tersebut. Salah satunya sederhana, jangan membuang sampah sembarangan.
Ardi sendiri mengaku membawa kantong plastik tersendiri jika sedang datang ke Pelabuhan Bajoe. Jadi jika ia mengkonsumsi makanan, minuman atau bungkus rokok, maka akan ia masukkan pada kantong plastik yang sengaja ia bawa. Dan dibuang nanti di lokasi yang ada bak sampahnya di perjalanan pulang.
Terutama, jika kita paham aturan perundang-undangan, membuang sampah dengan sengaja ke wilayah laut, adalah pelanggaran terhadap UU RI. No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah).
Kawasan Pelabuhan Bajoe bukanlah semata-mata kawasan pelabuhan penghubung lintas provinsi dan urat nadi ekonomi antara Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun disini banyak nilai, simbol, makna interaksi sosial yang terus dibina dan dipelihara. Pelabuhan Bajoe bukan hanya kawasan ekonomi, tetapi juga kawasan yang sarat interaksi social, budaya, gaya hidup dengan berbagai hiruk pikuk kepentingan yang ada disini.
Go-Green adalah salah satu kata kunci demi pembangunan dan peningkatan ekonomi berkelanjutan (sustainable economy) di kawasan Bajoe. Karena bajoe bukan Cuma milik kita, namun juga milik anak dan cucu kita kelak. Peningkatan ekonomi dan Go-Green bukanlah dua hal dikotomi yang harus saling dipertentangkan, namun justru bisa berjalan secara linear dan simultan. Dan, bukan cuma tugas dan tanggung jawab pemerintah saja, namun juga tugas masyarakat juga.***
Baca Juga: Sisi Lain di Balik Melimpahnya Ikan di Taman Nasional Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan