Pejuang Kima dari Konawe Utara
Ada yang menyebutnya kurang waras ketika ia mendedikasikan waktu, tenaga, bahkan hidupnya untuk mengumpulkan kima laut yang terancam. Ia mengarungi laut lepas dengan perahu sederhana, bermalam-malam sendirian demi Molusca laut itu sejak tahun 2009.
Ia adalah Habib Nadjar Buduha, warga Desa Tolitoli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kepulauan Labengki, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Setelah 30 tahun merantau, Habib kembali ke kampung halamannya dan tidak lagi mendapati kima sebagaimana saat ia meninggalkan tanah lahirnya.
“Kalau saya sudah tidak melihat kima, bagaimana anak cucu saya nanti,” kata Habib.
Alasan sederhana itulah yang melandasi semangat Habib yang berbatas tipis dengan kegilaan untuk mengumpulkan kima laut. Dengan perahu sederhana terkadang terseok karena sarat dengan 50 ekor kima raksasa yang ia amankan dari habitat yang terancam.
Bila tidak diambil, kima itu akan rusak oleh bom ikan dan juga diambil orang. Habib meletakkan kima-kima itu di perairan desanya dan satu lagi wilayah aman yaitu di Labengki. Inilah cikal bakal Kawasan Labengki, 14 mil dari tanah lahirnya, menjadi kawasan konservasi hingga kini.
Pada saat melakukannya, Habib sendirian. Warga belum sadar pentingnya kima bagi laut dan bagi kehidupan mereka sebagai nelayan. Warga belum tahu penyebab mereka harus mencari ikan semakin jauh dari rumah dan menantang ombak yang lebih ganas.
Ikan di dekat rumahnya tak ada lagi. Kima adalah filter laut. Ukuran kima raksasa bisa menjernihkan air laut hingga puluhan ton liter per hari. Jika air laut jernih, maka ikan melimpah.
“Ini saya buktikan. Dua tahun setelah saya letakkan ratusan kima di perairan Toli-Toli, perairan membaik. Ikan berdatangan memakan telur kima yang jumlahnya jutaan butir ketika spawing (menyemprotkan telur), dan nelayan tak perlu lagi memancing jauh dari rumah,” kata Habib.
Cangkang kima juga menjadi tempat hidup hard coral dan soft coral, dengan sendirinya karang laut yang rusak parah kembali hidup. Manfaat kima untuk menghadirkan ikan menggerakkan masyarakat untuk ikut melestarikan kima.
Habib tak sendiri lagi. Masyarakat tahu konservasi kima artinya mengundang ikan, maka hati warga tergerak dengan sendirinya untuk menjaga. Bahkan tak segan mereka menyisihkan penghasilannya dari melaut untuk membiayai upaya konservasi ini.
Ia punya tim untuk mengelola Tolitoli Giant Clamp Marine Park, perairan seluas 200 hektar sebagai suaka 8.400 ekor kima yang hidup tak terusik. Terdapat 7 spesies dan 2 jenis kima spesies baru yang masih proses identifikasi.
Kima raksasa (Tridacna gigas), kima air (Tridacna derasa), kima sisik (Tridacna squamosa), kima besar (Tridacna maxima), kima lubang (Tridacna crocea), kima pasir (Tridacna hippopus), dan kima cina (Tridacna porcelanus). Ada dua spesies kima lagi yang sampai saat ini belum memiliki nama ilmiah alias masih baru.
Mayoritas spesies kima membutuhkan waktu lama untuk tumbuh, hanya rata-rata tumbuh 2–12 cm/tahun. Jika kita melihat kima ukuran 100cm, maka usia kima itu setidaknya 10-50 tahun.
Salah dari spesies baru itu oleh masyarakat dinamai Kimaboe, alias kima air dalama bahasa Bajo. Spesies kima ini mirip dengan iima iblis (Tridacna tevoroa). Kimaboe ini yang kemudian disematkan menjadi nama teluk di Kawasan Konservasi Laut Labengki, Kimaboe Lagoon.
Kawasan Labengki menjadi tempat tujuan wisata yang indah selain menjadi suaka kima. Di sini, kima hidup tenteram dan terjaga sekaligus tak takut pada manusia. Menurut Habib, bahkan para penyelam pun jarang bisa bersitatap dengan kima dalam keadaan terbuka.
Di Labengki, kima sudah kenal dengan manusia sehingga kapan saja ia ingin membuka, maka ia membuka cangkangnya meski ada manusia di sekitarnya.
“Mereka sudah jinak” kata Habib yang menyebut kima layaknya menyebut binatang piaraan. Saya yang belum pernah menyelam ini bisa melihat denyut kima dari atas permukaan laut.
Gerak lembut yang ritmis terkadang terusik oleh arus laut adalah proses penyaringan air laut yang besar artinya bagi jutaan biota lain yang menghuni.
Semua makhluk punya tugas dan peran penting bagi ekosistem laut. Kita harus memiliki sifat pejuang dan penjaga seperti bapak Habib Nadjar Buduha.
Editor : Annisa Dian Ndari
Tanggapan