Ruang Dialog Masyarakat Lokal dan Pemangku Kebijakan

Menjaga kelestarian lautan selalu ditempatkan kepada situasi kontroversi yang berkepanjangan. Salah satunya, kita dapat melihat tentang bagaimana pengambilan peran pemerintah yang acapkali tidak selaras dengan kearifan lokal.

Semisal, perumusan Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) nomor 7 tahun 2004 memiliki kepentingan politis yang kuat dengan dibuktikkan terbukanya pintu liberalisasi air.

Begitupun dengan UU SDA nomor 17 tahun 2019 yang banyak menekankan kepentingan ekonomi (Imawan, AP & Dinda, K., forthcoming).

Fakta ini yang kemudian berimplikasi terhadap sempitnya ruang gerak bagi ahli air untuk terlibat lebih jauh dalam tata kelola air di Indonesia.

Potret peristiwa diatas menjadi dasar pemahaman kita bahwa air bukan merupakan barang netral. Beragam kelompok kepentingan hadir dibelakangnya.

Tidak hanya itu, cerita diatas mengantarkan kita pada refleksi besar untuk memahami ulang hubungan manusia dengan alam. Para enviromentalist telah banyak membongkar ulang tentang hubungan keduanya.

Sayangnya, analisis selama ini masih memberatkan kepada posisi negara dalam penyelesaian masalah melalui instrumen kebijakan (Jati, 2012; Ulum & Ngindana, 2017).

Lingkup analisis kurang mengelaborasi lebih luas terkait dengan rekognisi praktik lokal yang justru dapat menjadi solusi jalan keluar polemik selama ini (Leach & Fairhead, 2002)

Regulasi

Pemahaman kita selama ini terbangun atas dasar logika untuk menerima begitu saja (taken for granted) terhadap solusi yang ditawarkan oleh pemangku kebijakan.

Serangkaian tindakan preventif dibangun melalui beragam instrumen. Semisal, terdapat larangan berupa tanda peringatan untuk tidak membuang sampah di lautan.

Jika terdapat orang yang melanggar hal tersebut, maka dapat dijatuhin denda. Simbol ini ternyata tidak berujung kepada ketertiban masyarakat untuk tidak membuang sampah di lautan.

Tidak hanya itu, penepatan peraturan tentang lautan yang juga termaktub pada beragam regulasi mulai dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan tidak cukup menjadi jalan keluar permasalahan ini.

Serangkaian peristiwa pencemaran lautan masih tetap terjadi di sejumlah titik di Indonesia. Pada April tahun 2022 misalnya, limbah pertamina tengah mencemari air laut di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) sehingga berdampak kepada tercemarnya air laut (Viqi, 2022).

pencemaran minyak Bima NTB
Pencemaran di laut Bima, NTB. / Foto: detik.com

Oleh karenanya, kebijakan yang ada saat ini tidak efektif dalam implementasinya. Upaya lain dilakukan melalui jargon kampanye yang terus menerus disebarkan oleh kalangan Non-Governmental Organization (NGO).

Tujuan utama dari aktivitas ini adalah untuk merubah perilaku masyarakat. Namun sayangnya, langkah ini tidak membentuk kesadaran bagi industri serta masyarakat untuk lebih konsen terhadap pencemaran lingkungan.

Ruang Dialog

Kedua fakta diatas mengantarkan kita untuk lebih reflektif dalam proses perumusan kebijakan. Joks & Law (2017) mengajak kita untuk membongkar ulang pemahaman kita terhadap rekognisi pengetahuan lokal sebagai basis dalam perumusan kebijakan.

Keduanya menemukan adanya kontroversi yang kuat tentang benturan pengetahuan serta praktik keseharian untuk menjaga populasi ikan salmon di Pulau Sámi, Norwegia antara penduduk lokal dengan pemangku kebijakan.

Joks & Law (2017) mengajak pemangku kebijakan untuk lebih memperhitungkan pengetahuan lokal karena statusnya yang lebih memahami kondisi lingkungan sekitar.

Namun negara juga harus hadir disitu untuk menjaga praktik melaut oleh masyarakat lokal agar tetap dalam koridor penjagaan pencemaran lingkungan dan menjaga populasi biota laut.

Artinya, ada ruang dialog diantara keduanya yang berujung kepada pembentukan norma, nilai serta pengetahuan baru.

Ruang produksi pengetahuan bersama ini disebut sebagai hybrid forums oleh Callon, et.al (2009).

Dengan demikian, langkah meminimalisir pencemaran lingkungan dapat dilakukan dengan menelaah ulang bangunan perumusan kebijakan tata kelola lautan.

Selama ini, ruang dialog antara penduduk lokal dengan pemangku kebijakan sangat jarang dilakukan. Dampaknya, langkah-langkah preventif pencemaran lingkungan selama ini tidak terlalu efektif mengingat logika negara yang terimplementasikan dalam menjaga kelestarian lautan.

Oleh karenanya, ruang dialog perlu segera dilakukan serta pengakuan pengetahuan lokal sebagai basis kebijakan.***

Baca juga: Tiga Pilar Vital bagi Kesejahteraan Nelayan

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan