Tiga Pilar Vital bagi Kesejahteraan Nelayan

Nenek moyangku seorang pelaut..

Gemar mengarung luas samudra..

Apakah ada yang membaca lirik di atas sembari bernyanyi?

Sudah tidak asing lagi bahwa Indonesia disebut sebagai negara maritim sejak dahulu kala. Bahkan sejak kita masih di SMP, buku – buku geografi sudah menginformasikan bahwa wilayah perairan Indonesia lebih luas dibandingkan dengan luas daratan.

Sekitar 62% wilayah Indonesia terdiri dari wilayah laut dan perairan. Hal ini membawa beragam keuntungan strategis bagi Indonesia, baik dari sisi geopolitik maupun ekonomi.

Berdasarkan data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2019, Indonesia merupakan negara penghasil ikan terbanyak kedua di dunia.

Di tahun yang sama, ekspor perikanan Indonesia masih berada di urutan ke 15 dunia. Tentu nilai ekspor ini belum sepadan dengan sumber daya melimpah yang dimiliki oleh Indonesia.

Dengan tingginya peluang yang ada, sangat disayangkan jika nilai ekspor perikanan kita belum menguasai dunia.

Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia baru sebesar 3,7%.

Padahal, KKP mencatat sektor ini memiliki potensi sangat besar yaitu 1,3 kali dari PDB atau sebesar 130 persen (Tempo, 2020).

Besarnya potensi pendapatan dari sektor kelautan dan perikanan memberikan optimisme baru bagi negara kita. Namun potensi tersebut baru dapat direalisasikan jika diiringi dengan usaha perbaikan di sektor ini.

Terdapat beberapa pelaku usaha yang memiliki andil penting dalam sektor kelautan dan perikanan. Salah satu ujung tombak yang seringkali mungkin terlupakan dalam sektor ini adalah nelayan.

Nelayan adalah seorang atau sekelompok orang yang mencari ikan dan sumber daya laut lainnya dengan menggunakan peralatan yang pada umumnya masih sederhana.

Dalam pengelolaan hasil laut, mereka masih menggunakan cara – cara konvensional sehingga tentu ini berdampak pada pendapatan mereka yang masih rendah.

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, pada acara Dialog Kebangsaan dengan Nelayan tahun 2020 menyampaikan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan di akhir tahun 2019 mencatat 50 persen klaster perikanan nelayan berada dalam status kemiskinan.

Di sisi lain, nelayan adalah salah satu pelaku langsung yang dapat menghidupkan sektor kelautan dan perikanan.

Untuk merealisasikan potensi besar pada sektor kelautan dan perikanan, kesejahteraan nelayan merupakan hal utama yang harus diperhatikan.

Mereka adalah garda depan di sektor ini. Maka, untuk memaksimalkan pencapaian potensi sektor kelautan dan perikanan, peningkatan kesejahteraan nelayan merupakan hal prioritas yang harus dilakukan. Dan hal ini tentu membutuhkan dukungan dari pemerintah dan masyakarat.

Kesejahteraan nelayan tidak bisa didapatkan secara instan. Bantuan jangka pendek berupa uang tunai yang dapat habis dalam sekejap tidak dapat menghilangkan fenomena gunung es atas kemiskinan nelayan.

Negara akan makmur dari sektor kelautan dan perikanan jika kita memiliki nelayan yang mandiri, maju serta berdaya saing. Sehingga penulis mencoba memberikan gagasan realistis untuk membantu peningkatan kesejahteraan nelayan dalam jangka panjang melalui tiga pilar vital berikut:

Pendidikan merupakan hal dasar bagi setiap manusia yang ingin tumbuh dan berkembang secara kapasitas.

Dalam bagan di atas, penulis meletakkan pendidikan di bagian paling bawah karena pendidikan merupakan pondasi untuk membangun sektor kelautan dan perikanan.

Nelayan harus memiliki tingkat pendidikan tinggi agar dapat membangun kapasitas diri dan mental dalam pengelolaan sumber daya laut. Rata – rata tingkat pendidikan nelayan kita adalah tamat SD dan SMP (Muchlisin, 2016).

Program beasiswa pendidikan gratis hingga jenjang sekolah tinggi Ilmu Kelautan dan Perikanan pada anak nelayan perlu diberikan di bawah Kementrian Kelautan dan Perikanan bekerjama dengan berbagai pihak.

Sehingga nelayan memiliki ilmu, pemahaman dan kemampuan optimal dalam pengelolaan sumber daya laut. Hal ini akan membawa dampak positif untuk menciptakan generasi penerus sebagai nelayan yang mandiri, maju dan berdaya saing.

Tingkatan kedua setelah pendidikan adalah digitalisasi. Pada era industri 4.0 saat ini,  kita harus dapat menjawab tantangan zaman dengan memanfaatkan digitalisasi sebagai senjata ampuh dalam menjangkau pasar yang lebih luas.

Sudah saatnya kita memasarkan hasil laut dari para nelayan ke seluruh pasar global. Kita dapat membuat virtual 3 dimensi berupa Tempat Pelelangan Ikan (TPI), proses pembersihan serta proses pengemasan dengan target pengunjung adalah masyarakat global.

Pengunjung global dapat melihat secara langsung hasil tangkapan nelayan yang masih segar dan proses pengemasan yang memenuhi standar ekspor melalui fasilitas virtual 3D.

Virtual 3D ini mengambil konsep permainan games pada anak muda dimana pengunjung dapat melihat – lihat lokasi penangkapan, pengelolaan dan pengemasan seperti di dunia nyata hanya dengan menggerakkan kursor di depan layar.

TPI virtual 3D ini berfungsi sebagai media promosi dengan pangsa pasar yang lebih luas tanpa bertemu langsung, sehingga dapat memangkas waktu dan jarak tempuh.

Dengan penjualan hasil laut yang lebih luas, hal ini akan membawa dampak bagi peningkatan pendapatan nelayan sehingga berimbas pada perbaikan perekonomian nelayan.

Yang terakhir dan menjadi payung atas dua poin di atas adalah korporasi. Korporasi nelayan dibentuk untuk mengintegrasikan seluruh proses nelayan dari hulu hingga hilir dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Nelayan tidak perlu bekerja perseorangan sehingga dapat saling terhubung dan terkoordinasi dengan baik.

Segala hal terkait nelayan dan kebutuhannya dapat difasilitasi melalui korporasi nelayan, termasuk salah satunya mencakup payung hukum untuk melindungi nelayan.

Korporasi nelayan akan sangat memberikan dampak positif bagi nelayan, terutama di wilayah pesisir kecil.

nelayan keramba
Kelompok nelayan. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

Nelayan adalah mereka yang berhubungan langsung dengan kondisi kelautan kita. Bahkan, dapat dikatakan tidak ada yang lebih mengetahui kondisi kelautan dan sumber dayanya secara realtime melainkan nelayan.

Mereka adalah aset utama bagi sektor kelautan dan perikanan kita, sehingga kesejahteraan nelayan menjadi hal mutlak yang harus kita perhatikan.

Besarnya potensi sektor kelautan dan perikanan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama dan dapat kita capai melalui tiga pilar vital (pendidikan, digitalisasi dan korporasi) untuk mewujudkan nelayan mandiri, maju, dan berdaya saing.

Namun pertanyaannya, siap dan maukah kita berjuang untuk itu?***

Baca juga: Hak Pendidikan Berkualitas untuk Orang – Orang di Pulau Terpencil

Editor: J. F. Sofyan

Sumber: Situs KKP Indonesia, tribunnews.com, tempo.co

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan