Babat Hutan Tanpa Ragu, Kini Arktik Tak Lagi Membeku

Sadarkah kita, bahwa dari tahun ke tahun luas hutan semakin berkurang? Padahal, hutan-hutan menjadi indikator harapan hidup manusia. 

Peneliti dari University of Hawai’i di Mānoa dan Muséum National d’Histoire Naturelle di Paris mengungkapkan bahwa ancaman kepunahan makhluk di bumi dimotori oleh aksi manusia, bukan oleh bencana alam.

Tutupan pohon. / Sumber: Mongabay

Menurut analisis data satelit yang dirilis 2020 lalu oleh University of Maryland (UMD) dan World Resources Institute (WRI), hutan primer di daerah tropis menurun dengan laju yang sangat cepat.

Sejak tahun 2002, daerah tropis kehilangan lebih dari 60 juta hektar hutan primer atau jika digambarkan, besarannya seluas 1,3 kalinya Pulau Sumatera.

Tak sampai di situ, menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Selain itu, PBB mengatakan 420 juta hektare hutan telah musnah sejak tahun 1990. Alasan utamanya adalah pertanian.

Dari Hutan Menuju Arktik

Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, “Apa hubungan hutan dengan Arktik?”

Jika kamu salah satu orang yang masih terjebak dalam pertanyaan itu, tidak masalah! Saatnya kamu mengetahuinya sekarang.

Saat ini kamu masuk sebagai salah satu orang yang bakal mengalami kengerian setiap hari karena mengetahui fakta-fakta ini. Mari kita pahami dasarnya mengapa kerusakan hutan tersambung daerah dingin ini.

Hutan berfungsi menyerap karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar. Jika hutan semakin sedikit, maka daya serap CO2 pun juga semakin kecil.

Hal ini akan menyebabkan CO2 menjadi lebih banyak di bumi. CO2 yang melebihi ambang batas akan menjadi penyumbang utama pemanasan global.

Nah, pemanasan global tentu akan berdampak pada semuanya, jika dampaknya dijelaskan secara rinci mungkin akan memakan waktu lama.

Jadi, secara sederhana, pemanasan global akan berdampak pada peningkatan suhu global. Peningkatan suhu global ini yang akan mempengaruhi Arktik ini.

Faktanya, saat ini suhu global telah mengalami peningkatan, lho! Hal ini dikonfirmasi oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB pada penelitian terbaru 28 Februari 2022 yang menyatakan bahwa suhu bumi meningkat 1,1⁰C.

arktik
Model Proyeksi Pemanasan Global. / Sumber: IPCC

Kekhawatiran terhadap Arktik bukan tanpa alasan, pasalnya wilayah dingin yang mengalami peningkatan suhu akan membuat keseimbangan alamnya menjadi terganggu.

Ironinya, Akrtik di kawasan Kutub Utara malah telah tercatat mencetak rekor suhu tertingginya yang mencapai 38⁰C atau lebih panas dari rata-rata suhu Jakarta dan Surabaya!

Benarkah Data Ini?

Data ini sendiri diverifikasi oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Selasa, 14 Desember 2021 lalu, melalui pengukuran suhu di stasiun meteorologi saat gelombang panas Siberia berkepanjangan terjadi.

“Rekor baru Arktik ini adalah salah satu serangkaian pemantauan yang dilaporkan WMO pada arsip iklim dan Cuaca Ekstrem. Ini menyembunyikan bel peringatan pada iklim kita yang berubah,” ucap Patteri Taalas selaku Sekretaris Jenderal WMO.

Siklus ini adalah lingkaran setan!

Suhu Arktik yang meningkat ekstrem akan membuat Permafrost di bawah tanah mulai meleleh. Setelah itu, CO2 dan Metana akan terlepas ke udara. Saat kedua itu terlepas, maka akan memperparah efek rumah kaca dan akan mempercepat pemanasan.

Begitu terus siklusnya. Ini mengapa dinamakan lingkaran setan. Padahal setan juga sepertinya bingung kenapa mereka yang disalahkan.

Apa Dampaknya?

Tentunya hal ini akan menimbulkan efek-efek lainnya. Seperti kenaikan muka air laut, pemanasan berskala bencana, kepunahan spesies, dan akan berakibat juga pada peningkatan mutasi virus. Kata siapa virus itu lemah? Mereka kuat berkat kerusakan yang kita buat!

Sudah Cukup mengernyitkan dahi?

Sekarang, saatnya terbang ke Papua. Fakta-fakta dampak dari pemanasan global lainnya akan ditemukan di sini. Salah satu dampak terbesarnya adalah hilangnya es di puncak gunung Jaya Wijaya.

Para peneliti telah memprediksi bawah 2025 adalah tahun terakhir bagi eksistensi salju di Puncak Jaya Wijaya. Hal ini dipertegas oleh Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika.

“Penyusutan gunung es puncak Jaya Wijaya yang diteliti oleh BMKG diprediksi tahun 2025 es itu sudah punah, sudah tidak ada di puncak Jaya Wijaya lagi,” ujar Dwikorta.

Padahal, puncak jaya wijaya merupakan salah satu ikon kebanggan Indonesia dari dulu! Puncak Jaya Wijaya sendiri memiliki ketinggian 4884 mdpl dan termasuk dalam 7 atap tertinggi di dunia dan satu -satunya gunung yang memiliki lapisan es di Indonesia.

Jika digambarkan, luas lapisan es di puncak Jaya Wijaya sebelum mencair adalah 200 km². Saat ini, luas lapisan esnya menyusut drastis dengan hanya menyisakan 2 km² saja! Menyedihkan, bukan?

Jelas, karena salju tersebut tidak akan pernah muncul lagi. Bisa saja sih, tapi bumi harus melewati zaman es dan dinosaurus lagi. Jangan sampai dinosaurus juga ikut aksi depan istana sambil memegang pesan “Jaga bumi saya!”.

Bagaimana Nasib Laut?

Dampak krisis iklim ini jelas telah mempengaruhi ekosistem laut. Dampaknya sudah bisa kita temui sekarang, seperti memunculkan tegangan termal yang berkontribusi pada pemutihan karang, peningkatan keasaman air laut, kenaikan suhu air laut, dan lain sebagainya yang tentu akan membuat hewan-hewan laut tidak akan dapat bertahan hidup.

Kalau biota laut tidak dapat bertahan hidup, maka kehidupan manusia sudah di ambang batas kepunahan. Ditambah lagi permasalah lainnya yang turut mengaminkan kerusakan laut, seperti adanya industri ekstraktif tambang pasir di perairan Spermonde.

Jika melihat beberapa tahun ke belakang, tahun 2019 juga pernah tercatat menjadi tahun terpanas yang terjadi di Antartika, dengan suhu yang mencapai 18,3 °C.

Selain itu, sebanyak 28 triliun ton es bumi juga telah mencair dalam kurun waktu 1994-2017. Jika dijabarkan, 28 triliun ton es ini sama dengan lapisan es setinggi 200 meter yang menutupi pulau Jawa, Madura, dan Bali. Waduh, bayangin kamu bisa buat es buah sebanyak apa dari total es yang cair tersebut?

Parahnya lagi, permukaan Arctic juga telah tercatat menyusut hingga kurang dari 3,74 Juta kilometer atau 50%nya, mulai dari 1970 hingga kini. Belum sampai situ masalah sampah-sampah plastik juga belum dapat teratasi.

Baik pemerintah maupun korporasi rasanya tidak sadar-sadar ya walau disajikan fakta mengerikan dari dulu. *Sebentar, di depan rumahku ada tukang bakso bawa HT*

Padahal, menurut sekretariat konservasi tentang keanekaragaman hayati 2016, sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies biota laut.

Jumlah sampai plastik ini diprediksi akan terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan. Dalam banyak penelitian, ribuan mikroplastik telah ditemukan pada daging ikan, feses manusia, dan pada alirah darah manusia!

Lantas, Apa Solusinya?

Solusi sudah banyak ditawarkan oleh ilmuwan, pengamat lingkungan, bahkan masyarakat biasa. Mulai dari mengajak pemerintah untuk melakukan peralihan energi kotor ke energi bersih, menguatkan undang-undang perlindungan hutan, melakukan restorasi hutan, menekan undang-undang overfishing (penangkapan ikan berlebih), membuat ketegasan terkait pembuangan limbah pabrik ke laut, dan lain sebagainya.

Lantas, mau menunggu sampai kapan? Ilmuwan sudah mengingatkan berkali-kali bahwa umur bumi untuk bisa ditinggali manusia hanya dalam hitungan tahun lagi.

Jadi, mau bergerak ikut aksi, atau berdiam diri sambil meratapi kesengsaraan kita nanti?***

Baca juga: Atasi Dilema Limbah Medis Covid-19 yang Mengancam Lautan Indonesia

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan