Mengulik Industri Ekstraktif Tambang Emas di SEAlatan Banyuwangi

Kekayaan alam adalah berkah. Investasi dibutuhkan untuk mengolahnya. Karpet merah musti di gelar untuk perusahaan tambang. Kesempatan kerja akan terbuka. Pendapatan daerah dan nasional akan meningkat. Kesejahteraan masyarakat pun akan membaik. Narasi ini kerap digaungkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Namun, bagaimana kenyataannya?

Banyuwangi merupakan wilayah paling ujung timur Pulau Jawa yang banyak menyimpan keindahan alam. Tidak hanya eksotisme pantai, pegunungan yang membentang luas juga menjadi pemandangan yang menyejukkan mata.

Sebagian besar lokasinya terdiri dari hutan lindung, gunung, sawah, dan perkebunan. Tambang emas atau yang lebih dikenal dengan Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan ini terletak di Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi.

Tambang emas ini sudah mulai produksi sejak tahun 2017. Wilayah yang awalnya merupakan kawasan lindung sebagai penyangga Taman Nasional Meru Betiri, diubah statusnya menjadi kawasan produksi oleh Menteri Kehutanan atas permintaan Bupati Banyuwangi (2013).

Perubahan status melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.826/Menhut-II/2013 menguatkan ekspansi industri ekstraktif berupa tambang emas dibawah Merdeka Cooper Gold yang dijalankan oleh PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai Suksindo (DSI).

Pada 9 Juli 2012 Keputusan Bupati Banyuwangi mengeluarkan izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP) PT. BSI. Pada 10 Desember 2012 keputusan Bupati Banyuwangi mengeluarkan izin usaha pertambangan eksplorasi PT. DSI.

Gunung Tumpang Pitu dilihat dari kejauhan. / Foto: Lilik Handayani

Kondisi ini menimbulkan polemik di masyarakat. Konflik sosial mulai timbul antara yang pro dan yang kontra. Khususnya bagi mereka yang terkena dampak langsung akibat penambangan ini.

Keberadaan industri ekstraktif tambang emas ini meresahkan warga setempat. Warga resah, karena gunung mulai gundul, akses jalan menuju desa rusak parah akibat banyaknya truck besar yang sering keluar masuk area tersebut, dan suara seperti ledakan bom yang sering terdengar berasal dari area tambang.

Warga meyakini adanya aktivitas tambang di wilayah mereka akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan, belum lagi kehidupan masyarakat yang mayoritas sebagai nelayan akan merasakan dampak yang sangat besar.

Proses penambangan yang tidak sesuai dengan prosedur juga menjadi masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat. Warga setempat pun tidak tinggal diam, mereka terus melakukan penolakan terhadap ekspansi dua perusahaan tersebut.  Alih-alih mendapat respons dari pemerintah, warga justru tidak mendapatkan respons yang baik.

Guntung Tumpang Pitu dan laut di selatan Banyuwangi. / Foto: Lilik Handayani

Sejenak mari kita lihat dan renungkan kehidupan yang ada di sekitar kawasan tersebut. Wilayah pesisir selatan Banyuwangi merupakan surga bagi penghuninya.

Begitupun dengan masyarakat yang hidup di wilayah pesisir. Bagi mereka, laut memiliki arti mendalam bukan hanya sebagai tempat komersialisasi belaka.

Sebagai nelayan penghasilan terbesar mereka dapatkan dari hasil laut setiap harinya. Disisi lain, banyak warga yang meraup rupiah di kawasan wisata pesisir pantai.

Kawasan pesisir selatan Banyuwangi, tepatnya di Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran merupakan kawasan destinasi wisata yang menyuguhkan pemandangan laut yang indah dan menyejukkan mata. Setiap akhir pekan, tidak pernah sepi didatangi pengunjung.

Tempat ini sangat menarik orang-orang untuk berkunjung kesini. Namun, ditengah pemandangan pantai dan gunung yang menyejukkan mata, ada petaka lain yang membuat pemandangan sekitarnya tidak menarik lagi… YA, INDUSTRI EKSTRAKTIF TAMBANG EMAS! Itu penyebabnya.

Lalu, apa yang akan terjadi apabila ekspansi tambang emas tersebut terus dilakukan? Tentunya banyak banget dampak ekologis, sosial, dan ekonomi yang dirasakan oleh warga khususnya yang hidup disekitar area tersebut.

Krisis ekologis menjadi masalah utama di tempat ini, kondisi gunung yang sudah terkeruk menjadi gundul dan kondisi daratan semakin panas. Belum lagi limbah hasil tambang yang dibuang ke laut berakibat terhadap hasil tangkapan ikan nelayan.

Banyak nelayan yang mengeluh akan hasil tangkap yang semakin berkurang apabila mereka mencari ikan di laut yang dekat dengan area tambang. Padahal, sebelum ekspansi tambang tiba, kawasan itu dihuni ikan yang sangat melimpah.

Selain itu, nelayan juga bercerita bahwa kondisi terumbu karang yang berada dekat dengan kawasan tambang sudah rusak, akibatnya banyak ikan yang mati dan kehilangan tempat tinggalnya.

Kapal-kapal nelayan di laut selatan Banyuwangi. / Foto: Lilik Handayani

Sampai saat ini, upaya warga terus dilakukan untuk menghentikan ekspansi tambang emas ini. Berbagai cara telah ditempuh walau belum menemukan titik terang. Namun, tidak tampak sedikitpun lelah dari mereka. Semangat dan solidaritas mereka akan tetep konsisten menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan untuk memperjuangkan hak dan lingkungan.

Kolaborasi warga dan berbagai lembaga juga dilakukan untuk menolak ekspansi tambang emas di Gunung Salakan dan Tumpang Pitu. Lembaga pendukung diantaranya JATAM, YLBHI, KIARA, KRUHA, TEKAD GARUDA, KONTRAS, FORBANYUWANGI, LBH DISABILITAS, WALHI JATIM, KADER HIJAU MUHAMMADIYAH, FNKSDA, WALHI, ELSAM, SOLIDARITAS PEREMPUAN, GERAK LAWAN, YAYASAN PERLINDUNGAN INSANI INDONESIA, TREND ASIA, dan RENITA.

Sebelum menulis artikel ini, penulis berkesempatan menyaksikan langsung apa dan bagaimana yang terjadi serta dampak yang ditimbulkan bagi masayarakat dan lingkungan akibat ekspansi tambang emas yang berada di Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi.

Dalam artikel ini, penulis mengutip dari beberapa sumber sebagai informasi pelengkap. Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat memberikan perspektif baru untuk para pembacanya.***

Baca juga: Batu Siborong: Konservasi Melalui Tradisi Bahari di Spermonde

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan