Adat Sasi, Praktek di Grassroot dalam Menjaga Laut Indonesia Tetap Biru

adat sasi

Indah, asri, dan masyarakatnya yang heterogen serta masih mengedepankan budaya leluhur. Itu adalah beberapa kata yang dapat menggambarkan ketika datang pertama kali ke Kepulauan Kei di bulan Februari 2022.

Telah terbesit sejak awal bahwa, ketika sampai di Pulau Kei atau biasanya penduduknya menyebut “Nuhu Evav” (Kepulauan Evav), pasti akan banyak ditemui keindahan alam seperti pantai dan beserta lautnya yang indah dan asri. 

Dan benar saja, banyak sekali hal-hal baru yang luar biasa indahnya, contohnya seperti pantai pasir timbul Ngurtavur yang terkenal pasir timbulnya menjorok ke lautan sepanjang 2 km.

Pantai Ngurbloat, pantai yang memiliki pasir paling halus yang pernah ditemui. Pulau Bair, wisata gugusan pulau kecil dengan laguna sangat jernih dan dapat untuk snorkeling.

Meski begitu, dengan keindahan dan keasriannya, muncul dua pertanyaan bahwa bagaimana objek wisata laut di Kepulauan Kei bisa tetap terjaga bersih dan asri? Kenapa banyak pantai atau laut-laut Indonesia tidak sama indahnya seperti di Kepulauan Kei?

 Objek Wisata Gugusan Pulau di Pulau Bair
Objek wisata gugusan pulau di Pulau Bair. / Foto: Mahfud R. Fatoni

Nagekeo Johanes Don Bosco Do, Bupati Nusa Tenggara Timur mendapatkan laporan bahwa di daerah pesisir di bagian utara dan selatan di Desa Aeramo di Pulau Flores yang sedang mengalami pengikisan pantai 3 hingga 4 meter per tahun.

Erosi pantai adalah fenomena alam yang terjadi di daerah pesisir di mana tanah di sepanjang garis pantai tergerus karena gelombang, pasang surut, arus dan angin dan faktor-faktor lainnya.

Dalam kondisi ideal, tanah tersebut digantikan oleh jumlah sedimen yang sama-sama terkikis dari daerah lain biasanya disebut akresi.

Menurut Kepala Desa Aeramo Dominggus Biu Dore, erosi telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir karena lebih banyak orang membersihkan hutan bakau pesisir untuk membuat kolam bandeng.

Namun, keseimbangan alam ini tidak hanya terjadi di Pulau Flores, di banyak daerah di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Dalam 15 tahun terakhir, negara ini telah kehilangan 29.261 ha wilayah pesisir, yang kira-kira seukuran Jakarta (Kahfi, Kharishar. 2019). 

Dermaga Tradisional, adat sasi
Dermaga tradisional di Ohoi Evu. / Foto: Mahfud R. Fatoni

Padahal, faktanya lautan menjadi salah satu sumber kemakmuran Indonesia dengan sektor perikanan bernilai sekitar US 27 miliar, 7 juta pekerjaan dan menyediakan 50% kebutuhan protein berbasis hewani.

Tetapi, terdapat tantangan bagi ekosistem laut dan pesisir Indonesia yang tidak dikelola dengan baik, dapat merusak potensi ekonomi laut negara tersebut. Sekitar 38% dari perikanan tangkap laut negara itu ditangkap secara berlebihan.

Sekitar satu per tiga dari terumbu karang Indonesia yang berharga dalam kondisi buruk, ekosistem pesisir penting seperti mangrove menunjukkan kerugian besar dan puing-puing laut merugikan potensi ekonomi lebih dari US$ 450 juta per tahun. Beberapa tujuan wisata laut dan pesisir menunjukkan efek dari kepadatan penduduk dan infrastruktur dasar yang tidak memadai (World Bank. 2021).

Menurut perkiraan pemerintah, sekitar 60% dari total populasi, atau sekitar 150 juta orang tinggal di daerah pesisir. Selain itu, pihak berwenang memperkirakan bahwa 305.596 orang tinggal di pulau-pulau kecil dan terpencil pada tahun 2016. Negara ini berisiko mengalami kerugian secara ekonomi karena lebih dari 80% lokasi industri yang terletak di daerah pesisir (Kahfi, Kharishar. 2019). 

adat sasi, kepulauan kei
Seorang nelayan yang akan pergi berlayar di Ohoi Evu. / Foto: Mahfud R. Fatoni

Mengapa alamnya begitu menawan? Apa rahasia dibalik itu semua? Secara umum, menurut Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Kelautan IPB, Dr Ir Nevianty P Zamani, ada beberapa faktor yang membuat alam Indonesia Timur begitu indah.

Pertama, adalah faktor penduduk yang sedikit sehingga alam masih terjaga. Kedua, jika dilihat dari segi keilmiahan, Flora & Fauna di Indonesia Timur mengalami evolusi yang paling beragam yang membuat makhluk hidup disana begitu khas. Terumbu karang di timur juga bagus, selain memang faktor evolusi, Indonesia bagian barat jauh lebih berkembang wilayahnya. Ini yang membuat alam di bagian barat tidak sebagus di Indonesia Timur (D’Traveler. 2012). 

Lalu, apa yang menyebabkan potensi-potensi ekonomi laut di Indonesia menjadi terancam?

Setelah beberapa kali melakukan mini research baik itu artikel, jurnal maupun data-data, ternyata yang menjadi penyebab kerusakan sangatlah kompleks dan juga akibat dari permasalahan lingkungan tahun-tahun sebelumnya.

Di sektor ekonomi pesisir, misalnya mata pencaharian orang-orang nelayan. 5,6 juta orang mulai terancam pada akhir 1970-an oleh penurunan stok ikan yang disebabkan oleh kontaminasi perairan pantai.

Nelayan di Jawa bagian utara mengalami penurunan dalam beberapa jenis tangkapan ikan. Limbah dari tanaman pupuk di Gresik di Jawa Utara mencemari kolam dan membunuh benih bandeng dan udang muda.

Pencemaran Selat Malaka antara Malaysia dan Pulau Sumatera dari kebocoran minyak dari kapal tanker Jepang, Showa Maru pada Januari 1975 yang kemudian menjadi bencana lingkungan besar dari garis pantai Sumatera (Fact and Details. 2015). 

Saat ini Bali sedang mencoba untuk mengatasi masalah sampah plastik akibat meningkatnya jumlah wisatawan. Seperti di tahun 2018 ketika terjadi peningkatan wisatawan mancanegara sebesar 6,8 juta dari 15,8 juta. Produksi sampah juga bergerak lurus atau meningkat dari 0,5 kg/hari menjadi 1,7 kg/hari (Siddharta, Amanda Tazkia. 2019).

Membicarakan penyebab seperti tidak akan ada habisnya, yang perlu dilakukan adalah apa yang akan dilakukan untuk mengatasi kerusakan lingkungan di daerah pesisir? Lalu, bagaimana caranya?

Kembali lagi ketika pertama kali berkunjung ke Kota Tual, Maluku Tenggara di bulan Februari lalu. Beberapa dari penduduk lokal sering kali menyebutkan tentang “Adat Sasi” dalam selingan percakapannya. 

Hasil Tangkapan Laut di Pasar Tradisional di Kota Tual, adat sasi
Hasil tangkapan laut di pasar tradisional di Kota Tual. / Foto: Mahfud R. Fatoni

Dari berbagai pengertian hukum sasi (adat sasi), dapat ditarik kesimpulan yakni suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk memetik atau mengambil hasil-hasil sumber daya alam dari jenis tertentu untuk jangka waktu tertentu dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.

Sasi memungkinkan sumber daya alam untuk terus menerus tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, sumber daya alam hayati dan nabati perlu dilestarikan dalam suatu periode tertentu untuk memulihkan pertumbuhan dan perkembangan demi tercapainya hasil yang memuaskan.

Hak ulayat laut di Maluku ditemukan adanya konsep petuanan dan sasi. Konsep Sasi berhubungan dengan hak ulayat laut karena merupakan suatu pranata yang mengatur sistem pemanfaatan atas sumber daya yang ada di wilayah laut (petuanan laut). Konsep sasi ini juga menjelaskan bagaimana wujud model hak ulayat laut (Sahupala, Dudi Usman. 2012). 

Proses Pembuatan Makanan Khas Maluku Tenggara yang Berbahan Dasar Ikan Laut, Embal
Proses pembuatan makanan khas Maluku Tenggara yang berbahan dasar ikan laut. / Foto: Mahfud R. Fatoni

Di Kepulauan Kei sendiri terdapat budaya tahunan yang dikenal Festival Meti Kei yang mengandung makna yaitu, (1) keadaan ketika permukaan air laut surut; (2) berarti suatu tempat yang dangkal di tengah laut.

Jadi, wilayah petuanan laut di Kei selain wilayah Meti di pantai juga tempat-tempat yang dangkal berada di laut bebas, sepanjang masih berada dalam garis batas wilayah laut milik desa (ohoi), gabungan desa (utan) dan perserikatan desa (lor/ratschaaf).

Pada dasarnya orang asing (orang luar desa) tidak diperkenankan mengeksploitasi sumber daya laut tanpa izin kepala persekutuan pemilik hak petuanan tersebut. Sumber daya yang boleh dieksploitasi hanyalah ikan. Sedangkan, teripang, biota, rumput laut, terumbu karang tidak boleh diusik, kecuali ada perjanjian (Sahupala, Dudi Usman. 2012). 

Singkatnya, adat sasi mengatur tentang batasan eksploitasi sumber daya alam di sekitar pesisir pantai hingga ke laut bebas yang bertujuan untuk menjaga ekosistem alam laut tetap terjaga, lestari, berkelanjutan dan dapat dimanfaatkan secara turun temurun ke anak cucu.

Penggunaan aturan adat/budaya lokal diberikan kelonggaran oleh negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal 5 yang menyatakan:

Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama” (Sahupala, Dudi Usman. 2012). 

Penggunaan hukum/budaya lokal untuk menjaga ekosistem alam bisa saja diterapkan di berbagai daerah di Indonesia.

Menjaga ekosistem alam dapat membantu mempertahankan keragaman budaya manusia yang kaya dengan mendukung hubungan antara manusia dan lingkungan yang saling menguntungkan.

Robin Wall Kimmerer, profesor biologi lingkungan dan hutan, mengartikulasikan dalam bukunya “Braiding Sweetgrass”: “ Ketika kita bekerja untuk menyembuhkan bumi, bumi menyembuhkan kita” (Robinson, Jake M. 2020). 

Baca juga: Tantangan dan Solusi Pelestarian Penyu di Rantau Sialang, Aceh Selatan

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan