Kedai Jatam dan Kopi Santai

Saat itu, satu hari di Februari 2017, saya masih di Sekretariat Greenpeace Indonesia, bilangan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Sebuah rapat kecil dengan tim kampanye laut baru saja selesai.

Secangkir kopi pagi segera dituntaskan. Waktu sedang tidak bisa diajak kompromi. Saya harus segera meluncur ke Sekretariat Jatam.

Untungnya! Sekretariat Jatam terbilang tak jauh untuk dijangkau. Saya tiba tepat waktu.

Keberuntungan tambahan, saya serta sejumlah aktivis dan pewarta berbagai media langsung disambut dengan suguhan minuman dan makanan produk olahan warga dan komunitas dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk seduhan kopi pastinya.

Kopi Kedai Jatam

Produk-produk tersebut dijajakan dengan apik di Kedai Jatam.

Diskusi pun mengalir lancar lintas kita, meski acara resmi sebenarnya belum dimulai.

Suara hati sulit diingkari, berkumpul memang semakin nikmat jika cemilan tersedia.

Apalagi kita tahu persis di setiap produk suguhan itu tersirat cerita perjuangan warga yang tidak kenal lelah untuk terus melawan keangkuhan tambang dan pongahnya penguasa.

Hari itu Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka Sulawesi Utara melangsungkan jumpa pers.

Tujuannya untuk menginformasikan kepada publik bahwa pembangkangan hukum masih dipertontonkan oleh rezim penguasa di negeri ini.

Kopi Kedai Jatam
Dokumentasi Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka, Sulut.

Perusahaan terkait dan segelintir oknum pemerintah hingga kini terus mengakali amar Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor: 211/G/2014/PTUN-JKT tanggal 14 Juli 2015 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Putusan tersebut harusnya berkonsekuensi logis bahwa kegiatan tambang bijih besi adalah ilegal dan PT. Mikgro Metal Perdana (PT. MMP) harus segera angkat kaki dari Pulau Bangka.

Pembangkangan hukum oleh pemerintah itu telah ‘memaksa’ PTUN Jakarta menerbitkan surat Pengawasan Pelaksanaan Putusan tertanggal 3 Februari 2017.

Surat tersebut ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia untuk menanyakan perihal kemajuan eksekusi dari Putusan tersebut (lihat berita terkait di Hukumonline.com).

Usai jumpa pers, kehangatan diskusi masih berlanjut.

Kami sadar sekaligus penasaran, bagaimana caranya hukum bisa tegak saat penguasa malah berlaku tidak taat hukum?

Sepertinya kita perlu mengajak Menteri ESDM dan Presiden ikut ngopi santai di Kedai Jatam.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Perjuangkan Nasib Pulau Sangihe, Koalisi Save Sangihe Island (SSI) Aksi di Kantor ESDM RI dan Kantor Kedutaan Kanada di Indonesia

“Keberadaan pertambangan PT. TMS jadi ancaman nyata bagi seluruh kehidupan di sana baik yang di darat, maupun pesisir laut mungkin saja pada ruang udara. Hal ini layaknya bencana atau derita akan menimpa kita semua akan tetapi telah dituturkan di depan, tentu saja ini bukan cerita bencana alami tapi bencana industri,” kata Jull Takaliuang seorang inisiator Koalisi Save Sangihe Island.

Tanggapan