Sinergi Melawan Masalah Sampah di Kawasan Wisata Bahari

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke-dua di dunia dengan panjang mencapai 99.093 kilometer. Oleh karena itu, Indonesia memiliki banyak objek destinasi wisata bahari. Tidak hanya cakupan pada bentang pantai, wisata bahari di Indonesia juga mencakup wisata pada bentang laut itu sendiri.

Iklim tropis yang mendukung keragaman biodiversitas dan nilai estetika yang tinggi menjadikan wisata bahari di Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di dunia . Sektor pariwisata pantai memiliki peran yang cukup besar dalam aspek ekonomi dan sosial masyarakat.

Wisata bahari di Indonesia menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB)  sekitar 0,5 triliun Rupiah. Meskipun PDB dari wisata bahari merupakan yang terkecil dari sektor maritim lainnya, PDB dari wisata bahari mengalami peningkatan pertumbuhan tertinggi yang mencapai 8,23%.

(Kemenko Kemaritiman dan BPS, 2017) wisata bahari juga merupakan tempat destinasi untuk kegiatan relaksasi dan olahraga yang dapat meningkatan kesehatan dan juga kesejahteraan hidup.

(World Health Organization. 2003) menurut survei yang dilakukan Kompas mengenai minat wisatawan di masa pandemi, wisata bahari menjadi rujukan yang paling banyak bagi responden yang ingin berwisata dengan persentase sebanyak 28,4%. (Ramadhian, Nabilla. 2021)

Tantangan Pencemaran Sampah di Wisata Bahari

Terlepas dari peran wisata bahari dalam sektor ekonomi dan sosial di Indonesia, masih banyak kawasan wisata bahari di Indonesia yang mengalami pencemaran sampah akibat kegiatan pariwisata. Menurut UNEP (2009), sektor wisata bahari merupakan salah satu sumber pencemaran sampah laut baik yang berasal dari pantai (land-based source) maupun dari laut secara langsung (sea-based source).

Salah satu aktivitas yang menyumbang pencemaran sampah di tempat wisata bahari adalah konsumsi makanan dan minuman. Menurut penelitian yang dilakukan Bahri, Rizal. dkk. (2020), sampah yang berkaitan dengan konsumsi makanan dan minuman menyumbang sekitar 39.1%–69.7% dari sampah yang dihasilkan di kawasan wisata Pantai Kenjeran Surabaya. Sementara itu, plastik mendominasi jenis material sampah yang ditemukan dengan persentase sekitar 35.5%–56%.

Penyebab pencemaran sampah di kawasan wisata bahari selain akibat dari  minimnya fasilitas pengelolaan sampah juga diakibatkan oleh rendahnya kesadaran wisatawan untuk menjaga kebersihan tempat wisata.

Pada bulan Maret 2021, pantai Parangtritis Yogyakarta dipenuhi sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung pantai yang bertepatan saat libur panjang. Rendahnya kesadaran pengunjung yang disebut sebagai penyebab banyaknya sampah yang dibuang sembarangan. (Yuwono, Markus. 2021)

Dampak Pencemaran Sampah terhadap Wisata Bahari

Sampah yang terdapat di kawasan wisata bahari memiliki dampak ekonomi yang cukup besar bagi industri pariwisata itu sendiri. Sampah dapat menurunkan kualitas estetik wisata bahari yang dapat menurunkan jumlah pengunjung sehingga berdampak pada penurunan pendapatan penduduk lokal serta pelaku usaha wisata bahari.

Lebih lanjut, upaya pembersihan sampah juga memerlukan biaya yang cukup besar. Menurut studi yang dilakukan Making Oceans Plastic Free Initiative pada tahun 2017, sektor pariwisata Indonesia mengalami kerugian sekitar USD 140 juta dengan 55 USD dialami oleh sektor pariwisata di Bali yang diakibatkan oleh pencemaran sampah tas plastik (World Bank. 2021).

Semantara itu, sampah yang terdapat di Pulau Tidung menyebabkan turunnya indeks persepsi pengunjung di pulau tersebut. (Hayati, Y. dkk. 2020).

Selain berdampak pada aspek ekonomi, sampah yang dibuang di kawasan wisata bahari juga berdampak pada aspek sosial kesehatan dan lingkungan. Pada masa pandemi saat ini, sampah alat pelindung diri seperti masker banyak ditemukan di kawasan wisata bahari.

Sampah masker terutama yang dihasilkan oleh penderita COVID-19 memerlukan penangan khusus. Meskipun tingkat penularan COVID-19 melalui sampah sangat kecil namun upaya pencegahan sampah yang dibuang sembarangan sangat diperlukan.

Pada aksi bersih – bersih di Pantai Ujung genteng Sukabumi, relawan menemukan banyak sampah masker yang dibuang oleh wisatawan. (Gilang, Ragil. 2021)

Lebih lanjut, sudah tidak diragukan lagi bahwa sampah yang terdapat di kawasan wisata bahari mengancam kehidupan biota laut seperti penyu, mamalia laut, terumbu karang dan ikan. Sampah dapat tertelan oleh biota laut yang dapat menyebabkan kematian.

Sampah juga dapat tersangkut pada badan biota laut yang mengganggu aktivitas mereka. Menurut seorang penggiat konservasi penyu di pesisir selatan Tulungagung, Andik, kondisi pantai yang kotor menyebabkan berkurangnya jumlah penyu yang mendarat di kawasan pesisir tersebut.

Pernyataan tersebut menyusul berkurangnya jumlah indukan penyu yang bertelur di kawasan pantai di pesisir selatan Tulungagung akibat pembukaan kawasan konservasi menjadi tempat wisata. (Friska, Yolanda. 2019)

Sinergi Semua Pihak Dalam Melawan Masalah Sampah 

Upaya pencegahan pencemaran sampah di kawasan wisata bahari tidak hanya tanggung jawab pemerintah namun juga semua komponen masyarakat yang terlibat seperti pengelola atau pelaku usaha serta wisatawan di kawasan wisata bahari.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui Permen Parekraf No. 5 Tahun 2020 mendorong seluruh pengelola kawasan dan pelaku usaha wisata bahari untuk berkontribusi mencegah pencemaran sampah terutama sampah plastik.

Pengelola kawasan wisata bahari yang umumnya adalah pemerintah daerah setempat atau pelaku usaha pariwisata harus melakukan upaya pencegahan pencemaran sampah melalui pengurangan dan pengelolaan sampah. 

Menurut Kemenparekraf (2020), pengelola kawasan wisata bahari wajib untuk menyediakan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai dimulai dari pewadahan, pengangkutan hingga fasilitas pengelolaan sampah plastik.

Lebih jauh, pengelola juga wajib untuk memberikan arahan kepada wisatawan untuk membatasi jumlah dan jenis barang yang dibawa serta bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan. 

Saat ini masih sedikit pemerintah daerah atau pelaku usaha pariwisata yang membuat pedoman atau peraturan tentang pencegahan pencemaran di kawasan wisata bahari di daerah masing – masing. Fasilitas pengelolaan sampah di kawasan wisata bahari di beberapa daerah juga belum maksimal.

Sebagai contoh, fasilitas pewadahan sampah yang ada di Pantai Kenjeran Surabaya tidak tersebar merata sehingga masih terdapat sampah yang dibuang sembarangan. (Bahri, Rizal. dkk. 2020). Oleh karena itu, perlu adanya komitmen yang tinggi bagi pemerintah daerah atau pelaku usaha pariwisata untuk melakukan pencegahan pencemaran sampah di kawasan wisata bahari melalui pembuatan aturan atau pedoman bagi wisatawan serta menyediakan fasilitas pengelolaan sampah yang merata dan memadai. 

Terlepas dari adanya aturan atau pedoman pencegahan pencemaran sampah dan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, wisatawan memiliki peran yang sangat penting untuk menjaga kebersihan kawasan wisata bahari.

Sebagai penghasil sampah, wisatawan dapat membatasi sampah yang dihasilkan melalui penggunaan barang guna ulang seperti peralatan makan, tas dan masker. Jika wisatawan tidak menemukan tempat pewadahan sampah maka wisatawan dapat menyimpan sampahnya terlebih dahulu untuk dibuang di tempat lain yang terdapat tempat pewadahan sampah.

Upaya ini sangat penting untuk mencegah pencemaran sampah terutama di kawasan wisata bahari yang belum memiliki fasilitas pengelolaan sampah yang tidak memadai ataupun di kawasan wisata bahari yang tidak terkelola. 

Pada akhirnya, perlu adanya sinergi antara pemerintah, pihak pengelola atau pelaku usaha pariwisata serta wisatawan dalam melawan pencemaran sampah di kawasan wisata bahari untuk menciptakan kondisi yang berkelanjutan yang bermanfaat bagi ekonomi, sosial dan lingkungan wisata bahari. 

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan