Sisi Gelap Labuan Bajo: Sampah Laut Tak Terurus, Pariwisata Tergerus

Banyak orang-orang membangun imajinasi tentang keindahan pariwisata Labuan Bajo karena membaca berita, melihat postingan foto atau video di media sosial. Karena itu, banyak orang berlomba-lomba menyampatkan diri untuk datang berlibur di Labuan Bajo, kendati dengan biaya yang cukup mahal.

Orang-orang yang pernah datang di Labuan Bajo tanpa menelusuri keadaan di dalamnya, pasti memberi kesan baik karena melihat sunset dari balik hotel, trip di beberapa pulau atau melihat hewan buas komodo di Loh Liang, Pulau Komodo.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, Labuan Bajo itu tak seindah foto-foto, video maupun narasi-narasi media lokal, nasional, bahkan internasional. Ada banyak sisi gelap pariwisata Labuan Bajo yang berada di ujung barat Pulau Flores itu.

Hanya saja, Labuan Bajo itu terlanjur terkenal sejak terpilihnya reptil purba tertua, Komodo [Varanus Komodoensis] di Pulau Komodo menjadi New 7 Wonders Foundation pada 2012 silam.

Setahun kemudian, pada 2013, di Labuan Bajo dilakukan event besar, merayakan keterpilihan reptil Komodo, hewan tertua di dunia dengan Sail Komodo.

Taman nasional komodo
Taman karang di pagi hari di Pulau Kanawa, Taman Nasional Komodo.

Sejak saat itu, pariwisata Labuan Bajo “digembar-gembor”, lalu dipromosikan di berbagai belahan dunia, termasuk dalam kegiatan Paviliun Indonesia di Nations with Wonders at Expo 2020 yang digelar di Expo Dubai. Atau perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 ASEAN di Labuan Bajo pada 9-11 Mei 2023, pertemuan pemimpin-pemimpin negara ASEAN.

Semua even-even besar itu selalu menampilkan sisi terang tentang Labuan Bajo. Yang ditampilkan itu tentang keindahan, keromantisan, dan Labuan Bajo yang bersih. Tapi fakta saat ini, salah satu persoalan serius yang dihadapi bahkan menjadi sorotan wisatawan ialah tentang sampah laut yang tak terurus.

Kesan Buruk dari Wisatawan dan Piala Adipura

Beberapa waktu lalu ketika saya bercerita tentang keindahan Labuan Bajo dengan segerombolan wisatawan domestik yang memperkenalkan diri asal kota Jakarta, betapa mengejutkan kesan mereka setelah melakukan trip di beberapa pulau dalam kawasan Taman Nasional Komdo.

Mereka mengisahkan, salah satu hal yang menjijikkan dari Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo adalah sampah laut yang tak terurus.

“Sampah bawah laut sangat banyak. Bahkan saat snorkeling di perairan Labuan Bajo, ada begitu banyak sampah plastik di laut,” ungkap salah satu wisatawan itu yang tidak mau menyebutkan namanya.

Misi saya menceritakan Labuan Bajo yang indah dan bersih, telah dipatahkan ketika wisatawan itu “melitanikan” amburadulnya pengelolaan sampah laut.

Kesan itu semacam pukulan telak bagi Labuan Bajo, Manggarai Barat yang pada 28 Februari 2023, menjadi salah satu dari 80 kabupaten/ kota penerima penghargaan Piala Adipura dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Labuan Bajo dinilai oleh KLHK menjadi salah satu kota yang berhasil menjaga kebersihan dan mengelola lingkungan perkotaan. Wakil Bupati Yulius Weng dengan bangga menerima piala itu dari Menteri KLHK Siti Nurbaya.

Piala itu kemudian diarak keliling kota Labuan Bajo, kendati menuai kritikan dari elemen masyarakat karena faktanya, sampah belum terurus dengan baik [Bdk. Floresa.co 19 Maret 2023].

Sampah Laut, Persoalan Pelik di Labuan Bajo

Sampah laut memang masih menjadi masalah pelik yang dihadapi pariwisata di Labuan Bajo, yang digaungkan pemerintah pusat menjadi salah satu “Bali Baru”. Sampai saat ini, pemerintah belum memiliki peraturan daerah tentang pengaturan dan pengelolaan sampah laut di Labuan Bajo.

Pihak dinas Lingkungan Hidup Manggarai Barat juga belum memaksimalkan penertiban kapal-kapal wisata yang berlayar di perairan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo.

Dilansir Pos Kupang.com [21/02/2023], usai mengikuti aksi bersih sampah memeperingati Hari Peduli Sampah Nasional [HPSN] 2023, Bupati Edistasius Endi mengancam akan menenggelamkan kapal-kapal wisata yang bandel dalam mengurus dan mengelola sampah.

Ancaman ini semacam gertak sambal, ketika Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nusa Tenggara Timur, Zet Sony Libing mengungkapkan ada 614 kapal Phinisi di Labuan Bajo yang beroperasi gratis tanpa membayar pajak dan retribusi.

Sementara itu, dilansir detik.com (14/04/2023) Kepala Dinas Pariwisata, Ekonomo Kreatif, dan Kebudayaan [Disparekrafbud] Manggarai Barat, Pius Baut mengatakan, sebanyak 30.078 wisatawan yang datang di Labuan Bajo pada Januari-Maret 2023.

Hal lain, fakta mengejutkan, dalam rangka Hari Laut Sedunia [World Ocean Day] 2023, sebanyak 10 penyelam profesional di Labuan Bajo mengangkut 325 kilogram sampah plastik di perairan Gili Lawa yang merupakan salah satu spot wisata untuk sailing dan menikmati matahari terbir dan terbenam. Gili Lawa ini juga merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo [TNK] dan [Bdk.detik.com 8 Juni 2023].

Data ini menjukkan rendahnya perhatian pemerintah tentang pengelolaan sampah laut serta penertiban kapal-kapal wisata yang berkeliaran tanpa mengurus sampah. Boleh jadi kapal-kapal wisata yang melakukan trip membuang sampah di laut. Hal ini tentu menjadi protret  kacaunya tata kelola birokrasi dalam mengelola sampah di Labuan Bajo.

Dampak Buruk Jangka Panjang

Keberadaan sampah plastik berdampak buruk bagi ekosistem laut. Artikel Etty Riani yang berjudul “Bahan Berbahaya dan Beracun dalam Plastik” dalam buku ‘Sampah Laut Indonesia: Implikasi dan Strategi’menjelaskan bahwa salah satu bahan baku pembuatan plastik ialah Naphta. Naphta adalah bahan yang dihasilkan dari proses penyulingan munya bumi atau gas alam [Cordova, 2020:37].

Selain itu, menurut Oros dan David yang dikutip Etty, bahan-bahan aditif yang digunakan pada plastik aalah polybrominated diphenyl ethers [PBDEs] yang digunakan untuk pemadam api, senyawa sepeti di-n-butylphthalate, butylbenzyl phthalate dan bis [2-ethylhexyl] phthalatem, triphenylphotoshate minyak hidrokarbon, benzema dan vinyl klorida, polyvinyl klorid [PVC], khlor, dioxin, serta bahan-bahan fraksi minya/ hidrokarbon, PAHs [Polinuclear Aromatic Hidrokarbon], dan PCB [Polyclorinated biphenyls] [ibid. 40]. Bahan-bahan ini akan membayakan hewan laut jika sudah menjadi mikro plastik, yang sudah terpecah-pecah.

Dalam jangka panjang, mikro plastik ini akan  membahayakan manusia. Hal itu terjadi karena manusia mengonsumsi ikan dan produk-produk dari laut. Ikan/hewan laut yang sudah menelan mikro plastik akan menyerap racun yang terkandung dalam plastik. Racun ini lalu berpindah ke manusia yang memakannya.

Bukan tidak mungkin, di waktu yang akan datang, warga di Labuan Bajo merasakan dampak plastik secara tidak langsung dengan mengonsumsi ikan yang memakan mikro plastik.

Hal ini mesti menjadi perhatian serius dari pemerintah daerah untuk melakukan pencegahan dengan memberikan pengelolaan sampah laut di Labuan Bajo kepada pihak ketiga atau swasta.

Tidak cukup menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga laut dari sampah. Kendati hal ini penting, namun dalam konteks pengelolaan pariwisata Labuan Bajo, pengelolaan sampah mesti diberikan kepada swasta. Pengelolaannya oleh pihak swasta. Sementara hasil retribusi dari sampah itu disetorkan kepada pemerintah daerah sebagai pendapatan asli daerah [PAD].

Dengan demikian, merawat perairan Labuan Bajo sebagai kota pariwisata dengan sematan super prioritas, menjadi poin penting yang harus diperhatikan oleh semua pihak yang ada di Kabupaten Manggarai Barat.***

Baca juga: Gak Cuma Komodo, Inilah Hewan Raksasa Lainnya di Taman Nasional Komodo

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan