Ingatan Kolektif Pesisir Punaga yang Perlahan Ditenggelamkan Krisis Iklim

Bagi hampir sebagian besar masyarakat, isu krisis iklim telah menjadi informasi yang hampir didapatkan setiap hari. Berbagai media, organisasi non pemerintah hingga pemerintah itu sendiri telah menyajikan data-data terhadap dampak krisis iklim melalui berbagai platform dan penyajian yang beragam.

Ada yang berbicara mengenai kerusakan ekosistem laut seperti terumbu karang, mangrove hingga lamun. Ada juga menyajikan fakta tutupan hutan terus berkurang, hingga polusi perkotaan yang semakin menyesakkan warga.

Di Sulawesi Sulawesi yang terkenal dengan berbagai aktivitasnya di pesisir, turut terdampak dampak krisis iklim. Naiknya permukaan air laut dari tahun ke tahun telah menyebabkan abrasi di berbagai daerah. Salah satunya di pesisir Kabupaten Takalar.

Panjang garis pantai Takalar sendiri mencapai 74 km. Sayangnya, penelitian yang dilakukan oleh Inaku, Nurdin, dan Satari tahun 2021 menunjukkan sekitar 18 km panjang garis pantai Takalar memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Penelitian yang dipublikasi di Jurnal Kelautan Tropis tersebut juga mencatat, sepanjang 1998 – 2018 abrasi terjadi di sepanjang 67,7% garis pantai Takalar.

Namun, ada persoalan yang jarang dilirik dapat publikasi dampak krisis iklim terhadap bumi kita. Isunya kalah pamor dan mentereng dibanding contoh yang telah disebutkan tadi. Ia lebih sunyi, yaitu sejarah! Hilangnya ingatan kolektif manusia.

Di Desa Punaga, Kecamatan Laikang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan terdapat sebuah kompleks makam yang berada di daerah pesisir. Kompleks makam yang telah dijadikan sebagai cagar budaya oleh negara.

Kompleks Makam I Sabbelo’mo Daeng Takontu. Nama tersebut diambil dari nama ibu dari salah satu tokoh perjuangan yang dihormati di Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin yang merupakan Sultan Gowa ke-16, seperti yang kita tahu merupakan sosok pejuang dari Sulawesi Selatan yang gagah berani melakukan perlawanan terhadap penjajah di masa hidupnya.

Kompleks Makam I Sabbelo’mo Daeng Takontu. (Foto: Jaring Nusa)

Dari informasi yang didapatkan melalui pemberitaan yang terbatas, membuat saya penasaran seperti apa kondisi kompleks makam dan ingin melihat lebih dekat bagaimana krisis iklim menyebabkan potensi eksistensinya akan hilang.

Bersama dua orang kawan melakukan penelusuran langsung ke lokasi yang untuk berbincang dengan tokoh masyarakat dan kondisi terkini kompleks makam. Selama 3 hari di bulan April kami berkeliling, berbincang dan mengunjungi berbagai lokasi untuk merekam Desa Punaga.

Sejarah yang Perlahan Tenggelam

Desa Punaga sendiri tidak terlepas dari dampak krisis iklim. Perlahan mengikis garis pantainya yang mengancam eksistensi Kompleks Makam. Kami menemui B. Tarru Maddolangan, tokoh masyarakat sekaligus penjaga Kompleks Makam I Sabbelo’mo Daeng Takontu. Di sebuah rumah panggung sederhana, kami diajaknya menjelajah ruang waktu, kembali pada peristiwa lampau yang diceritakannya dengan penuh antusian.

Ia merupakan generasi kesekian yang menjaga kompleks makam tersebut. Kami mendapatkan informasi mengenai sejarah kompleks makam. Ia menuturkan jika kompleks makam merupakan makam keluarga dari ibunda Sultan Hasanuddin. Jumlah makamnya sendiri mencapai 488.

Selain ibunda Sultan Hasanuddin yang dimakamkan di kompleks tersebut, terdapat juga kakek Sultan Hasanuddin, I Bobang Daeng Limpo yang juga merupakan Raja ke 4 Punaga, I Pate Daeng Nisali yang merupakan istri Sultan Hasanuddin. Dari penjelasannya, ada cerita menarik yang disampaikan tentang Sultan Hasanuddin.

Sultan Hasanuddin yang diketahui dimakamkan di kompleks pemakaman yang berada di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa hampir di makamkan di Desa Punaga. B. Tarru Maddolangan bercerita jika Sultan Hasanuddin telah berpesan jika ia meninggal ia ingin dimakamkan di dekat makam ibunya.

Namun saat hendak dimakamkan, terdapat perdebatan antara utusan kerajaan Gowa dan juga keluarga di Desa Punaga. Dari kerajaan Gowa sendiri ingin memakamkan di Gowa yang bertentangan dengan pesan dari Sultan Hasanuddin. Akhirnya, untuk menghindari konflik, Sultan Hasanuddin dimakamkan di Gowa.

B, Tarru Maddolangan menyambut kami dengan ramah dan menceritakan dengan antusias sejarah Kompleks Makam. (Foto: Jaring Nusa)

Di usianya yang sudah tak lagi muda, B. Tarru Maddolangan dengan antusias melanjutkan ceritanya. Ia menjelaskan pada saat itu tubuh Sultan Hasanuddin dibawa dari Desa Punaga ke Kerajaan Gowa dengan berjalan kaki. Caranya dengan diangkat secara gotong royong melewati berbagai desa hingga sampai di Kerajaan Gowa.

Setelah menceritakan sejarah kompleks makam, kami diajaknya untuk melihat langsung kondisi makamnya. Ditemani oleh 2 orang keluarganya, kami melihat berbagai makam dengan berbagai ukuran dan beberapa diberikan penanda nama. Setiap besar makam menandakan statusnya.

B. Tarru Maddolangan sendiri menyebut jika ancaman nyata dari keberadaan Kompleks Makam I Sabbelo’mo Daeng Takontu adalah naiknya permukaan air laut. Ia menyebut dulunya jarak garis pantai dengan kompleks makam sekitar 30an meter. Namun sekarang hanya berkisar 5-10 meter saja.

Dampak yang timbul semakin dekatnya kompleks makam dengan garis pantai adalah membuat pagar kawat kompleks makam berkarat. Hal tersebut lantaran pagar kawat terkena ombak. Solusi sementara dari yang diambil oleh pemerintah adalah dengan membuat tanggul penahan ombak untuk mencegah abrasi yang semakin parah.

Refleksi

Merekam Punaga selama 3 hari membuat saya menyadari betapa krisis iklim makin hari makin terasa dampaknya. Segala lini kehidupan telah merasakan akumulasi dari aktivitas destruktif selama berabad-abad. Perlu adanya upaya nyata dan berkelanjutan dari berbagai stakeholder untuk mengambil peran dalam mencegah dampak buruk yang ditimbulkan.

Ancaman nyata krisis iklim telah berdampak terhadap eksistensi sejarah. Hilangnya kompleks makam bukan hanya sekadar kehilangan benda, melainkan hilangkan jejak, tentang identitas! Jangan sampai, kita hanya mengenal kompleks makam keluarga Sultan Hasanuddin, sang Ayam Jantan dari Timur tinggal tertulis di buku.

Sebagai tambahan informasi, cerita mengenai Kompleks Makam juga dapat diakses lebih lengkap pada tulisan kami yang dipublikasi oleh Jaring Nusa, koalisi 18 organisasi yang berfokus pada isu pesisir, laut dan pulau kecil khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Dapat diakses disini.

Artikel Terkait

Tanggapan