Menjelang Hari Nelayan Nasional, Presiden Didesak untuk Segera Ratifikasi Konvensi ILO 188 Demi Nasib Nelayan

hari nelayan nasional

Setiap tahun, tanggal 6 April dikenal sebagai Hari Nelayan Nasional. Hari itu diperingati sebagai bentuk apresiasi khusus kepada para nelayan Indonesia yang berjasa dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Secara simbol dan spirit hal itu tidklah salah dan berlebihan.

Ironinya, fakta di lapangan menunjukan bahwa nelayan di Indonesia kebanyakan adalah kaum yang berada dalam garis kemiskinan yang kronis. Bahkan, seringkali nelayan tidak memiliki rumah yang layak. Begitu juga dengan perahu dan peralatan melaut mereka yang serba terbatas dan beresiko tinggi atas pekerjaannya. Menjadikan kaum nelayan sebagai kelompok yang rentan.

Fakta-fakta tersebut mendorong masyarakat yang peduli akan nasib nelayan – baik nelayan tradisional maupun nelayan yang bekerja di Industri perikanan besar terus mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor perikanan yang dianggap akan mampu mengangkat derajat kaum nelayan.

Pada 3 April 2024 sejumlah gerakan dari masyarakat sipil melakukan aksi untuk menyerukan berbagai tuntutan kepada pemerintah. Aksi terjadi di Jakarta, Kota Banda Aceh dan Kota Bitung.

Masyarakat menggelar aksi di Jakarta, menyuarakan pelindungan bagi nelayan./Foto: Mas Agung Wilis / Greenpeace

Aksi di Jakarta, masyarakat membawa sebuah miniatur kapal sepanjang tiga meter berwarna biru dan corong hitam dengan nama KM Derita Nelayan dan memajangnya di depan Patung Arjuna Wijaya (Patung Kuda). Di depan kapal itu, terlihat pula seorang aktivis melakukan aksi teatrikal sebagai awak kapal yang terjerat di dalam jaring kapal.

Sejumlah aktivis juga berdiri di sekitar kapal sembari memegang poster bertuliskan “Lindungi Pelaut Perikanan Indonesia”, “Seafood Segar, Tapi Nelayan & Awak Kapal Perikanan Gak Makmur? Rugi Dong!”, hingga “Segera Ratifikasi Konvensi ILO K-188!”.

Aksi di Kota Banda Aceh, masyarakat menyerukan tuntutannya ke kantor Gubernur Provinsi Aceh. Sementara di Kota Bitung masyarakat berunjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Bitung.

Sejumlah masyarakat menyampaikan tuntutan di Kantor Gubernur Provinsi Aceh. / Foto: Greenpeace

Aksi damai tiga kota jelang Hari Nelayan Nasional diinisiasi oleh Tim 9. Tim 9 adalah sebuah koalisi informal sejumlah individu dengan beragam latar belakang, dari elemen serikat pekerja, asosiasi perikanan, perusahaan perekrut awak kapal (manning agency), akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil.

Koordinator Tim 9, Syofyan, menyuarakan agar perbaikan kesejahteraan bagi nelayan untuk segera dilakukan, khususnya bagi awak kapal perikanan domestik maupun migran.

“Selain tidak dilindungi dengan jaminan sosial, mereka juga bekerja tanpa aturan standar upah minimum. Semua diperparah dengan sistem bagi hasil yang tidak adil bagi nelayan, khususnya awak kapal perikanan domestik dan migran. Bertepatan Hari Nelayan Nasional tahun ini, kami mendesak Presiden Joko Widodo segera meratifikasi Konvensi ILO 188 agar standar pelindungan nelayan dan awak kapal di Indonesia lebih jelas dan lebih baik,” ujar Syofyan.

Salah satu perwakilan Tim 9, Fikerman Saragih, menyoroti banyaknya masalah krusial yang dialami oleh nelayan di Indonesia yang masih minim perhatian pemerintah.

Menurut Fikerman, tidak adanya jaminan pelindungan atas wilayah penangkapan nelayan kecil dan tradisional oleh negara, sehingga memicu kompetisi antara nelayan kecil dengan nelayan besar dan/atau industri. Kemudian, minimnya pengakuan identitas perempuan nelayan. Padahal, pengakuan tersebut dibutuhkan guna memperkuat pelindungan terhadap mereka.

Lebih lanjut Fikkerman mengatakan, saat ini kebijakan pemerintah berorientasi pada jaminan dan kepastian hukum untuk investasi, akan tetapi tidak pelindungan dan keberlanjutan ekologi di wilayah pesisir, perairan laut, dan pulau-pulau kecil.

Sejumlah masyarakat menyampaikan tuntutan di Kantor DPRD Kota Bitung. / Foto: Stevian Philip/Greenpeace

“Tim 9 mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi K-188 serta menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Dengan diratifikasinya K-188 dan implementasi UU 7/2016, pemerintah sudah maju satu langkah untuk melindungi nelayan dan AKP, serta menerapkan pelindungan hak asasi manusia dan pemenuhan hak-hak pekerja perikanan sebagai apresiasi pejuang protein bangsa,” ujar Fikerman.

Dari sisi lingkungan, perwakilan Tim 9 lainnya, Sihar Silalahi, juga melihat ada beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan negara karena berpengaruh terhadap ekosistem ruang hidup nelayan.

Salah satunya praktik illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing yang jika tidak ditangani secara serius, akan berujung pada overfishing yang akan berdampak kepada kehidupan nelayan.

Sihar juga menyoroti pentingnya keterbukaan sejumlah informasi yang selama ini kerap hanya dimonopoli oleh pemerintah. Salah satunya soal posisi kapal perikanan melalui Vessel Monitoring System (VMS) yang sulit diakses oleh publik. Ada juga minimnya informasi mengenai kejahatan perikanan di masa lalu dan hukuman yang diberikan kepada pelanggar juga belum dirilis ke publik.

“Informasi mengenai kepemilikan setiap kapal perikanan juga tidak bersifat publik, sehingga pengawasan tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya kapal yang melakukan praktik penangkapan ilegal masih minim. Hal-hal inilah yang sangat berdampak bagi kehidupan nelayan di Indonesia,” ujar Sihar.***

Baca juga: Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan