Recovery Time: Wisata Bahari ASEAN Juga Butuh Istirahat

ASEAN menjadi salah satu kawasan destinasi dunia yang sedang populer saat ini.

Hal ini tentu memberikan manfaat bagi ekonomi di negara negara kawasan ASEAN baik terhadap sektor langsung (hotel, tempat wisata, tour operator, restauran, dll) maupun sektor tidak langsung (nelayan, petani, perusahaan bahan bakar, perusahaan air minum, dll).

Dibalik peningkatan pendapatan, penyerapan lapangan pekerjaan dan dampak positif pembangunan lainnya, pariwisata tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga menimbulkan beberapa dampak negatif, tidak terkecuali terhadap sektor wisata bahari.

Meningkatnya tingkat kunjungan wisatawan yang melebihi kapasitas, poor visitor management, dan environmental management berimbas pada kerusakan pada ekosistem beberapa wisata bahari di ASEAN.

Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang berujung penutupan kawasan wisata yang dilakukan untuk pemulihan ekosistem yang rusak.

Beberapa khasus diantaranya adalah di Boracay-Filipina, dan Maya Bay di Thailand.

Menjadi destinasi paling populer di Filipina, Boracay memiliki daya pikat berupa sand-powdered white beach dan aktivitas menikmati sunset dari paraw (kapal kayu tradisional Filipina).

Daya pikat yang begitu besar mengakibatkan banyaknya turis yang tidak sebanding dengan kapasitas yang ada. Akibatnya, kerusakan terumbu karang dan pencemaran pantai oleh sampah wisatawan.

Pemerintah Filipina mendeklarasikan penutupan Boracay terhitung sejak 26 April hingga 26 October, 2018.

Penutupan kawasan Boracay diawali sejak kejadian over demanding tourism dikawasan Boracay yang berimbas terhadap kerusakan ekosistem laut dan pantai di Boracay.

Sementara di Maya Bay Thailand, Pemerintah Kerajaan Thailand melalui Department of National Parks, Wildlife and Plant Conservation mendeklarasikan penutupan kawasan Maya Bay terhitung sejak pertangahan tahun 2018 hingga tahun 2021.

Pantai yang terkenal melalui film “The Beach” yang dibintangi oleh aktor Leonardo De Caprio ini telah sukses menarik perhatian ribuan wisatawan dunia.

Foto oleh Mike Clegg dari Pixabay

Dilansir oleh BBC.co.uk, pada tahun 2008, sekitar 171 wisatawan mengunjungi Maya Bay setiap hari dan di tahun 2017, sekitar 3520 wisatawan mengunjungi Maya Bay setiap harinya.

Hal ini berimbas pada kerusakan terumbu karang, sampah plastik dan kerusakan ekologi bahari yang disebabkan aktivitas wisata di Maya Bay. Hal ini yang mendasari penutupan Maya Bay oleh pemerintah Kerajaan Thailand.

Sementara aktifitas wisata tetap dapat berjalan dengan ketentuan kapal wisatawan hanya boleh mendekat 300 meter dari bibir pantai.

Enam (6) bulan setelah penutupan, BBC menambahkan, spesies Blacktip Reef Shark (Carcharhinus melanopterus) kembali ke wilayah bibir pantai Maya Bay dan terumbu karang mulai pulih kembali secara alami.

Hal serupa juga rencananya akan diimplementasikan di Taman Nasional Komodo di Manggarai Barat, Indonesia. Per Januari 2020, pemerintah berencana menutup Taman Nasional Komodo untuk segala aktifitas pariwisata.

Hal ini dilandaskan pada dasar bahwa status Komodo sebagai satwa langka, kerusakan lingkungan yang terjadi akhir akhir ini, dan kebutuhan pemulihan kembali Taman Nasional Komodo setelah terpengaruh aktifitas pariwisata.

Namun, dibalik seluruh kisah pemulihan kembali ekosistem yang telah rusak, ada satu pertanyaan besar:

Haruskah aktivitas wisata berjalan kembali setelah ekosistem bahari pulih kembali?

YA. Dengan syarat pariwisata yang berjalan harus selaras dengan konservasi ekosistem laut dan tidak bersifat merusak. Pariwisata HARUS TIDAK merusak, bukan TIDAK HARUS merusak.

TIDAK. Jika aktivitas pariwisata yang berjalan hanya memberikan manfaat ekonomi namun kembali memberikan dampak lingkungan yang negatif.

Say NO to Unsustainable Tourism!

Say YES to Sustainable Tourism!

Editor: AN.

Catatan Editor: Foto utama oleh Greenpeace.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan