Sampah, Restorasi, dan Harapan

Pada bulan Juli hingga Agustus lalu, saya berkesempatan untuk melakukan kerja praktek di salah satu NGO di Bali terkait konservasi wilayah laut, khususnya dengan restorasi terumbu karang buatan.

Kesempatan tersebut menjadi salah satu pengalaman saya yang paling intim dengan laut. Hampir setiap hari selama lebih dari sebulan saya mengerjakan berbagai pekerjaan terkait konservasi terumbu karang dan mendapatkan kesempatan untuk belajar.

Mengutip pembina saya saat itu, “saya mungkin nggak bisa mengajar teori banyak ke kalian, tapi semoga kalian selama disini bisa belajar langsung dari alam”. Dan itulah yang terjadi. Saya melihat, merasakan, dan belajar dari laut dengan seiring berkegiatan, melihat berbagai jenis kehidupan di dalamnya dan mengamati fenomena yang ada.

Pengalaman tersebut juga membuka mata saya terkait realita pahit dari keadaan laut. Selama ini, sudah banyak berita terkait keadaan laut yang sedang tidak dalam keadaan baik, mulai dari berita tumpahan minyak, pemutihan karang, sampah plastik, dan banyak kejadian lain yang diakibatkan oleh kegiatan atau aktivitas manusia.

Walaupun saya mendapatkan akses yang cukup banyak dan mudah terhadap berita – berita tersebut dan cukup paham secara teori mengenai krisis lingkungan terutama dalam laut, tetapi terkadang saya sendiri tidak benar – benar sadar akan apa yang terjadi di lapangan.

Dalam kegiatan kerja praktek yang saya jalani, salah satu tugas saya adalah merawat karang yang ditanam dalam struktur terumbu buatan. Perawatan tersebut mencakup membersihkan karang dari debris dan sampah yang menyangkut, berupa plastik, jaring, bungkus makanan, popok, dan lain – lain.

Sampah
Dalam 1 hari pengerjaan, dapat ditemukan hingga beberapa ratus bongkahan sampah yang menyangkut pada karang. Sampah – sampah tersebut bahkan dapat menumpuk cukup banyak setelah dikumpulkan ke darat sebelum dibuang ke TPA. / Foto: Amadeus Devin

Sampah – sampah ini bila dibiarkan, dapat menghambat pertumbuhan karang dan lama kelamaan membunuhnya. Dalam sekali pengerjaan, sampah yang dibersihkan dari struktur karang dapat menumpuk walaupun hanya dilakukan selama 4-5 jam, dan sampah sejumlah ini secara rutin dibersihkan dari karang, hingga beberapa kali seminggu.

Kejadian ini membuat saya sadar bahwa di bawah birunya laut Pulau Dewata yang nampak jernih, namun terdapat sangat banyak sekali limbah yang mencemarinya. Ini baru satu petak kecil dari pesisir yang masih terlihat relatif baik keadaan airnya. Bagaimana dengan perairan di Teluk Jakarta atau kota – kota besar lainnya yang jelas jelas terlihat tercemar?

Aspek lainnya yang cukup mengejutkan adalah sedikitnya karang alami yang ada. Kawasan seluas sekitar 140 hektar tersebut memiliki sedikit sekali karang alami, padahal menurut warga sekitar dahulunya kawasan tersebut merupakan hamparan terumbu karang yang luas. Namun, akibat aktivitas manusia terutama pembangunan di kawasan pantai serta penambangan karang, maka karang tersebut seluruhnya mati.

terumbu karang
Pada beberapa kawasan di daerah tersebut, sisa – sisa dari karang mati yang sedikit terekspose dari pasir menjadi bukti bahwa dahulu kawasan tersebut merupakan hamparan terumbu karang. / Foto: Amadeus Devin

Kini, hanya sangat sedikit karang alami yang dapat dijumpai di kawasan tersebut, dan bila kita berenang ke arah laut dan menggali sedikit saja pasir di dasar, maka kita masih dapat menjumpai bekas karang mati.

Saat ini upaya restorasi sedang diupayakan dan diusahakan oleh beberapa pihak termasuk masyarakat lokal di wilayah tersebut, namun karena keterbatasan luasan daerah yang sedang direstorasi masih jauh lebih kecil daripada dahulu sebelum dirusak.

Hal – hal diatas menjadi tamparan keras bagi saya akan seberapa nyatanya krisis yang terjadi dalam laut kita. Walaupun kisah saya terdengar sangat kelam dan menyedihkan, namun pengalaman kerja praktik ini juga memberikan harapan bagi saya.

terumbu karang
Coral Garden yang menjadi simbol harapan dan bukti dari upaya restorasi terumbu karang yang berhasil. / Foto: Amadeus Devin

Terdapat sebuah petak kecil dibawah laut yang dinamakan coral garden. Petak ini merupakan beberapa koral – koral (karang) pertama yang ditanam oleh NGO ini 6 tahun lalu. Dan koral – koral pada petak ini berukuran cukup besar dan berwarna – warni dan diramaikan oleh ratusan ikan yang berlalu lalang.

Petak ini menjadi harapan bagi saya, serta bukti bahwa upaya restorasi yang baik akan dapat membuahkan hasil yang signifikan bagi ekosistem.***

Baca juga: Terumbu Karang: Gudang Keanekaragaman Hayati

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan