Sepenggal Cerita Dibalik Keindahan Pulau Aceh dan Sabang
Enam hari lima malam, di penghujung Desember 2017, saya menghabiskan waktu bersama teman-teman di Aceh.
Pulo Aceh
Perjalanan kami menuju Aceh dimulai dari Bandara Soekarno Hatta dan berakhir di Bandara Sultan Iskandar Muda.
Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menyebrang menggunakan kapal kayu dari Pelabuhan Ulee Lheue menuju Pelabuhan Lamteng, Pulau Nasi.
Di sinilah awal cerita kami di mulai, hari pertama tiba di Pulo Aceh tujuan kami adalah mengikuti kegiatan bersih pantai yang diselenggarakan oleh Komunitas Sahabat Laut.
Dari awal saya sudah berekspektasi luar biasa akan keindahan alam laut Aceh yang berada di ujung Barat Indonesia.
Bersama dengan teman-teman dari Sahabat Laut kami bersemangat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan dari mulai briefing hingga pelaksanaan kegiatan.
Ini adalah kali pertama saya mengikuti kegiatan bersih pantai yang dalam bahasa Aceh berarti “Peugleuh Pasie”.
Bertemu dan berkenalan dengan teman-teman Sahabat Laut memberikan kesan tersendiri bagi saya. Mereka semua berasal dari Banda Aceh dan mayoritas adalah aktivis sosial.
Di hari kedua, kami yang berjumlah 22 orang dibagi dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok mendapat bagian lokasi pantai dengan luas 3 meter dan diberikan waktu selama 2 jam untuk dapat mengumpulkan sampah plastik sebanyak-banyaknya.
Setelah sampah plastik terkumpul, kami memilah dan memilih sampah plastik tersebut berdasarkan jenis dan merek.
Tak disangka dan tak terduga, ternyata di daratan Pantai Deudap yang menjadi lokasi bersih-bersih kami banyak sekali ditemukan merek botol plastik yang berasal dari luar negeri seperti Thailand, Maldives, Myanmar, Malaysia, China, bahkan ada juga merek yang berasal dari negara Perancis.
Sampah-sampah itu terbawa ke daratan pantai Indonesia akibat adanya angin musim timur. Mungkin jika tiba angin musim barat sampah itu bisa jadi kembali lagi ke lautan ya huhu…
Foto : Sampah plastik Pulau Aceh |
Teriknya sinar matahari dan panas yang membakar kulit ini tidak melunturkan semangat kami untuk terus melanjutkan kegiatan bersih pantai hingga sore hari tiba.
Botol-botol plastik yang sudah dipilah dan pilih, kami timbang dan menghasilkan berat kurang lebih 90 kg.
Usai berurusan dengan sampah-sampah plastik, saya dan teman – teman lainnya angkat kaki dari Pantai Deudap menuju lampu suar yang jaraknya tidak jauh dari Pantai Deudap.
Awalnya saya biasa saja mendengar istilah lampu suar, dalam hati membatin paling juga hanya tiang listrik yang biasa aja dengan pemandangan laut yang gitu-gitu juga.
Tapi ternyata di balik lampu suar itu tersembunyi keindahan alam yang luar biasa.
Bebatuan yang berjajar membentang lurus menghadap ke lautan luas dan di tengah batuan itu terselip rerumputan hijau yang sungguh menakjubkan mata.
Dari bebatuan itu kami bisa melihat laut yang luas serta Pulau Weh yang nampak terlihat jelas dari view point ini.
Namun lagi-lagi keindahan itu tercemari oleh sampah plastik yang entah dari mana datangnya.
Selanjutnya kami beralih posisi lagi menuju ke Pantai Lhok Mata Ie, tapi sayangnya langit sedang mendung menghalangi matahari untuk menampakkan sinarnya.
Senja di sore itu gagal kami dapatkan, padahal dari pantai Lhok Mata Ie seharusnya senja bisa kami lihat dengan jelas.
Akhirnya kami semua memutuskan untuk pulang dan memilih istirahat di rumah penduduk.
Oh iya, kami tinggal di rumah penduduk yang tidak jauh dari pelabuhan Lamteng. Malam hari kami lanjutkan sesi malam keakraban (makrab) dengan bakar-bakar jagung, karena malam tersebut adalah malam terakhir kami di Pulo Nasi.
Esok harinya, kapal boat kayu dengan ukuran sangat kecil bermuatan kurang lebih 100 orang menjemput kami pukul 08.15 pagi.
Banda Aceh
Kami bergegas menuju pelabuhan yang sudah ramai antri orang akan menyebrang menuju kota Banda Aceh.
Gelombang laut saat itu cukup besar, membuat kapal yang kami tumpangi bergoyang – goyang karena hantaman gelombang laut.
Hingga akhirnya tibalah kami di pelabuhan Ulee Lheue. Di pelabuhan ini kami berpisah bersama teman-teman sahabat laut dan melanjutkan perjalanan kami.
Hari ke-empat dan ke-lima kami menyusuri kota Banda Aceh, menyempatkan diri berkunjung ke tempat kopi yang paling laris di Aceh. Warkop itu bernama Solong Caffe. Kami menikmati kopi sanger (perpaduan kopi robusta dengan susu) yang cara pembuatannya mirip dengan teh tarik.
Tak luput kami juga mengunjugi tempat-tempat bersejarah saksi bisu tragedi tsunami 14 tahun yang lalu.
Bergantian kami mengunjungi Masjid Baiturrahman Aceh, Museum Tsunami, dan PLTD Apung yang bergeser sejauh 5 km akibat gelombang tsunami. Selama di perjalanana menuju tempat-tempat itu, lagi-lagi saya melihat sampah plastik berserakan.
Foto : Kondisi Lapangan Blang Padang |
Ketika saya berjalan mengelilingi lapangan Blang Padang, tidak jarang wisatawan yang meninggalkan sampah plastik begitu saja padahal sudah tersedia tempat sampah berjajar di sepanjang jalan setapak.
Pedagang yang berjualan pun juga sama berperilaku tidak peduli seperti pengunjung yang datang.
Kota Sabang
Next, perjalanan kami di hari berikutnya adalah menuju kota Sabang. Kami harus menyebrang dari Pelabuhan Ulee Lheue menggunakan kapal cepat menuju Pelabuhan Balohan.
Satu jam perjalanan kami tempuh dengan selamat. Dari pelabuhan Balohan kami menggunakan motor menuju Gapang yang menjadi pilihan tempat kami menginap karena tujuan kami adalah mengunjungi pantai Rubiah yang berada tidak jauh dari lokasi menginap kami.
Katanya sih Pantai Rubiah ini memiliki spot snorkeling dan view pemandangan yang sangat indah.
Namun sesaat setelah tiba di tempat penginapan, kami memutuskan untuk berkunjung ke 0 Km Indonesia terlebih dahulu. Siang menjelang sore dan sepertinya view sun set dari atas tugu 0 km akan memanjakan mata.
Walaupun pada akhirnya kami memutuskan untuk tidak bertahan melihat sunset, dan berpindah tempat menuju Pantai Iboih untuk mencari informasi mengenai peralatan snorkeling di Pantai Rubiah.
Foto : Kota Sabang dengan view pantai paradiso |
Esok harinya, jam 8 pagi kami sudah meninggalkan Gapang menuju Kota Sabang untuk melihat keramaian disana.
Sesampainya di Kota Sabang dengan satu jam waktu perjalanan yang kami tempuh dan kondisi jalan yang masih sepi, saya takjub dengan kebersihan kota di sabang.
Hampir saya tidak menemukan sampah berserakan di pinggir jalan layaknya sampah-sampah yang berceceran di sepanjang jalan menuju perkampungan di Gapang.
Ditambah lagi dengan pemandangan indah Pantai Paradiso di sepanjang jalan yang sungguh memanjakan mata dan ingin sekali rasanya menetap tinggal di sana.
Sesekali saya berbincang dengan salah satu tim sahabat kota yaitu Pakde Yusuf, beliau adalah pasukan kebersihan yang berfokus membersihkan kota sabang.
Beliau menjelaskan bahwa untuk saat ini, petugas kebersihan hanya bekerja di Kota saja, sedangkan untuk di dalam perkampungan sedang dalam proses berkembang.
Di sinilah pertanyaan saya terjawab, mengapa di Kota Sabang lebih bersih di bandingkan dengan wilayah perkampungan, karena tidak adanya petugas kebersihan.
Sedangkan sampah-sampah yang ada di perkampungan hanya disediakan container pengangkut yang mungkin hanya berapa pekan sekali saja mengambil sampah-sampah itu dan kemudian di buang ke TPA Lobate yang berada di kota.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Pantai Tiga Sumur dengan melewati perkampungan yang sepi dengan rumah penduduk.
Di sana kami melihat ada tiga sumur peninggalan Jepang yang terletak di pinggir pantai.
Di pinggiran pantai dekat rumah penduduk saya masih menjumpai adanya sampah plastik yang di bakar dan ada juga yang berserakan tanpa seorangpun peduli untuk membersihkannya.
Padahal pantai ini berada dalam satu kawasan tempat wisata di Ujung Timur Sabang.
Well, waktu sudah menunjukkan jam makan siang, perut kami sudah mengkode untuk segera diisi.
Kami memutuskan untuk makan masakan padang yang ada di kota Sabang. Usai makan siang, kami sempatkan diri untuk membeli durian di pinggir jalan karena rasanya kepo sekali dengan nikmatnya durian Aceh.
Foto : view Pantai Rubiah dari Pantai Iboih |
Perut sudah kenyang terisi, tandanya kami siap untuk menjelajah Pantai Rubiah yang menjadi tujuan utama dan akhir perjalanan kami.
Kami bergegas kami menuju Pantai Iboih, awal di mana kami akan menyebrang ke Pantai Rubiah dengan menyewa Kapal speed boat.
Harga semua fasilitas wisata di Pantai Iboih relatif mahal, mungkin karena bertepatan dengan musim libur akhir tahun ya.
Ya sudah biarkanlah menjadi rejeki untuk abang-abang pedagang di sana. Yang penting kami bisa snorkeling melihat ikan dan coral yang dalam ekspektasi kami luar biasa indahnya karena berada di ujung Barat Indonesia.
Oke, sampailah kami di Pantai Rubiah yang ternyata kondisi Pantai itu sangatlah ramai dan kotor.
Wisatawan yang berkunjung kesana tanpa segan dan seenaknya membuang sampah di pinggir pantai.
Bahkan saya melihat ada yang sengaja membuang sampah plastik di tepi pantai.
Sedih rasanya hati ini. Semakin banyak saya menemukan wisatawan yang tidak peduli dengan lingkungan. Padahal tempat sampah cukup banyak tersedia di sekitar mereka.
Foto : kondisi pantai Rubiah |
Baiklah, karena ikan – ikan di dasar laut yang bening itu lebih menggoda mata saya. Tanpa berlama – lama dan tidak memperdulikan panas matahari di siang itu, saya bergegas untuk langsung berenang melihat keindhan underwater di pantai Rubiah dengan segala perlengkapan snorkeling yang saya miliki.
Disana ekspektasi saya sedikit buyar, karena ternyata coral yang ada sudah mati akibat terinjak oleh wisatawan atau mungkin bisa jadi akibat pemutihan karang yang secara alami.
Walaupun memang masih banyak jenis ikan yang berenang-renang disana. Perilaku wisatawan yang tidak peduli dengan sampah plastik yang mereka buang, mengakibatkan saya harus melihat dan mengangkut sampah yang saya temui di sela-sela kegiatan snorkeling saya.
Bahkan di dasar laut yang bening dan indah itu saya melihat masih ada sampah pastik yang mengendap.
Setelah puas bermain air dan pasir di pantai rubiah, saya dan teman – teman memutuskan untuk kembali menyebrang ke pantai iboih untuk menuju ke penginapan karena waktu sudah menunjukkan sore hari.
Demikian pengalaman saya bersama teman – teman menyusuri kota Banda Aceh, Pulo Nasi, dan Sabang.
Ternyata Ujung Barat Indonesia memiliki keindahan alam yang luar biasa indah dan menakjubkan. Walaupun sayangnya masih tercemari oleh sampah-sampah plastik yang sudah menjadi masalah umum di setiap lokasi pariwisata Indonesia.
Seseorang pernah berkata “Jangan pernah meninggalkan apapun, selain jejak kaki”.
Jadi, kemanapun kita pergi jangan pernah meninggalkan sampah dan bertanggungjawablah dengan sampah yang kalian bawa 🙂
Editor : Annisa Dian N
Cerita keindahan pantai dan laut Aceh… pastinya belum lengkap tanpa Pulau Banyak dan Simeuleu — para petualang nusantara… bagi dong ceritanya! Atau nge-trip bareng? 🙂