Hiu Paus si Ikan Raksasa dan Lautan Sampah
Hiu paus biasa disebut dengan hiu totol atau gurano bintang merupakan spesies ikan terbesar di dunia. Di wilayah perairan Taiwan, Rhincodon typus pernah ditemukan dengan berat sekitar 42 ton serta panjang total kurang lebih mencapai 20 meter (Hsu et al, 2014).
Hiu paus ini sering kali dianggap sejenis dengan paus, dimana kenyataannya merupakan jenis dari elasmobranchi atau hiu yang memiliki tulang rawan dan bukan dari jenis mamalia laut. Tidak seperti jenis hiu lainnya, ikan dengan ukuran yang besar ini sumber makanan utamanya ialah plankton yang berukuran sangat kecil seperti copepoda, euphausiidz, dan juga telur maupun larva dari ikan-ikan lain yang melayang-layang di laut. Pernah didapati juga beberapa kali hiu paus memakan ikan-ikan kecil seperti teri, sarden, sotong mapun cumi-cumi kecil (Himawan et al, 2015).
Keunikan dan juga keeksotisan dari hiu paus ini menjadi terancam dikarenakan perubahan iklim serta banyaknya masalah pada perairan yang disebabkan aktivitas antropogenik dari manusia.
Seperti halnya, telah didapati beberapa kali hiu paus ini ditemukan terdampar dan ada juga yang terperangkap tak berdaya pada perairan dangkal.
Di tahun 2019, tepatnya bulan september hingga oktober, banyak hiu paus yang ditemukan terdampar pada beberapa lokasi perairan di Indonesia seperti pada Pantai Padang, Cirebon, Bangka Selatan, dan juga Lumajang, ada juga yang sampai terkurung di perairan Paiton Jawa Timur.
Hingga saat ini, banyak sekali hiu paus yang ditemukan terdampar bahkan sampai dikonsumsi oleh warga seperti di kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Hiu paus ini memiliki habitat pelagis dimana kebiasaannya mencari makan di permukaan laut menjadikannya mudah dijumpai oleh nelayan dan bisa membuatnya tidak dapat berenang kembali menuju perairan hingga terdampar pada pinggiran pantai.
Jumlah dari spesies Rhincodon typus ini semakin berkurang dan langka. Pada tahun 2002 pemerintah menetapkan status CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) hiu paus ke dalam Appendix II dimana artinya perdagangan internasional untuk komoditas ini harus melalui aturan yang menjamin pemanfaatannya tidak akan mengancam kelestariannya di alam.
Di tahun 2016 Hiu Paus masuk dalam Daftar Merah untuk Species Terancam oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan status terancam punah (endangered). Status tersebut satu tingkat lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, tahun 2000 (Vulnerable).
Untuk melindungi hiu paus ini, dibutuhkan perhatian dari seluruh kalangan dikarenakan salah satu dari masalah kelangkaan hiu paus ini ialah sampah mikro plastik yang bisa tertelan serta mengendap di perut hiu paus ini.
Hiu paus memiliki cara makan yang unik yaitu biasa disebut filter feeder, cara makan seperti ini dilakukan dengan menyedot dan menyaring air laut baik di kedalaman maupun di permukaan dengan membuka mulut dan berenang secara perlahan hingga ikan-ikan kecil dan makrozooplankton masuk ke dalam mulut hiu paus (Rowat dan Brooks, 2012).
Air laut yang tersaring akan keluar melalui celah-celah insang di belakang rongga mulut dan juga aliran yang lebih pekat akan langsung masuk ke dalam kerongkongan tanpa melalui proses pengunyahan.
Kebiasaan makan tersebut mengakibatkan hiu paus tidak bisa membedakan target makanannya dan memberikan peluang besar masuknya polutan-polutan perusak lingkungan seperti sampah mikro plastik.
Salah satu contoh disampaikan oleh Abreo dkk (2019) telah melaporkan adanya sampah plastik yang ditemukan di dalam perut hiu paus. Sampaio dkk (2018) juga melaporkan adanya temuan sampah mikro plastik di dalam larva kepiting Geryonidae dimana banyak dari hiu paus yang mengkonsumsi larva kepiting tersebut dilandas kontinental di lepas panai Bahia yang dekat anjungan gas.
Bahaya dari sampah-sampah mikro plastik yang terhisap oleh hiu paus bisa menyebabkan keracunan dan juga kematian. Menurut Parton dkk (2019), tidak hanya hal tersebut, banyak juga kasus kematian hiu paus yang ditemukan akibat adanya sampah antara lain, jeratan sampah yang banyak terjadi di Samudra Atlantik. Sampah-sampah penjerat ikan tersebut merupakan sisa-sisa jaring polipropilen, plastik, dan juga ban karet.
Dengan banyaknya kasus sampah plastik yang ada dilaut sehingga menjadi permasalahan yang sering dijumpai pada keberlangsungan hidup hiu paus dan menyebabkan kelangkaan serta menuju kepunahan biota tersebut, gerakan bersama dalam mengurangi sampah plastik di laut semestinya menjadi langkah yang tepat.
Langkah ini harus terkoordinir agar dapat memunculkan gerakan yang serentak antarnegara dikarenakan biota laut seperti hiu paus ini dapat dengan mudah bermigrasi dari satu perairan menuju perairan lainnya.
Kerjasama antarnegara serta antardaerah menjadi kunci penting dalam melindungi biota tersebut agar habitat hiu paus dan juga biota lainnya terjaga dan lestari.***
Baca juga: Kerang Hijau si Penyelamat Air Laut, Benarkah?
Sumber : KKP.go.id, Researchgate.net
Tanggapan