Perjuangan 5 Tahun Mendengungkan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa
Apa yang pertama kali terpikir bila mendengar kata Bali? Pasti ada terbesit akan panorama pantai dan keindahan lautnya. Banyak hotel dan restoran yang mudah sekali ditemukan di sekitar area pantai.
Hal ini menunjukkan pantai Bali mengalami kemajuan dibidang pariwisata yang akan menambah pendapatan negara. Namun, siapa sangka saking pesatnya pembangunan destinasi wisata berakibat pada penyempitan lahan konservasi. Ya! Penyempitan lahan konservasi ini hampir terjadi di Teluk Benoa.
Mengapa harus Teluk Benoa?
Sekilas informasi, Teluk Benoa terletak di wilayah Bali selatan yang dikelilingi beberapa pulau, yakni Pulau Bali, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan, dan Pulau Menjangan.
Teluk Benoa merupakan salah satu wilayah konservasi dan sudah banyak memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Ditambah lagi Teluk Benoa juga memiliki hamparan hutan mangrove, ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan dataran pasang surut.
Teluk Benoa juga pernah dijadikan tempat penangkaran penyu (khususnya spesies penyu hijau) serta sebagai tempat penetasan telur penyu.
Kedamaian di Teluk Benoa mulai terusik semenjak pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tentang perubahan atas Perpres Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA) yang mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum.
Intinya peraturan ini dibuat untuk mereklamasi Teluk Benoa dengan dalih pengembangan perekonomian Bali dengan pemanfaatan sumber daya lahan. Secara sederhana, reklamasi dapat diartikan kegiatan penimbunan di sekitar pesisir dan laut untuk mendapatkan lahan kering yang nantinya akan digunakan untuk melakukan pembangunan.
Coba perhatikan kembali area di sekeliling Teluk Benoa. Terdapat Pelabuhan Benoa, Airport Ngurah Rai, resort, bungalow, restoran, dsb. Dikarenakan berbagai macam pembangunan di sekeliling teluk mengakibatkan penyempitan lahan konservasi.
Tidak hanya itu, pembangunan Jalan Tol Nusa Dua Denpasar yang juga telah membelah Teluk Benoa. Dengan kepungan perluasan infrastruktur dari berbagai arah tidak dapat dipungkiri bila sewaktu-waktu Teluk Benoa akan dialih fungsikan sebagai lahan pembangunan.
Positif Negatif Reklamasi
Jika dilihat dari sisi positif, reklamasi dapat memberikan manfaat, diantaranya:
- Membantu dalam penyediaan lahan untuk melanjutkan pengembangan infrastruktur.
- Penataan daerah pesisir yang lebih terkoordinir.
- Pengembangan destinasi wisata.
- Membuka lebih banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat Bali.
Selain dampak positif, tentunya ada dampak negatif dari reklamasi bahkan bisa saja lebih dominan terlihat sisi negatif dibandingkan sisi positif. Dampak negatif dari reklamasi, diantaranya:
- Mengganggu keseimbangan ekosistem Teluk Benoa, yakni ekosistem hutan mangrove dan biota laut yang ada di areal teluk.
- Peninggian permukaan air laut yang berpotensi dapat menenggelamkan permukiman di sekitar Teluk Benoa atau bahkan menghambat pembangunan fasilitas yang sedang berlangsung.
- Kerusakan terumbu karang akibat sendimentasi Teluk Benoa.
- Berkurangnya fungsi sebagai tampungan banjir dari 5 sub-DAS (Daerah Aliran Sungai): DAS Badung, DAS Mati, DAS Tuban, DAS Bualu, serta DAS Sama.
- Adanya kerentanan terhadap bencana, seperti tsunami.
- Memperparah abrasi pantai.
- Berkurangnya luasan wilayah tangkap ikan.
- Kehilangan wilayah konservasi yang sekaligus menjadi paru-paru bagi kehidupan yang ada di Teluk Benoa.
Bagaimana ini? Mengapa reklamasi yang dianjurkan malah condong memberikan dampak negatif?
Investor Untung, Rakyat Buntung
Dalam perencanaan oleh PT Tirta Wahana Bali International (PT TWBI) selaku pengembang proyek, reklamasi akan menghabiskan lahan seluas 700 hektar. Hal ini menjadi sorotan bagi Forum Rakyat Bali (ForBALI) yang mulai merasakan keganjilan.
Menurut ForBali, pemerintah dan investor telah menyebarkan berita bahwa di Teluk Benoa terjadi pendangkalan dan sendimentasi tanpa penjelasan lebih lanjut terkait kedua peristiwa tersebut.
Ditambah pula solusi yang ditawarkan dianggap kurang adanya partisipasi dari masyarakat yang artinya keputusan dibuat secara sepihak.
Reklamasi ini rencananya akan mendatangkan 40 juta meter kubik material baru dari luar teluk yang dinilai justru akan berakhir pada pendangkalan permanen.
Bukan tanpa alasan masyarakat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa. Selain merusak ekosistem dan lingkungan pesisir, beberapa titik di Teluk Benoa masih dianggap kawasan suci.
Masyarakat Bali telah menilai bahwa Perpres Nomor 51 Tahun 2014 memang pro investor lantaran terlihat sekali peraturan ini dipaksakan sehingga masyarakat lokal dirasa tidak berhak atas wilayah yang mereka tempati.
Suara Rakyat Disembunyikan, Demokratiskah?
Belum usai drama negosiasi untuk mencabut Perpres Nomor 51 Tahun 2014, masih ada sekeping peristiwa saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Bali pada tahun 2016. Aparat keamanan selevel TNI meminta warga supaya menurunkan baliho Bali Tolak Reklamasi (BTR).
Apa maksud dari aparat ini meminta hal demikian? Bukankah masyarakat berhak bersuara atas pulau mereka?
Ketidakadilan yang amat menonjol, baliho BTR merupakan media masyarakat Bali untuk menumpahkan segala opini mereka agar dilihat dan terdengar hingga pemerintah pusat.
Banyak pertanyaan yang timbul karena kejadian seperti ini, mulai bertanya-tanya apa benar negara ini menerapkan sistem demokrasi.
Jika benar adanya demokrasi tidak mungkin aparat keamanan akan berdebat dengan masyarakat yang membela hak mereka, itu bisa masuk dalam pelanggaran HAM.
Ending Pro Rakyat
Sebagai solusi dari penolakan reklamasi Teluk Benoa, Gubernur Bali, Wayan Koster mengirim surat usulan kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi Perpres Nomor 51 Tahun 2014 serta membuat kesepatakan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tidak mengeluarkan izin reklamasi.
Setelah tindakan Gubernur Bali, bertepatan pada tanggal 25 Agustus 2018 masyarakat Bali akhirnya bisa menarik napas lega karena PT. TWBI tidak dapat memperpanjang izin lokasi alias rencana reklamasi Teluk Benoa gagal. Namun, masyarakat harus tetap waspada dengan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 karena belum terdengar adanya revisi.
“Komunikasi menjadi pilar utama, kita yang bediri di atas negara demokrasi harus menyepakati segala keputusan bersama. Pengembangan infrastruktur memang penting, tapi akankah manusia serakus itu? Hingga semua tempat ingin dibetonkan.”
Laut sehat dengan masyarakat cerdas!***
Baca juga: Konservasi: (Bukan) Basa-Basi?
Editor: J. F. Sofyan
Sumber: www.forbali.org; mongabay.co.id; satuharapan.com
keren!