PNBP Pascaproduksi Perikanan: Efektif atau Kontradiktif?
Ditetapkannya Permen KP No. 2 Tahun 2023 tentang persyaratan dan tata cara pengenaan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam perikanan, sesuai dengan prinsip ekonomi biru (blue economy) yang bertujuan agar sumber daya ikan dan ekosistem laut terkelola secara berkelanjutan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan PNBP, pungutan hasil perikanan pasca-produksi harus dibayar ke kas negara. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi sampai dengan jatuh tempo, maka akan dikenakan denda administrasi.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa urgensi perubahan PNBP yang semulanya dari pra-produksi menjadi ke pasca-produksi untuk mencegah terjadinya over fishing.
Dengan mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pemilik kapal, KKP menetapkan PNBP pasca-produksi. Pungutan hasil penangkapan ikan (PHP) sekarang dibayar berdasarkan volume produksi ikan nyata setelah pelaku usaha melakukan usaha penangkapan ikan.
Dalam mekanisme sebelumnya, PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dipungut secara pra-produksi, yaitu membayar PHP sebelum memulai usaha penangkapan ikan untuk tahun berikutnya.
Setelah ditetapkannya Permen KP 85/2021, telah terjadi perubahan mekanisme pungutan. Dalam mekanisme pasca-produksi, penarikan PNBP disesuaikan dengan volume ikan yang diberikan, dengan bonus pengurusan surat izin penangkapan ikan (SIPI) tanpa dikenakan biaya.
Selain itu, Kapal dengan kapasitas lebih dari 60 gross ton (GT) harus membayar biaya pungutan pasca produksi 10% Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dilansir dari Jaring.id, koordinator FNB atau yang biasa dikenal dengan Front Nelayan Bersatu Kajidin, menyatakan bahwa akan memberikan penolakan terhadap kebijakan dari PIT.
Kejadian ini dimulai dari kedatangan KKP secara langsung yang meminta klarifikasi mengenai pembayaran PNBP pasca-produksi kepada pemilik kapal dengan “gertakan” bahwa akses izin kapal akan dicoret. Hal ini menjadikan Eko, Koordinator Paguyuban Nelayan Mitra Sejahtera menjadi naik pitam dengan sikap dari KKP yang seolah-olah memaksa para nelayan memberikan dukungan secara penuh terhadap sistem kuota penangkapan ikan.
“Kami terancam tidak dapat kuota, kuota nanti akan diisi pemain baru. Siapakah pemain baru? Apakah pemain asing?,” Kata Eko.
Perspektif mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan sebagai agen of change dalam sustainable development, menerapkan PNBP pasca-produksi memberikan beberapa pro dan kontra. Penerapan PNBP dinilai pro dikarenakan dapat mendukung program penangkapan ikan terukur yang masuk pada SDGs ke-14 “Live Below Water” dengan misi utama untuk melestarikan serta memanfaatkan sumber daya laut secara sustainability atau berkelanjutan.
Program Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota merupakan salah satu upaya dalam mendukung kelestarian ekosistem laut serta menjaga eksploitasi penangkapan ikan berlebih.
Jika tidak dari sekarang, mau sampai kapan laut dijajah? Apakah generasi millenial dengan prinsip sustainable development kian dapat menjadikan laut menjadi suci dan murni kembali? Pertanyaan tersebut dapat menjadi bumerang dalam prinsip keberhasilan PNBP pasca-produksi.
Sementara itu, kontra dari penerapan PNBP pasca-produksi ialah terjadinya amukan dari masyarakat terhadap KKP yang menjadikan masyarakat meninggalkan profesinya sebagai nelayan.
Peralihan profesi mengakibatkan minimnya aktivitas penangkapan ikan oleh masyarakat Indonesia dan hal ini dapat mengakibatkan kekosongan sebagian perairan Indonesia yang kemudian diisi oleh KIA (Kapal Ikan Asing).
Dengan demikian, banyaknya potensi kapal asing yang mengeksploitasi laut Indonesia menjadikan klaim sepihak dari negara lain terhadap sebagian laut Indonesia. Selain itu, hilangnya kepercayaan dan respect masyarakat terhadap pemerintah dapat mengakibatkan tidak dipercaya dan tidak diimplementasikannya program kerja dengan konsep “keberlanjutan” yang dicetuskan oleh KKP.
Regulasi ini pada dasarnya dilakukan pemerintah untuk keberlangsungan kegiatan perikanan tangkap yang lebih teratur, tetapi pada penerapannya pro kontra tentunya menjadi bahan perdebatan untuk bagaimana menajamkan kebijakan menjadi lebih tepat.
Maka dari itu, perlu adanya beberapa upaya seperti pendekatan dari pemerintah kepada masyarakat nelayan agar regulasi tidak bersinggungan dan mendapat respon negatif dari masyarakat, perlunya pemahaman dan analisis terlebih dahulu terhadap budaya nelayan dan pemilik kapal agar perubahan dapat tersampaikan dengan baik, serta perlu ada pendampingan nelayan untuk manajemen perikanan yang menjembatani informasi maupun aspirasi dari masyarakat nelayan.
Tentunya hal ini perlu ditopang kesiapan infrastruktur dan pengawasan memadai karena sejumlah celah pelanggaran masih berpotensi terjadi.***
Baca juga: Hari Perikanan Sedunia: Stok Ikan Menipis, Wilayah Tangkap Terdampak Industri, dan Ketidakadilan Antara Nelayan dengan Industri Perikanan
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan