Hari Perikanan Sedunia: Stok Ikan Menipis, Wilayah Tangkap Terdampak Industri, dan Ketidakadilan Antara Nelayan dengan Industri Perikanan

hari perikanan sedunia sangihe

Momentum Hari Perikanan Sedunia tahun 2023 tampaknya tidak menggambarkan situasi yang baik-baik saja bagi nasib komunitas-komunitas nelayan kecil yang ada di berbagai belahan di dunia.

Bagi komunitas nelayan kecil Sangihe Indonesia, Chana Thailand, dan Senegal mereka tengah menghadapi pelbagai persoalan yang mengancam ketahanan pangan dan mata pencaharian mereka sebagai nelayan.

Di Indonesia, Desmon Sondakh, nelayan tradisional yang tinggal di Kampung Bulo, Sangihe sebagaimana dikutip dari siaran pers Greenpeace Asia Tenggara mengutarakan keresahannya terkait stok ikan yang kian menipis di pesisir yang sudah nyata dirasakannya, serta persaingan ruang tangkap dan alat tangkap ilegal yang mengepung wilayah tangkap nelayan kecil yang belum diatur dengan adil oleh pemerintah.

Komunitas nelayan, pemuda Sangihe, dan aktivis Greenpeace Indonesia menyuarakan keadilan laut, perlindungan laut, dan penolakan tambang emas di Kepulauan Sangihe pada 21 November 2023. / Foto: Stenly Pontolawokang/Greenpeace

“Untuk menangkap ikan, kini kami harus melaut lebih jauh karena perairan sekitar sudah didominasi oleh alat tangkap ilegal. Hal ini juga yang menyebabkan stok ikan di sekitar sini semakin menipis. Pemerintah hampir tidak melakukan apa pun untuk mengaturnya,” kata Desmon.

Di Chana, Thailand, komunitas nelayan menegaskan perjuangannya untuk melindungi wilayah laut yang menjadi wilayah tangkap nelayan dari kehadiran industri besar yang mengancam kesehatan laut dan ketahanan pangan.

“Selama bertahun-tahun masyarakat Chana berjuang melawan kawasan industri besar yang mengancam laut yang menjadi sumber pangan dan mata pencaharian kami. Kami berhasil menundanya, namun kami akan terus berjuang sampai kami yakin rumah dan pekerjaan kami aman,” kata Khaireeyah Ramanyah, seorang aktivis pemuda dari distrik Chana, Thailand.

Di Senegal, komunitas nelayan kecil terus berjuang menuntut keadilan dan mendorong kepada pemerintah untuk dihadirkannya komitmen bersama antara pelaku perikanan skala kecil dengan perusahaan industri perikanan untuk penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Perempuan nelayan memegang mangkuk labu tradisional yang kosong sebagai simbol untuk menyoroti dan melawan penangkapan ikan yang berlebihan dan industrialisasi pesisir serta menuntut tindakan pemerintah. / Foto: Clement Tardif / Greenpeace

“Kami terus memantau terhadap kapal pukat yang mencuri ikan kami. Namun kita juga memerlukan peran pemerintah,” kata Ndiaga Cisse, seorang nelayan dari Mbour, Senegal.

Komunitas nelayan dari 3 negara tersebut didukung oleh Greenpeace Asia Tenggara, Greenpeace Afrika, dan Greenpeace Internasional menyuarakan aspirasinya dalam momentum Hari Perikanan Sedunia dengan mengirimkan surat kepada pemimpin di tiap negaranya untuk menuntut perlindungan terhadap wilayah perairan penangkapan ikan tradisional masyarakat serta hak untuk mengelola wilayah pesisir agar berkeadilan bagi komunitas nelayan.

Khaireeyah Rahmanyah, seorang aktivis perempuan muda Chana, bersama perwakilan komunitas Chana serta koalisinya, membacakan surat terbuka kepada pihak berwenang. Surat tersebut menuntut komitmen untuk melindungi laut Thailand dan mendukung kawasan perlindungan laut yang dipimpin oleh masyarakat. / Foto: Roengchai Kongmuang/ Greenpeace

“Jika ekosistem laut sehat dan kita memiliki kekuatan untuk melindunginya dari aktivitas bisnis yang merusak, kita tidak hanya melindungi masa depan pulau (Sangihe) ini, namun juga memastikan kehidupan yang berkualitas bagi generasi masa depan kita,” kata Desmon.

“Itu sebabnya tahun lalu saya mengikuti kegiatan di New York untuk menyerukan Perjanjian Laut. Saya bertemu orang-orang yang telah berjuang seperti saya dan menyadari bahwa saya tidak sendirian. Tidak hanya laut Chana tetapi seluruh lautan memerlukan perlindungan. Satu hal yang harus dilakukan adalah agar pemerintah meratifikasi Perjanjian Laut, sehingga kita dapat memiliki peraturan yang melindungi laut, pangan, dan masyarakat pesisir,” kata Khaireeyah Ramanyah.

“Nelayan di Thailand dan Indonesia mempunyai permasalahan serupa. Jadi kami semua berusaha mengontrol perairan kami. Di sini, di pesisir, pemerintah harus mendukung kawasan konservasi laut, dan untuk melindungi ikan di lautan, mereka harus mendukung Perjanjian Laut,” kata Ndiaga Cisse.***

Baca juga: Nelayan Sangihe, Ikan Dikepung Rumpon, Laut Diracun Tambang

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan