Laut dan Pesisir Bukanlah Tempat Tanpa Hukum

Luasnya wilayah laut merupakan aset besar yang menjadi sumber kekayaan alam, energi, pangan, jalur transportasi antar pulau, wilayah perdagangan, serta wilayah pertahanan dan keamanan. Sayangnya,  hal ini tidak dibarengi dengan pemantauan dan penegakan hukum yang memadai, sehingga menimbulkan kenyataan yang menyedihkan bagi banyak aktivitas laut. Termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di laut. HAM di laut sudah diakui secara luas. Namun, realitanya tidak berjalan selaras. Pertanyaan mendesaknya adalah bagaimana melindungi hak asasi manusia di laut dan pesisir?

Saat ini, perlindungan hak asasi manusia di laut menjadi isu yang semakin mendesak. Pengelolaan sumber daya dan aktivitas di laut sangat erat kaitannya dengan aspek HAM, mulai dari  keselamatan pelayaran, larangan perbudakan dan penyelundupan manusia, hingga perlindungan hak-hak nelayan. Berkaca pada aspek-aspek tersebut,sejatinya peraturan hukum baik tingkat nasional maupun internasional seharusnya sudah dijalankan. Namun, nyatanya pemenuhan HAM  di laut masih sangat minim.

Implementasi HAM di laut selama ini lebih banyak berfokus pada perlindungan laut dibandingkan dengan manusia. Hal tersebut dikarenakan sifat pengawasan negara yang terbatas, terlebih di daerah laut lepas yang pada dasarnya tidak dimiliki oleh siapapun, termasuk negara. Pengawasan yang terbatas mengakibatkan aktivitas di laut menjadi lahan subur bagi pelanggaran HAM, termasuk perdagangan manusia, pelecehan di atas kapal, migrasi illegal dan perbudakan. Banyaknya fenomena pelanggaran HAM di Laut digambarkan sebagai “kebutaan laut” yang mengacu pada kecenderungan mengabaikan apa yang terjadi di laut karena jauh dari sorotan media dan darat.

Kerja paksa adalah bentuk perbudakan modern yang banyak terjadi di kapal penangkap ikan. Hal ini terjadi ketika seseorang diperdagangkan untuk menduduki posisi kru tanpa adanya perjanjian kontrak untuk melindungi hak-hak mereka. Para pekerja juga dipaksa bekerja di luar jam kerja secara berlebihan dan mendapatkan upah yang rendah. Sayangnya, pembatasan jam kerja pelaut sulit untuk dipastikan, karena waktu pelaut yang dihabiskan penuh di kapal dan tidak ada “akhir pekan” bagi para pelaut. Selain itu, perdagangan migran juga sangat sering terjadi.  Kelompok migran yang diperdagangkan biasanya adalah kelompok rentan. Ketegangan geopolitik antar negara memungkinkan perdagangan manusia yang melibatkan eksploitasi kelompok rentan. Mereka berniat mencari kehidupan yang lebih baik namun pada akhirnya dipaksa menjadi korban eksploitasi termasuk penindasan dan pelecehan seksual di atas kapal.

Pelanggaran HAM di pesisir pun tidak luput dari isu yang perlu diperhatikan. Di Indonesia sendiri, masyarakat pesisir masih jauh dari kesejahteraan. Nelayan harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Selain itu, nelayan juga harus bisa mencari alternatif untuk menunjang perekonomian mereka. Nelayan perlu mengelola hasil laut yang diperoleh secara berkelanjutan, tidak eksploratif dan memberikan nilai tambah yang tinggi untuk menutupi biaya operasional yang dikeluarkan. Eksploitasi sumber daya laut dan peningkatan emisi karbon juga terus memperburuk keadaaan lingkungan laut. Perubahan iklim akhir-akhir ini menjadikan tinggi permukaan air laut semakin naik dan gelombang badai, yang memaksa masyarakat pesisir meninggalkan rumah mereka dan mencari nafkah di tempat lain dengan dukungan finansial minim. Padahal lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman merupakan hak asasi manusia yang universal.  Hal lainnya adalah dampak dari arpermintaaan makanan laut yang murah juga menyebabkan penangkapan ikan yang memaksa nelayan melakukan perjalanan lebih jauh untuk mencari stok ikan yang layak atau menggunakan kapal penangkap ikan ilegal di mana mereka terpaksa menerima sedikit atau bahkan tanpa bayaran.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wadah negara-negara di dunia dalam memelihara perdamaian dan keamanan intenasional pada tahun 1982 telah menetapkan United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS)  atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut disebut juga sebagai Hukum Perjanjian Laut. Dalam konvensi tersebut telah diatur mengenai pengelolaan sumber daya dan aktivitas laut secara komperehensif. Namun, konvensi tersebut hanya berfokus pada lingkungan laut dan tidak secara khusus ditujukan untuk melindungi hak-hak individu. Hal lainnya adalah UNCLOS dinilai tidak lagi relevan untuk isu terkini karena tidak mencerminkan permasalahan yang belum muncul pada saat penyusunannya di tahun 1982.

Pada tahun 2019 beberapa Lembaga swadaya dan ahli hokum internasional merancang Menyusun “Geneva Declaration of Human Right at Sea” atau Deklarasi Jenewa tentang Hak Asami Manusia di Laut. Deklarasi Jenewa tersebut dirancang sebagai respons terhadap banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di laut secara global yang bertujuan untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia di laut. Deklarasi ini menegaskan empat  prinsip fundamental, yaitu: 1) HAM bersifat universal dan berlaku di laut sebagaimana berlaku di  darat;  2)  Setiap  orang  di  laut  berhak  mendapatkan  pelindungan  HAM  tanpa pengecualian;  3)  Tidak  terdapat  alasan  khusus  apapun  di  bidang  kemaritiman  untuk menyangkal  pelindungan  HAM  di  laut;  dan  4)  Setiap  HAM  yang  diatur  berdasarkan perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional harus dihormati di laut

Banyaknya pelanggaran HAM di laut terjadi bukan hanya karena lemahnya peraturan. Namun kurangnya kesadaran dari setiap individu bahwa hak asasi manusia bersifat universal dan hak asasi manusia tersebut juga berlaku di laut sama seperti yang berlaku di darat. Laut bukanlah tempat tanpa hukum dan penerapan hak asasi manusia seharusnya tetap ditegakkan. HAM di laut bukan hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan negara tetapi untuk melindungi hak-hak jutaan orang yang hidup, bekerja, dan melakukan perjalanan melintasi lautan dan samudera di dunia.  Perlu ada tindakan pemantauan dan pendataan yang lebih baik tentang HAM di laut, juga menciptakan penegakan HAM yang efektif di laut.

Hal ini dapat dicapai dengan penegakan perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif mengatur mengenai peraturan kerja kru kapal hingga pengaturan upah yang sesuai. Sedangkan perlindungan hukum represif memberikan hukuman bagi siapapun yang melanggar. Hal lainnya yang dapat dilakukan yaitu memperluas penggunaan teknologi untuk memantau kegiatan laut seperti pembajakan, illegal fishing dan sebagainya.***

Artikel Terkait

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan