Menyelami Keindahan dan Tantangan Konservasi di Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang

Kapoposang bukan hanya miliki hari ini – ia adalah warisan surga bawah laut untuk generasi yang akan datang.
Perairan di Pulau Kapoposang dan laut sekitarnya menawarkan panorama bawah laut yang indah dan memiliki ekosistem perairan yang kompleks, sehingga mendukung tingginya keanekaragaman hayati di daerah ini. Tipe ekosistem yang ada di perairan Pulau Kapoposang sangat lengkap, menjadikan Pulau Kapoposang sebagai salah satu tipe perwakilan terumbu karang tepi/datar, lamun, dan mengrove di Sulawesi. Potensi ini bermanfaat sebagai gudang dari plasma nutfah, nursery ground (daerah asuhan), spawning ground (daerah berbiak), dan feeding ground (daerah mencari makanan) bagi flora dan fauna, serta sebagai penyerap karbon alami. Keanekaragaman jenis flora dan fauna di daerah ini terbilang cukup tinggi mencapai 55% hingga 70% dari tingkat keterwakilan spesies. Kehadiran spesies laut ini menandakan bahwa perairan ini masih cukup sehat untuk mendukung kelangsungan hidup organisme laut, terlebih untuk megafauna laut yang membutuhkan ruang jelajah luas dan habitat yang relatif tenang. Dengan keragaman hayati tersebut, TWP Kapoposang tidak hanya penting bagi kelestarian lingkungan, melainkan juga memiliki nilai ekologi yang sangat besar sebagai regenerasi dan penyangga kehidupan laut di wilayah Sulawesi Selatan. Hal inilah yang mendasari Pulau Kapoposang menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) sejak tahun 2009, sekaligus berperan sebagai kawasan pengembangan kegiatan wisata bahari berbasis konservasi.
Meskipun TWP Kapoposang memiliki kekayaan hayati yang luar biasa, ekosistemnya masih menghadapi berbagai tekanan sehingga dapat mengganggu keseimbangannya. Ancaman-ancaman ini datang dari aktivitas antropogenik maupun perubahan lingkungan yang terjadi secara alami. Sebagian besar daerah di Pulau Kapoposang memilliki penduduk (berpenghuni) dengan mata pencaharian warga setempat adalah nelayan. Aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom ikan atau penggunaan jangkar di daerah terumbu karang yang merusak terumbu karang pernah terjadi. Juga, faktor aktivitas wisata yang tidak terkelola dengan baik menjadikan para penyelam yang tidak terlatih bisa merusak karang. Hal ini dilihat dari kondisi terumbu karang dan persentasi karang hidup di daerah ini pernah mencapai 48,53% saja pada tahun 2010an awal. Meskipun sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan bergantung pada sumberdaya laut, masih ada tantangan dalam membangun kesadaran ekologis. Tanpa pemahaman tentang pentingnya menjaga ekosistem, eksploitasi sumberdaya masih bisa terus terjadi secara tidak berkelanjutan.
Konservasi berasal dari kata con yang berarti bersama dan servare yang berarti menjaga, melindungi, dan melestarikan, sehingga dalam konteks ekologi, konservasi merujuk pada usaha sistematis untuk melindungi, memelihara, dan mengelola sumberdaya alam agar tetap lestari dan dapat terjaga ketersediaanya. Hal ini selaras dengan konsep pengelolaan wisata di TWP Kapoposang yaitu pelestarian lingkungan berbasis masyarakat dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah ekologi, nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat, serta sesuai dengan daya dukung yang ada.
TWP Kapoposang yang terletak di Kawasan Spermonde, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, menjadi lokasi potensial untuk dikembangkan. Peran pemerintah setempat sangat mempengaruhi pengembangan daerah ini, juga kolaborasi lintas sektor dari masyarakat lokal, akademisi, hingga organisasi lingkungan (NGO) dapat mendukung upaya pelestarian ekosistem di daerah ini. Kapoposang sendiri memiliki daya dukung tambahan dari aspek ekologis dan aspek estetika pada sektor wisata sebagai penggerak ekonomi lokal. Nilai ekologis di sini memiliki potensi pengembangan ekonomi lokal melalui keanekaragaman hayati di daerah asosiasi kehidupan bawah laut, sehingga dapat membantu peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Sementara itu, nilai estetika menjadi daya tarik objek wisata bahari, sehingga di satu sisi pengembangan dan pelestarian ekosistemnya dapat berjalan secara harmonis baik dari segi investasi usaha, pendidikan, dan penelitian.
Sayangnya, hingga saat ini, TWP Kapoposang masih berada dalam tekanan akibat keterbatasan infrastruktur dan kurangnya tata kelola yang baik. Tentunya, hal ini menjadi suatu peluang dan tantangan bagi daerah setempat karena suatu pengelolaan yang suistainable secara ekologis dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Hal ini mengakibatkan pengembangan ekonomi hampir sulit dilakukan jika hanya mengandalkan kemampuan pulau untuk mengembangkan dirinya (self suffiency), sehingga diperlukan adanya dorongan (big push) dan kepedulian (good political will) dari pihak luar, khususnya dunia usaha (investor). Oleh karena itu, melalui kerjasama lintas sektor, diharapkan nantinya Kapoposang bukan hanya dapat dipertahankan sebagai kawasan konservasi, tetapi juga sebagai contoh keberhasilan dari pengelolaan keberlanjutan suatu pulau.
Tanggapan