ABK Indonesia Diperbudak di Kapal Asing, Salah Siapa? Iming-Iming Gaji Tinggi Mencapai 400 US Dollar Per Bulan
ABK Indonesia diperbudak kapal asing ?
Istilah “perbudakan di laut” barangkali bisa membuat beberapa orang mengernyitkan dahi saat mendengar atau membacanya.
Sebagian mungkin heran, dalam peradaban manusia dengan teknologi sedemikian maju, apa iya masih ada praktik perbudakan?
Sebagian lain bisa jadi tak percaya, sesederhana karena praktik ini tak terlihat sebab terjadi di laut lepas.
Tapi faktanya, perbudakan di laut berlangsung bahkan saat Anda membaca tulisan ini.
Beberapa pekan lalu saya mengikuti sebuah diskusi daring yang pembicaranya sejumlah perwakilan serikat pekerja laut.
Diskusi tersebut mengarah pada desakan bagi negara-negara yang terlibat dalam rantai produksi makanan laut global agar lebih melindungi hak para pekerjanya, termasuk para ABK.
Di antara nama-nama negara yang disebut adalah Amerika Serikat sebagai salah satu konsumen seafood terbesar di dunia, serta Taiwan, Cina, dan Korea Selatan sebagai negara-negara yang memiliki kapal penangkap ikan.
Saat sesi tanya jawab, seorang partisipan bertanya, “Kita dari tadi membahas bagaimana negara-negara besar memperbudak ABK kita. Tapi apakah mungkin ini juga kesalahan kita sendiri karena ‘kita’ yang bekerja di kapal-kapal itu?”
Wah, pendapat yang menarik. Tapi problematik.
Jika “kita” yang dimaksud adalah negara Indonesia dan pemerintah sebagai subjeknya, maka saya setuju.
Namun jika yang disalahkan adalah para ABK sendiri, kenapa mereka menyerahkan diri bekerja di kapal asing dan diperbudak selama melaut, saya rasa argumen tersebut perlu didebat.
Untuk mengawali, Anda perlu tahu bahwa menurut sebuah perusahaan riset pasar dan konsumen asal AS, Statista, industri perikanan global memiliki nilai mencapai US$ 159,31 miliar di tahun 2019.
Nilai tersebut diproyeksikan meningkat hingga US$ 194 miliar pada 2027.
Angka tersebut sudah cukup menggambarkan bagaimana para produsen makanan hasil tangkapan laut kian meningkatkan produksi guna memenuhi permintaan pasar dan meraup keuntungan lebih banyak.
Mereka melaut lebih jauh demi menjangkau lebih banyak ikan, menggunakan alat tangkap yang lebih masif, serta menjalankan strategi-strategi yang bisa menekan biaya operasi seperti melakukan praktik transshipment (pemindahan hasil tangkapan di tengah laut) dan mencari tenaga kerja murah.
Namun laut bukanlah sumber tak terbatas. Sebuah laporan FAO pada 2018 menyebut bahwa stok ikan sudah berkurang sebesar 33% akibat penangkapan yang berlebihan atau overfishing.
Dari seluruh permukaan laut di bumi, hampir sebagian besar sudah terjamah praktik overfishing dan 60% di antaranya sudah di titik kritis.
Sekarang mari kita kembali menengok ke dalam negara sendiri. Sampai hari ini pemerintah belum punya angka pasti jumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan milik asing.
Jika ditelisik alurnya, para ABK dapat bekerja di kapal-kapal asing setelah mendaftar dan mendapatkan penempatan dari perusahaan agen penyalur atau manning agency.
Sayangnya, tak semua manning agency di Indonesia punya izin untuk menyalurkan ABK ke kapal ikan.
Sehingga yang terjadi adalah perekrutan yang tidak etis serta pengiriman ABK tanpa pelatihan yang cukup.
Namun, berkat iming-iming gaji tinggi mencapai US$ 400 per bulan dan akibat terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri, lowongan pekerjaan ABK tetap banyak diminati.
Di lokasi kerja, beragam kekerasan mendera bahkan hingga menyebabkan kematian. Penyebabnya antara lain budaya kerja eksploitatif, kendala komunikasi akibat perbedaan bahasa, dan diperparah dengan ketidaksiapan ABK bekerja karena belum mendapat pelatihan yang memadai sebelum berangkat.
ABK Indonesia Diperbudak, Salah Siapa ?
Laporan Greenpeace Asia Tenggara pada 2021 berjudul “Forced Labour at Sea: the Case of Indonesian Migrant Fishers” menyebutkan bahwa ABK asal Indonesia bukan hanya mengalami kekerasan fisik, tapi juga penipuan, penahanan upah dan dokumen, isolasi, intimidasi, dan kerja paksa melebihi waktu yang wajar.
Padahal, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran mengamanatkan perlindungan kepada seluruh pekerja migran, termasuk ABK yang bekerja di kapal asing.
Perlindungan tersebut dimulai dari persiapan keberangkatan yang meliputi pelatihan dan kelengkapan dokumen, selama bekerja, hingga tiba kembali di tanah air.
Namun, masalah lain lagi muncul sepulang mereka ke Indonesia.
Para ABK yang mengalami kekerasan atau penipuan upah tak boleh terlalu berharap kasus mereka diselesaikan secara tuntas oleh para penegak hukum.
Jikalau pun ada pihak agen yang dihukum, misalnya direktur utama suatu manning agency dipenjarakan, belum tentu mereka mendapatkan hak restitusi untuk mengganti kerugian psikis dan materi akibat perbudakan yang mereka alami selama berbulan-bulan. Mereka menjadi korban berkali-kali.
Jika memang harus menunjuk hidung siapa yang turut bersalah atas berjatuhannya ABK Indonesia dalam praktik perbudakan modern ini, maka pemerintah Indonesia salah satunya.
Baca juga: Urgent! ABK Indonesia Butuh Perlindungan Pemerintah Sekarang Juga
Pemerintah telah membiarkan agen-agen penyalur ABK beroperasi tanpa izin yang jelas, tidak memberikan hak perlindungan yang sama pada ABK sebagaimana kepada pekerja migran lainnya, belum menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam rantai penyaluran ABK yang mengarah pada praktik tindak pidana perdagangan manusia ini, serta belum berhasil menjamin keselamatan bagi seluruh warga negaranya sendiri.
Editor: Jibriel Firman
Tanggapan