Konflik Laut Cina Selatan: Perspektif Indonesia dan Kepatuhan pada Hukum Internasional
Sore itu, cuaca sangat bersahabat untuk melakukan aktivitas di pinggir pantai. Aku duduk melamun di bawah pohon kelapa yang rindang sambil membuka selembar koran Tempo yang kubeli di pagi hari. Tajuk berita yang aku baca saat itu adalah mengenai ‘Konflik Laut Cina Selatan’. Sebagai alumni Hubungan Internasional, aku sangat tertartik untuk membaca berita tersebut, karena bagiku isu ini bukan sekedar konflik antara negara, melainkan juga bagaimana hukum internasional memandanganya.
Mungkin bagi sebagian orang, konflik Laut China Selatan tidak terlalu penting, tetapi bagi saya, Laut Utara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan sangatlah penting. Kekayaan alam di Laut Utara Indonesia sangat melimpah, sehingga Indonesia perlu memiliki sikap tegas terhadap persoalan ini.
Namun, sebenenarnya apa yang terjadi dengan konflik Laut Cina Selatan? Mengapa Indonesia perlu peduli dan mengambil sikap? Bagaimana konflik ini bermula hingga akhirnya melibatkan banyak negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia?
Laut Cina Selatan dipandang sebagai perairan dengan sumber daya alam dan hasil laut yang melimpah. Nilai komoditas perairan ini disebut bisa mencapai triliunan dolar. Hal tersebutlah yang kerap memicu sengketa panas terhadap LCS oleh negara-negara kawasan.
Laut Natuna salah satu perairan Indonesia yang di akui oleh Tiongkok sebagai dari wilayahnya, memang memiliki kekayaan sumber daya alam laut yang melimpah. Bagi Indonesia, Laut Natuna sangat bernilai karena kaya akan sumber daya alam, terutama hasil perikanan. Berdasarkan studi identifikasi potensi sumber daya kelautan dan perikanan di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2011, potensi ikan laut di wilayah Natuna diperkirakan mencapai 504.212,85 ton per tahun.
Angka ini hampir mencapai 50 persen dari total potensi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711, yang mencakup Laut Cina Selatan, Laut Natuna, dan Selat Karimata, dengan total potensi mencapai 1.143.321 ton per tahun. Kekayaan sumber daya laut ini juga diakui dalam Putusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.47 Tahun 2016. Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Laut Natuna dihuni oleh berbagai jenis ikan, seperti pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang, udang penaeid, lobster, kepiting, rajungan, hingga cumi-cumi.
Selain kaya akan sumber daya perikananya, laut Natuna juga dikenal memiliki kekayaan situs sejarah. Dalam sebuah jurnal (PDF) yang ditulis oleh Shinatria Adhityatama dan Priyatno Hadi Sulistyarto dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, disebutkan bahwa Natuna memiliki situs karang purba. Di dasar laut tersebut, terdapat banyak peninggalan keramik utuh yang dapat diambil atau bahkan diperdagangkan. Peninggalan tersebut berasal dari berbagai periode, antara lain dari tahun 960 hingga 1279 Masehi pada masa Dinasti Song, serta dari abad ke-17 pada masa Dinasti Qing. Sebagian besar keramik tersebut merupakan barang dagangan dari luar Nusantara atau barang impor pada zaman dahulu.
Beberapa faktor inilah yang mendorong negara seperti Tiongkok untuk berusaha menguasai Laut Natuna, meskipun negara tersebut tidak memiliki hak atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah tersebut. Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) ini tidak hanya melibatkan Indonesia dan Tiongkok, tetapi juga beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. Laut China Selatan merupakan bagian dari laut tepi Samudra Pasifik. Secara geografis, wilayah ini berbatasan dengan Brunei Darussalam, Tiongkok, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam.
Laut China Selatan terletak di perbatasan barat daya hingga timur laut, berbatasan dengan Tiongkok dan Taiwan di utara, Filipina di barat, Malaysia dan Brunei di selatan dan barat, serta Vietnam di timur, Menurut definisi Organisasi Hidrografis Internasional (International Hydrographic Bureuau), garis batas Laut Cina Selatan membentuk pola memanjang dari arah barat darat ke timur laut. Menurut LIPI, batas Laut Cina Selatan menyerupai huruf “U”, dimulai dari perairan Mainan dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan. Cina menandai batas wilayah tersebut dengan garis putus-putus yang dikenal sebagai “sembilan garis putus-putus” (nine-dash line), yang juga disebut “lidah sapi” atau “cow’s tongue“. Luas Laut Cina Selatan sendiri mencapai sekitar 3,685 juta kilometer persegi, menurut data dari Britannica.
Konflik Laut Cina Selatan sudah lama terjadi, namun konflik ini tidak sampai melibatkan negara masing-masing untuk mengangkat senjata. Awalnya Cina mengklaim LCS sebagai bagian dari terirotialnya dengan menggunakan “sembilan garis putus-putus atau bisa disebut sebagai (nine-dash line) yang dibuat sejak 1947. Garis ini membujur dari utara, menabrak laut Filipina, dan terus ke selatan, hingga mencaplok sebagian perairan Natuna milik indonesia.
Namun, Indonesia sendiri tidak mengakui klaim sepihak dari Tiongkok tersebut, Indonesia berpegangan pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982 yang telah diratifikasi lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia salah satunya. Apa sebenernya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) dan mengapa konvensi ini dijadikan rujukan oleh Indonesia dalam mengawal konflik ini.
Oke kita bahas!
Jadi landasan yang digunakan untuk mengatur batas wilayah yurisdiksi laut tersebut adalah United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (Konvensi Hukum laut 1982) atau kerap disebut UNCLOS. Dalam pembukaan Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa konvensi ini merupakan sebuah landasan yang penting untuk pemeliharaan perdamaian, keadilan dan kemajuan untuk rakyat dunia, dimana dalam pembukaan tersebut menekan perlunya konvensi tentang hukum laut yang baru dan dapat diterima secara umum setelah konvensi 1960.
Ketentuan utama dalam UNCLOS 1982 mencakup aturan-aturan hukum internasional yang menjadi dasar bagi kedaulatan negara atas wilayah laut yang berada dalam yurisdiksinya. Selain itu, dalam UNCLOS 1982 juga diatur mengenai kedaulatan penuh atas berbagai zona maritim. Konvensi ini tidak hanya berfungsi sebagai dasar hukum yang mengatur urusan kelautan, tetapi juga memiliki peran penting dalam mendukung stabilitas politik dan keamanan internasional. Salah satu aspek yang berkaitan dengan politik dan keamanan internasional adalah dinamika kawasan Asia Pasifik, yang melibatkan negara-negara di wilayah tersebut, baik terkait sejarah, sengketa perbatasan, maupun isu teritorial.
Konvensi Hukum laut 1982 ini menjadi acuan negara di dunia dalam mengurusi wilayah lautnya masing-masing termasuk Indonesia. Sedangkan dalam konflik Laut Cina Selatan ada beberapa negara yang masih klaim historis atas konflik ini yaitu Tiongkok, Taiwan, Vietnam dan Filipina. Kalau diamati, keempat negara inilah yang sebenarnya saling provokasi dan terlibat insiden-insiden di LCS. Mereka saling klaim tumpah tindih yaitu Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam mereka saling klaim atas wilayah terhadap seluruh Kepulaun Spratly, sementara itu Malaysia, Brunei Darussalam dan Filipina hanya menuntut sebagian pulau-pulau dari kepulauan tersebut. Sedangkan Indonesia menuntut perairan Natuna, sebenarnya Indonesia sendiri sejak awal bukanlah negara pengklaim. Akan tetapi pada 2010, Indonesia menjadi “terlibat” dalam sengketa Laut Natuna, setelah Cina diketahui secara sepihak mengklaim seluruh perairan Natuna. Padahal, di dalam kawasan itu juga ada perairan ZEE Indonesia, yaitu sebuah kawasan di utara Kepulauan Natuna Provinsi Kepulauan Riau.
Cina juga sering diketahui melakukan pelanggaran ZEE seperti melakukan ilegal, unpreported and Unregulated (IUU) Fishing di wilayah teritori Indonesia. Padahal Indonesia sudah sering meminta China untuk patuh terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan UNCLOS PADA 1982 mengenai batas teritori negara masing-masing. Padahal seperti yang kita ketahui Tiongkok adalah salah satu negara yang telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1996 dan Tiongkok juga ikut menandatangani UNCLOS pada tahun 1982.
Seharusnya Cina patuh terhadap UNCLOS ini, mengingat berdasar pada pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, hukum internasional menjadi pedoman global dalam hal pengaturan tingkah laku serta tindakan negara-negara, organisasi internasional dan sejenisnya yang berdasarkan pada sumber hukum internasional dengan definisi sebagai bahan-bahan actual untuk para ahli hukum internasional dalam menetapkan suatu hukum pada suatu sengketa ataupun permasalahan internasional.
Setiap negara, baik yang terlibat dalam suatu perkara maupun yang tidak terlibat dalam sengketa, memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum internasional yang berlaku. Untuk memastikan kepatuhan tersebut, terdapat dua alternatif pendekatan. Pertama, melalui penerapan sanksi, yang dapat berupa sanksi keanggotaan atau sanksi unilateral. Kedua, melalui proses interaksi yang melibatkan justifikasi, diskursus, dan persuasi.
Kedaulatan kini tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang terlepas dari intervensi eksternal, melainkan sebagai kebebasan untuk menjalin hubungan internasional sebagai bagian dari komunitas global. Dengan demikian, kedaulatan yang baru ini tidak hanya mencakup kontrol atas wilayah atau otonomi pemerintahan, tetapi juga pengakuan terhadap status sebagai anggota masyarakat internasional. Oleh karena itu, baik Indonesia maupun Tiongkok memiliki kewajiban untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai dan mematuhi konvensi Hukum Internasional. Kepatuhan terhadap hukum internasional kini bukan hanya didorong oleh ketakutan terhadap sanksi, tetapi juga oleh kekhawatiran terhadap penurunan status dan hilangnya reputasi sebagai anggota yang baik dalam komunitas bangsa-bangsa.
Pelanggaran yang dilakukan oleh suatu negara terhadap hukum internasional adalah suatu kelalaian yang sangat serius. Tindakan tersebut dapat merusak kepercayaan negara-negara lain terhadap negara yang bersangkutan, khususnya dalam konteks menjalin perjanjian di masa depan. Pelanggaran semacam ini juga dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta servanda dalam hukum internasional.
Jadi, konflik Laut Cina Selatan (LCS) memiliki dampak besar terhadap Indonesia, khususnya terkait dengan klaim sepihak yang dilakukan oleh Cina terhadap wilayah Laut Natuna yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Laut Natuna kaya akan sumber daya alam, terutama hasil perikanan, yang sangat penting bagi ekonomi Indonesia. Meskipun Indonesia tidak mengklaim wilayah tersebut sejak awal, Cina menganggapnya sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan “sembilan garis putus-putus”. Indonesia menentang klaim ini dan berpegang pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 yang mengatur batas wilayah laut dan kedaulatan negara atas wilayah maritimnya.
Selain itu, sangat penting untuk Indonesia mematuhi hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa ini tidak hanya didorong oleh keinginan untuk menjaga kedaulatan dan sumber daya alam, tetapi juga oleh keinginan untuk menjaga reputasi sebagai anggota yang baik dalam masyarakat internasional. Pelanggaran terhadap hukum internasional, seperti yang dilakukan oleh China dalam hal ini, dapat merusak kepercayaan negara lain dan mengurangi kemampuan negara tersebut untuk membangun hubungan internasional yang kuat. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa secara damai dan sesuai dengan hukum internasional menjadi sangat penting, baik bagi Indonesia maupun negara-negara lain yang terlibat.
Tanggapan