Sanimong dan Gelombang Perjuangan: Menjaga Laut untuk Generasi Mendatang
Gelombang ombak yang tak pernah lelah menyapu pantai menjadi saksi bisu bagi kehidupan ribuan nelayan di pesisir Nusantara. Di sebuah kampung nelayan di desa Ujung Jaya Pandeglang Banten, seorang pria bernama Sanimong tengah mempersiapkan perahu kecilnya. Perahu itu telah menemaninya selama puluhan tahun, mengarungi samudera demi mencari tangkapan yang semakin sulit ditemukan. Laut adalah napas kehidupannya, tetapi kini laut seolah berubah menjadi arena pertarungan yang tak adil.
“Dulu, ikan gampang dicari. Sekarang? Entah karena apa, hasil tangkapan kami makin sedikit. Kadang, kami pulang hanya dengan tangan kosong,” keluh Sanimong seorang pejuang revolusioner dari Desa Ujung Jaya yang menatap kosong ke arah cakrawala.
Dalam perjuangannya, Sanimong sering mengajak nelayan lain untuk peduli terhadap kelestarian laut. Meski tantangan terus menghantam, dari kerusakan ekosistem hingga dampak perubahan iklim, ia tetap yakin bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil.
Sanimong bukanlah satu-satunya yang merasakan dampak ini. Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 600 juta orang di dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung, bergantung pada laut sebagai sumber kehidupan. Namun, perubahan iklim dan kerusakan ekosistem laut menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup mereka.
Di sisi lain, kehidupan laut yang menjadi sumber utama bagi industri perikanan global juga menghadapi ancaman serius dari praktik bisnis yang tidak selalu memperhatikan keberlanjutan.
Meski inisiatif seperti SEA for All Commitment 2030 tampak menjanjikan, fokus utamanya masih berkisar pada keberlanjutan di tingkat industri. Upaya ini sering kali tidak mencerminkan kenyataan yang dihadapi oleh nelayan kecil, seperti Sanimong di Desa Ujung Jaya, yang justru paling rentan terdampak.
Utari Octavianty, Co-Founder dan Chief Sustainability Officer (CSO) Aruna, menegaskan pentingnya kolaborasi berbagai pihak untuk menyelamatkan laut. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: sejauh mana komitmen ini benar-benar melibatkan nelayan kecil dalam setiap prosesnya? ketika industri besar mulai mendominasi, para nelayan tradisional sering kali tersingkir, kehilangan akses terhadap sumber daya laut yang telah menjadi sandaran hidup mereka selama bertahun-tahun.
Strategi seperti Sustainably Sourced Seafood dan Empowering Stakeholders memang terdengar baik di atas kertas. Namun dalam praktiknya, skema ini kerap terlalu berorientasi pada pasar global, sehingga tidak memperhitungan kapasitas nelayan kecil untuk bersaing. Alih-alih meningkatkan taraf hidup, mereka justru terjebak dalam lingkaran ketergantungan pada perusahaan besar mengontrol harga dan distribusi hasil laut.
Dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem laut akibat eksploitasi besar-besaran untuk memenuhi permintaan pasar internasional. Praktik penangkapan berlebih (overfishing) sering kali dilakukan atas nama efisiensi dan profitabilitas, meski mengatasnamakan keberlanjutan. Hal ini memperparah kerusakan habitat laut dan menurunkan populasi ikan, yang pada akhirnya justru merugikan nelayan kecil seperti Sanimong.
“Kita perlu bertanya: keberlanjutan untuk siapa?” ujar Sanimong. Jika keberlanjutan hanya menjadi alat legitimasi untuk mendukung ekspansi bisnis perikanan besar, maka dampaknya tidak akan pernah benar-benar dirasakan oleh mereka yang bergantung langsung pada laut.
Memang benar bahwa kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan akademisi sangat penting. Namun, tanpa mengutamakan suara nelayan kecil, inisiatif seperti SEA for All Commitment 2030 berisiko menjadi sekadar narasi indah yang melanggengkan ketimpangan dalam sektor perikanan.
Sore hari dengan secangkir kopi bersama Sanimong, dia duduk di tepi pantai sambil di temani goreng pisang dan lagu dari Boetan Tjibalioeng. Ia memandang perahunya dengan penuh harap yang terikat di tepian pantai. Dalam hati, ia berjanji akan terus berjuang, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk anak-cucu yang kelak akan menggantungkan hidup pada laut yang sama.
“Laut adalah rumah kita bersama”, kata Sanimong. “Kalau laut dirusak, bukan hanya nelayan kecil yang kehilangan pekerjaannya, tapi juga generasi mendatang yang akan menanggung akibatnya.”
Tanggapan