Krisis Iklim dan Ekonomi Berkelanjutan Indonesia, Harus Lebih Ambisius dan Stop Solusi Salah

Merespon COP26, kita tidak punya pilihan, krisis iklim sekarang sudah mulai memberikan dampak yang nyata bagi kita semua dan itu sudah diakui secara scientific, sudah diarasakan oleh banyak pihak seperti sekarang kita merasakan banyaknya bencana, 2019 misalnya bencana terbanyak bencana hidrometrologi dan itu sudah diakui bahkan oleh BMKG. Kemudian baru saja kemarin dirilis WMO bahwa Asia memiliki iklim atau suhu terpanas.

Sebagaimanna disampaikan oleh Tata Mustasya (Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara) pada seri diskusi Greenpeace membahas COP 26 pada 28 Oktober 2021 bahwa iklim berdampak kepada ekonomi luar ruang terutama sektor pertanian.

“Iklim ini bahkan dari beberapa analisis mckinsey bahwa suhu panas itu akan berdampak kepada ekonomi luar ruang terutama sektor pertanian. Jika kita berbicara indonesia bahwa 30 juta orang masih bekerja di sektor pertanian, pendapatan domestik bruto kita 13 – 15 % nya masih berasal dari sektor pertanian,” ujar Tata.

“Tombol yang cepat saya rasa kita bisa melakukan transisi energi dari energi fosil terutama batubara ke Energi Baru Terbarukan,” Tata menambahkan.

Transisi Energi, Dari Komitmen Ke Implementasi

Saat ini bermunculan komitmen dan pemerintah akan berangkat ke COP26.

“Ternyata, ketika kita mengabaikan lingkungan pada titik lingkungan, itu tidak hanya lingkungan saja yang rusak tetapi juga berdampak kepada manusianya kepada ekonominya, seperti misalnya kasus naiknya permukaan air laut, itu kan yang terdampak ekonominya, berapa warga yang terdampak, berapa luas yanng terdampak, jadi ekonomi juga tidak akan terbangun yang berkelanjutan jika lingkungannya diabaikan, maka lahir komitmen-komitmen tadi” ucap Tata.

Persoalan transisi energi dikenal juga trilema energi, secara jangka pendek karena banyak hal yang belum dirasa siap. Namun Tata kembali menegaskan bahwa pada jangka panjang proses transisi tersebut haru dikelola.

“Tren global sudah mengarah pada komitmen – komitmen tadi, China mengatakann tidak akan membanngun PLTU batubara baru, Amerika bicara mengenai pendanaan iklim yang memadai, kemudian pak Jokowi juga akan berangkat ke COP dan ini menunnjukan komitmen dari pemerintah Indonesia untuk menangani krisis iklim,” ujar Tata.

Komitmen-komitmen dalam catatan yang disampaikan oleh Tata diantaranya Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping mewakili dua perekonomian dan penghasil emisis terbesar telah menyatakan komitmen untuk mengatasi krisis iklim dan menghentikaan pendanaan PLTU batu bara.

Kemudian Presiden Jokowi sudah menyampaikan sebelumnya bahwa tidak ada lagi pembangunan PLTU batu bara baru. Lalu kunci transisi hijau berada pada “transisi energi’ dan ‘pembiayaan hijau”.

Persoalan utama yang terjadi di Indonesia saat ini adalah bagaimana berangkat dari komitmen kepada implementasi.

Skenario Best RE dari Greenpeace mengacu pada jalur 1,5 derajat untuk mencegah krisis iklim. IPCC merekomendasikan penutupan 80% PLTU phase out sebelum 2040 dan energi terbarukan 50% energi terbarukan di 2030.

“Kalo kita bicara Indonesia, skenario terbaik dari perhitungan Greenpeace, di 2030 kita memang dengan melakukan hal terbaik pun belum berada di jalur yang tepat untuk di jalur 1,5 derajat ya, karena tadi sebetulnya over capacity yang ada dari PLTU batu bara, sehingga space untuk energi terbarukan juga terbatas. Nah kabar baiknya, kita bisa berada di jalur yang tepat di 2050, tapi perlu banyak berubah kebijakan, kita perlu lebih ambisius untuk mendorong energi bersih dan terbarukan yang potensinya sebenernya besar dan bisa memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia,” ucap Tata.

Beberapa hal dalam managing transition yang diuraikan oleh Tata Mustasya diantaranya:

  1. Government driven seperti feed in tarif, insentif, dan kebijakan, kemudian peran kunci BUMN untuk green financing.
  2. Market driven setelah 2030 (Jangan langsung saat ini)
  3. Just transition
  4. Solusi untuk 13,8 GW PLTU
  5. Jangan solusi salah atau mengganggu tujuan jangka panjang (Stop False Solution)

Demi mencapai tujuan jangka panjang yang diantaranya:

  1. Zero emission di 2050 dan mencapai target 1,5 derajat.
  2. Tidak ada lagi PLTU batu bara, fully renewable.
  3. Ketahanan dan akses energi untuk semua.
  4. Industri energi terbarukan dan lapangan kerja.
  5. RE financing di pasar.

Baca juga: COP26, Negara G20 Jadi Sorotan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan