Limbah Produksi Ikan Laut, Salah Satu Solusi Mitigasi Krisis Iklim Indonesia
Artikel ini memberikan solusi untuk mengolah limbah produksi ikan laut menjadi sesuatu yang bernilai bahkan dapat memitigasi krisis iklim.
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang cukup besar dan meliputi 37% dari spesies ikan di dunia.
Berdasarkan estimasi potensi keberlanjutan dari sumber daya ikan laut Indonesia adalah 12.54 juta ton dalam wilayah ZEE setiap tahun-nya. Jika potensi ikan tangkap digabungkan dengan ikan ternak maka potensinya akan berlipat ganda.
Potensi besar ini juga diiringi dengan produksi besar. Pada tahun 2019, total produksi ikan tersebut adalah sebesar 24.5 juta ton.
Menurut Prof. Rokhmin Daruhi, Koordinator Penasehat KKP Bidang Riset dan Daya Saing, 8.6 juta ton atau 30-40% adalah limbah produk ikan Indonesia seperti bagian kepala, tulang, sirip, kulit, duri dan isi perut.
Hal lainnya yang menjadi masalah adalah manajemen perikanan yang buruk sehingga menyebabkan 40% dari makanan laut yang ditangkapi nelayan terbuang sehingga menimbulkan kerugian mencapai 7.28 milyar USD per tahun-nya.
Penggunaan limbah hewan untuk membuat biodiesel bukan sesuatu yang baru, sehingga teknologi penghasil biofuel juga sudah mulai menelusuri sumber daya akuatik sebagai bahan produksi biofuel sendiri yang rendah emisi dan dapat menjadi alternatif dari bahan bakar minyak bumi.
Proses produksi biofuel ini tidak membutuhkan waktu yang lama dan proses-nya juga tidak cukup panjang. Diawali dengan mengambil ekstrak dari limbah ikan, kemudian proses pemisahan air dan minyak dilanjutkan dengan pencampuran minyak dengan methanol dan soda api, setelah-nya bahan bakar ini hanya perlu dipurifikasi kembali dan biofuel siap untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin.
1 Kilogram dari limbah ikan ini dapat menghasilkan 1 liter biodiesel. Produksi-nya pula juga tidak memakan biaya yang besar.
Dalam proses pembuatan nya sendiri, biodiesel ini juga cukup ramah lingkungan karena jika dibandingkan dengan biodiesel dari produk sawit yang cenderung tidak ramah dalam proses penanaman nya sehingga menyebabkan penggundulan hutan besar-besaran, kebakaran hutan, perusakan habitat dan banyak lain-nya.
Sedangkan bahan bakar ini merupakan hasil limbah dalam jumlah besar yang terbuang sia-sia meskipun masih dapat diolah. Sebagai produk, biofuel juga ramah lingkungan.
Dan bertepatan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong penggunaan biofuel sendiri, sektor ini berpotensi menyediakan mata pencaharian baru serta energi baru bagi masyarakat Indonesia.
Pada saat ini, krisis iklim bukan hanya suatu peristiwa mengancam yang masih tampak kabur, dampaknya sendiri sudah mulai banyak dirasakan. Seperti bencana banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan yang akan sering terjadi jika situasi krisis perubahan iklim semakin parah. Bencana ini sendiri sudah menyebabkan kerugian-kerugian besar yang mengganggu proses pembangunan.
Dampak krisis perubahan iklim ini juga tidak mengenal batas yang mempengaruhi tidak hanya sektor perikanan ataupun agrikultur saja, tetapi juga kesehatan masyarakat hingga sumber air. Teror dari krisis iklim hanya dapat dikurangi dan dimitigasi dengan peralihan ke biofuel sebagai bahan bakar pengganti. Tentunya, untuk menghadapi peristiwa krisis iklim, solusi ini bukan satu-satunya yang perlu diambil, karena sebagai satu peristiwa besar, upaya-upaya lain-nya juga diperlukan dan diimplementasikan beriringan dengan penggunaan biofuel sendiri.
Baca juga: Pengelolaan Potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia Dan Konsep Bisnis Hijau
Editor: Jibriel Firman
Sumber:
As, Agus P., Humairani. R., Purnama N.R. & Ayuzar. E., (2020), “Marine Fisheries and Aquaculture Production of Indonesia: Recent Status of GDP Growth Review Article,
Dahuri, Rokhmi., Tokoh Kita
“Fish Waste,” Food and Agriculture Organization of United Nations
Preto, F. et al., (2008)
Bappenas RI
Tanggapan