Ekosistem Mangrove dan Kaitannya dalam Mitigasi Pemanasan Global

Pemanasan global kerap dijadikan sebagai bahasan nasional mau pun internasional karena semakin meningkatnya ancaman dari fenomena tersebut akhir-akhir ini.

Terganggunya keseimbangan bumi dan aktivitas manusia menjadi beberapa contoh dari sekian banyaknya penjabaran mengenai dampak negatif dari pemanasan global. Seperti yang dirasakan dewasa ini, pemanasan global menjadi semakin terlihat melalui kenaikan suhu, perubahan iklim, dan meningkatnya permukaan laut.

Salah satu yang menjadi pemicu terbesar pemanasan global adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer. Maka dengan kata lain penyebab paling umum dari pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil, contohnya minyak bumi dan batu bara yang akan melepaskan karbondioksida ke atmosfer.

Keadaan atmosfer yang kaya akan gas rumah kaca akan mengakibatkan panas matahari terjebak di permukaan bumi karena terus dipantulkan oleh gas rumah kaca tersebut.

Berbagai macam usaha dan aktivitas telah dikerahkan untuk menekan semakin parahnya efek dari pemanasan global guna mengantisipasi segala dampak buruk bagi kondisi lingkungan dan manusia.

Mangrove di Pantura. / Foto: Galeh Kholis Pambudi

Namun menelisik lebih dalam, ekosistem pesisir pantai disinyalir memiliki kemampuan dalam mitigasi pemanasan global. Ekosistem mangrove dikenal mampu menyimpan karbon lebih banyak ketimbang ekosistem hutan lainnya.

Hutan mangrove tumbuh pada daerah pasang surut, tepatnya pada tanah berlumpur yang memiliki habitat pada air yang tergenang. Dalam siklus hidupnya, ekosistem mangrove sangat bergantung pada pengaruh lingkungan sekitar, seperti daerah hidupnya, suhu, pH, dan salinitas.

Umumnya suhu ideal agar mangrove bisa tumbuh dengan baik berkisar antara 28 – 30 derajat celcius. Sementara kisaran pH yang sesuai adalah 6 hingga 8,5. Dalam menunjang perkembangannya, salinitas yang baik untuk mangrove yaitu 23 – 26‰.

Fungsi ekosistem mangrove sebagai penyerap karbon dimulai melalui proses fotosintesis. Ketika berada pada tahap fotosintesis, karbondioksida sangat dibutuhkan oleh tumbuhan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk biomassa.

Karbondioksida tersebut pada pohon akan diubah menjadi karbohidrat yang kemudian akan disimpan pada bagian-bagian tumbuhan seperti akar, batang, dan daun. Fakta lainnya adalah 40% biomassa tersebut berupa karbon, dengan begitu ekosistem pesisir ini telah memberikan manfaat lingkungan untuk mengurangi pemanasan global.

Melansir dari Badan Pusat Statistik, ekosistem mangrove di Indonesia memiliki luasan mencapai 3,63 juta hektare, dengan 1,63 juta hektare berada di Papua. Namun berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diperkiran bahwa luas daerah ekosistem mangrove di Indonesia akan terus berkurang setiap tahunnya.

Perkiraan pengurangan tutupan mangrove menurut deforestasi bersih (net deforestation) sebesar 12.828 hektare, sementara jika didasarkan pada deforestasi kotor (gross deforestation) mencapai 26.144 hektare.

Ekosistem Mangrove yang dikembagkan untuk pariwisata.

Berbagai aktivitas manusia seperti pembangunan pemukiman, pembuatan lahan tambak, dan pendirian industri-industri menjadi pemicu berkurangnya lahan mangrove setiap tahun. Sejauh ini, seluas 710 hektare daerah kawasan mangrove telah dialihfungsikan sebagai daerah pemukiman dan tambak.

Mengingat urgensi yang ada terkait pemanasan global, sudah dipastikan jika ekosistem mangrove memiliki peran penting dalam proses mitigasi. Maka dari itu, tahap rehabilitasi dan pengawasan perlu dilakukan untuk mengontrol luasan ekosistem hutan mangrove agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan ilegal.

Kerja sama dua arah antara dukungan pemerintah dan kesadaran masyarakat terkait menjadi salah satu faktor penting untuk mencegah semakin parahnya degradasi mangrove. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga kawasan mangrove di antaranya melakukan penanaman dan pemeliharaan.

Tantangan yang sudah lumrah namun sangat sulit dikondisikan adalah kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan. Berbagai kegiatan manusia dengan memanfaatkan lahan ekosistem mangrove secara berlebihan, enggan melakukan rehabilitasi, dan susahnya untuk tidak membuang sampah sembarangan merupakan hal-hal yang harus dibenahi. Maka dari itu sangat diperlukan kesadaran dan komunikasi dari pemerintah, lembaga-lembaga lingkungan hidup, dan masyarakat.***

Baca juga: Cerita Penyesalan Sang Pemburu dan Rusaknya Ekosistem Mangrove

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan