Panglima Laot Aceh dan Pandangan Kacamata yang Rusak

panglima laot

Panglima Laot merupakan struktur adat yang hidup di tengah masyarakat nelayan di Provinsi Aceh. Keberadaanya sudah dikenali lebih dari empat abad lalu, tepatnya sejak masa Sultan Iskandar Muda.

Melihat dari sisi sejarahnya, Panglima Laot sudah ada sejak abad ke-16 di era Kerajaan Aceh Darusasalam. Saat itu, Panglima Laot berfungsi mengatur dan memimpin angkatan perang. Saat ini Panglima Laot berfungsi dalam adat sebagai pemimpin di desa-desa pesisir. Termasuk dalam perannya, adalah mengatur cara penangkapan ikan, menengahi sengketa diantara nelayan, hingga jika ada persoalan pencurian ikan oleh pihak luar.

Panglima Laot kemudian menjadi bagian dari struktur pemerintahan adat yang disebut mukim, gabungan dari beberapa gampong (setara desa atau kelurahan). Saat ini yang menjadi polemik dari masyarakat Aceh sendiri mengenai bagaimana kabar ataupun kejelasan peran Panglima laot di Aceh sekarang terhadap fungsinya sebagai seorang Panglima laot.

panglima laot
Foto: Shella Devi

Panglima Laot sendiri menegakan aturan adat laut dan memberikan sanksi bagi pelanggar. Sanksi dapat berupa penyitaan hasil tangkapan hingga membayar denda dan pelarangan melaut untuk jangka waktu tertentu. Dan hal ini sudah tertera dalam legitimasi UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyusul Qanun Nomor 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat dan Nomor 10/2008 tentang Lembaga Adat.

Hal inilah yang menjadi bentuk nyata rasa kepedulian dari pemerintah Aceh terhadap laut dan Kehidupan Pesisir. Namun melihat era sekarang banyak masyarakat yang memandang bahwa Panglima Laot tidak begitu menarik dikarenakan banyak faktor faktor yang menjadi pemicu bahwa peran Panglima Laot sekarang tidak benar.

Contohnya kita ketahui bahwa dahulu, Panglima Laot memiliki karisma, wawasan dan berpengetahuan. Sekarang, Pengetahuan mengenai hukum adat laut kian tergerus, khususnya di generasi yang lebih muda.

Seharusnya pemuda di era sekarang lebih pintar memahami kepentingan mengapa dibentuknya Panglima Laot dalam menjaga wilayah pesisir Aceh. Dan mereka harus memahami inilah yang menjadi perbedaan antara daerah lain dengan Aceh dalam menjaga rasa cinta masyarakat aceh dengan laut yang telah memberikan kelengkapan dalam kebutuhan mereka.

Tanggung jawab yang diemban Panglima Laot tidak disokong kapasitas yang setara. Hal inilah yang seharusnya menjadi pembicaraan serius terhadap kepengurusan kelembagaan adat laot dan pemerintahan terutama bagi pengelolaan kehidupan pesisir agar menjadi penguatan kelembagaan dan memperbaiki pandangan masyarakat yang mengganggap Panglima Laot tidak memiliki fungsi yang benar dan optimal di era sekarang dan yang akan datang. Dan bukan hanya faktor dari segi pandangan saja namun juga dari segi kemajuan teknologi yang hampir menyingkirkan peran panglima laot di provinsi Aceh.

Panglima Laot sendiri tidak tergeser dan hilang di provinsi Aceh. Sebagian wilayah pesisir Aceh masih mempercayai panglima laot untuk suguhan informasi bagi nelayan baik itu untuk pergi menangkap ikan di laut atau hal lainnya yang bersangkutan dengan kepentingan laut di daerah pesisir Aceh yang mana sesuai dengan ketentuan hukum adat laut.

Tak hilang, peran panglima laot sungguh-sungguh akan tetap terjaga demi menjaga tata kelola kehidupan laut di wilayah pesisir Aceh. Sebenarnya inilah bukti nyata keistimewaan provinsi Aceh yang sangat mencintai dan menyayangi laut yang memberikan warna hidup bagi masyarakat Aceh.

Panglima Laot dianggap sebagai salah satu sistem adat yang paling lestari di nusantara. Seperti berdialog, laut memberikan warna kehidupan untuk masyarakat Aceh dan masyarakat Aceh mengucapkan terima kasih pada laut dengan adanya peran Panglima Laot yang menjaga laut di wilyah pesisir Aceh.***

Baca juga: Kisah Nelayan Tradisional dari Teluk Lhok Seudu Aceh Barat

Editor: J. F. Sofyan

Foto Thumbnail: Shella Devi

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan