Menghadapi Tantangan Ekonomi Laut Berkelanjutan, Bagaimana Progresnya di Indonesia?

Sebagai negara maritim dengan luas lautan mencapai 75 persen dari jumlah total luas wilayahnya, Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar. Sektor perikanan pun menjadi salah satu penunjang perekonomian nasional.

Berdasarkan data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai Rp 73.681.883.000 pada tahun 2019. Angka tersebut menunjukkan kenaikan hingga 10.1% dari tahun sebelumnya. 

Di sisi lain, untuk menjaga potensi laut dengan berbagai kekayaan yang terkandung di dalamnya, maka diperlukan pula sistem yang berkelanjutan agar bisa menciptakan laut yang sehat sekaligus ekonomi yang berkembang. Salah satu komitmen yang ditunjukkan oleh Indonesia dalam menerapkan sistem berkelanjutan pada lautnya adalah dengan menjadi partisipan dalam forum High Level Panel for Sustainable Ocean Economy.

Forum tersebut bersama dengan 13 pemimpin dunia lainnya, seperti Kanada, Norwegia, hingga Palau. Melalui forum tersebut Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk memulihkan kesehatan laut sekaligus membangun ekonomi berkelanjutan. 

Berbagai upaya perlu untuk dilakukan dalam menguatkan komitmen tersebut mengingat lautan di Indonesia mulai tidak sehat dengan berbagai permasalahannya. Berdasarkan laporan dari World Bank, sekitar 38 persen dari ikan yang ditangkap merupakan hasil dari praktik overfishing, sekitar sepertiga dari terumbu karang di Indonesia berada dalam kondisi kurang baik, dan mangrove yang merupakan suatu ekosistem penting dengan berbagai manfaatnya untuk kehidupan laut mengalami pengurangan yang besar hingga lebih dari setengahnya.

Selain itu, sampah laut menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia senilai lebih dari USD 450 juta setiap tahunnya. Kondisi lautan dan sektor yang bekerja di sekitarnya diperparah oleh pandemi Covid-19, menyebabkan menurunnya harga ikan, pariwisata, dan naiknya limbah medis yang berakhir di banyak pantai.

Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Ekonomi Laut Berkelanjutan

Dalam mengimplementasikan ekonomi laut yang berkelanjutan, terdapat lima bidang yang dibahas dalam laporan High Level Panel for Sustainable Ocean Economy, yaitu mengenai kekayaan laut (ocean wealth), kesehatan laut (ocean health), laut yang adil (ocean equity), pengetahuan laut (ocean knowledge), dan pembiayaan laut (ocean finance).

Setiap elemen yang terkandung dalam kelima bidang tersebut harus direalisasikan untuk mencapai target rencana laut berkelanjutan pada tahun 2030. Lalu, bagaimana Indonesia memegang komitmennya itu?

Sejauh ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Rapat Kerja Nasional tahun 2021 menyatakan bahwa terdapat tiga program terobosan yang berorientasi pada keberlanjutan sumber daya laut dan perikanan nasional.

  • Pertama, peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam perikanan tangkap.
  • Kedua, perikanan budidaya untuk kesejahteraan. Ketiga, pengembangan kampung budidaya berbasis kearifan lokal untuk pemulihan ekonomi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, KKP juga menguatkan komitmennya dengan aktif dalam kerja sama internasional, seperti membangun hubungan bilateral dengan Australia di bidang pemberantasan IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) Fishing melalui operasi AUSINDO dan IAFSF (Indonesia-Australia Fisheries Surveillance Forum) dan dengan Malaysia melalui operasi MALINDO. 

Namun, pemerintah juga tidak terlepas dari kebijakan yang bertolak belakang dari ekonomi laut berkelanjutan. Baru-baru ini sempat terjadi polemik kebijakan ekspor benih lobster yang dinilai bersifat eksploitatif. Sebelumnya, kegiatan ekspor benih lobster memang dilarang, hingga akhirnya dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) yang kontroversial.

Bukan hanya itu, KKP juga memperbolehkan 8 jenis alat tangkap ikan yang mana salah satunya adalah cantrang. Permasalahan terhadap kebijakan itu, dilansir dari mongabay.co.id, pemakaian cantrang tidak sesuai dengan orientasi ekonomi laut berkelanjutan karena dapat mengancam keberlangsungan ekosistem, keberlanjutan SDI, bahkan bisa memicu konflik sosial yang dapat terjadi di sentra-sentra produksi perikanan tangkap nasional.

Perlu diingat bahwa “Terwujudnya Masyarakat Kelautan dan Perikanan yang Sejahtera dan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan yang Berkelanjutan” untuk mewujudkan “Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, berlandaskan Gotong Royong” merupakan Visi KKP 2020-2024 yang telah ditetapkan.

Berbagai kebijakan yang ditetapkan seharusnya merupakan cerminan dari komitmen dalam mewujudkan visi tersebut yang sejalan dengan tujuan dari forum High Level Panel for Sustainable Ocean Economy.

Berbagai kebijakan seharusnya dikaji pula dampaknya dari segi ekologi dan tidak semata-mata bisa bersifat eksploitatif untuk memenuhi tuntutan ekonomi. Dengan kelautan dan perikanan yang kaya, Indonesia masih harus terus mengoptimalkan kebijakan-kebijakan yang mampu mencapai tujuan dari ekonomi laut berkelanjutan.

Editor: Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan