Dilema Ekonomi dan Lingkungan di Raja Ampat, Paradise or Para-dice?

Raja Ampat: Surga Pariwisata dan Penelitian
Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, ia adalah laboratorium hidup bagi studi keanekaragaman hayati dan konservasi. Terletak di ujung barat Pulau Papua, gugusan lebih dari 1.500 pulau dan pulau kecil ini mengapit perairan yang dianggap “jantung” Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), kawasan dengan koral dan spesies ikan terumbu terbanyak di dunia.
Menurut Indonesiakaya, perairan Raja Ampat menampung sekitar 75% dari total spesies koral global, dengan lebih dari 1000 spesies ikan karang dan puluhan spesies mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba yang melewati arus nutrient-rich. Arus laut yang kuat membawa plankton dan nutrisi, menciptakan habitat subur untuk komunitas karang yang kompleks serta aneka biota laut, mulai dari hiu dan pari manta.
Namun keindahan itu dibayangi oleh tantangan besar: tekanan pariwisata yang terus meningkat, praktik penangkapan ikan tak berkelanjutan, hingga yang saat ini sedang ramai yaitu pertambangan.
Berapa persen Pertambangan Laut Menyumbang?
Pertambangan di Raja Ampat sebaiknya patut dipertahankan atau dihentikan? Sebelum menuju pada jawaban pertanyaan ini, sebaiknya kita berbicara menggunakan data yang ada. Pertambangan yang masih aktif dan masih jadi perbincangan adalah yang dimiliki oleh PT Gag Nikel yang berada di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. PT Gag Nikel diketahui merupakan merupakan anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).
Mengutip dari katadata.co.id dari bahan presentasi ANTM pada investor pada kuartal I 2025, PT Gag Nikel memiliki cadangan nikel terbesar ketiga diantara tambang nikel lainnya milik ANTM dengan cadangan sebesar 56 juta wet metric tonne (wmt) dengan sumber daya sebesar 320 juta wmt.
Masih dari sumber yang sama, dikatakan bahwa PT Gag Nikel berkontribusi hingga 30% dari total biji nikel yang diproduksi oleh ANTM. Nilai ini tentu sangat tinggi untuk produksi nikel dari ANTM itu sendiri. Sedangkan, pada tahun 2024 nikel berkontribusi sebesar 14% secara keseluruhan dari total pendapatan ANTM.
Namun, jika dilihat dari sisi ekonomi maritim nikel tergabung dalam klaster sumber daya mineral maritim (pertambangan dan penggalian maritim). Secara ekonomi maritim, pada laporan kemenkomarves (2023), sumber daya maritim hanya berkontribusi 3-5 persen saja terhadap PDRB Maritim Indonesia di tahun 2017-2021. Namun nilainya terus meningkat dan mencapai pertumbuhan tertinggi di tahun 2021. Untuk nilai di tahun 2022 hingga 2024 sampai saat ini belum ditemukan datanya, namun jika dilihat dari progres tahunan kontribusi klaster ini, dirasa nilainya akan meningkat.
Seberapa Berbahaya Tambang Nikel?
Dalam penelitiannya di Konawe Utara Saputro, dkk (2024) melihat betapa seriusnya dampak limbah tambang nikel terhadap ekosistem laut kita. Limbah ini, yang sarat logam berat dan bahan kimia berbahaya, meresap ke dalam air laut dan tanah di sekitarnya, menciptakan polusi yang nyata.
Akibatnya, ikan dan makhluk laut lain yang tak berdosa terpapar zat-zat beracun, sehingga kelangsungan hidup mereka terusik. Terumbu karang yang sejatinya menjadi rumah bagi ribuan spesies laut mulai memudar dan memutih karena kualitas air yang kian memburuk. Ini bukan hanya soal keindahan alam, tapi soal kelangsungan hidup masyarakat pesisir.
Ketika populasi ikan menurun, sumber penghidupan nelayan setempat ikut terancam, begitu pula ketahanan pangan keluarga yang menggantungkan diri pada hasil laut. Kualitas air dan lumpur dasar laut yang menurun semakin menggerus fondasi habitat alami kita. Mari bersama-sama angkat suara demi laut yang lebih bersih, sehat, dan lestari bagi generasi sekarang dan masa depan.
Hal yang sama diungkapkan Syarifuddin (2022) dalam penelitiannya di Kabupaten Morowali, bahwa Limbah tambang nikel merusak terumbu karang dengan cepat. Ditambah dengan limbah air dari pembangkit listrik batu bara pada kawasan IMIP telah mencemari pesisir pantai terdekat.
Mari Jaga Laut Kita
Raja Ampat adalah cermin masa depan konservasi laut. Ekosistem luar biasa ini bisa selamat jika semua unsur komit menjalankan praktik berkelanjutan. Observasi lapangan terus menjadi kunci, tetapi yang tak kalah penting adalah membangun kesadaran kolektif bahwa setiap terumbu karang dan spesies laut di sana adalah aset tak ternilai bagi kelangsungan ekosistem lautan dunia.
Kontribusi sumber daya mineral maritim yang hanya sebesar 4,88 persen di tahun 2021 sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan dengan penyumbang nilai Ekonomi Maritim Indonesia lainnya, yaitu perikanan dan budidaya maritim (29,11 persen), lalu sumber daya energi maritim (24,98 persen), dan transportasi dan aktivitas penunjang maritim (9,78 persen).
Seperti sebuah mata dadu yang memiliki enam wajah, kalau tujuan pemerintah adalah dengan meningkatkan ekonomi terutama dalam bidang kemaritiman, kita bisa menggunakan sisi wajah perikanan tangkap dan budidaya maritim untuk mendapat perhatian lebih dan penguatan dalam nilai produksinya, mengingat besarnya nilai dan kontribusi klaster tersebut dalam nilai ekonomi maritim di Indonesia. Mungkin dengan penguatan regulasi serta penambahan inovasi sedikit saja, nilainya akan berdampak besar pada nilai ekonomi maritim yang diberikan. Harapannya secara kasar bisa menutup perlahan mata dadu lainnya, yaitu 4,88 persen yang berasal dari sumber daya mineral maritim. Sehingga pertambangan dan penggalian maritim dapat dikurangi demi laut Indonesia yang lebih baik, mari ikut bersama mengawasi laut kita.
Sitasi:
Laporan Hasil Perhitungan Produk Domestik Bruto Maritim Indonesia 2017-2021, Kemenkomarves & BPS.
https://ejournal.itats.ac.id/senastitan/article/download/5632/3822
https://katadata.co.id/finansial/bursa/6848d503814d7/izin-pt-gag-nikel-di-raja-ampat-tak-dicabut-ini-kontribusinya-ke-bisnis-antam
https://journal.unhas.ac.id/index.php/jrt2k/article/download/24035/8927
Sumber gambar:
https://pixabay.com/id/photos/cotage-raja-ampat-indonesia-papua-5321333/
Tanggapan