Gelombang Baru di Perairan Batam, Melawan Sampah Plastik dengan Atap dan Penghalang

Aroma laut di Tanjung Uma, Batam, pada akhir Agustus lalu, bercampur dengan semangat yang berbeda. Bukan hanya angin yang membawa bau garam, tapi juga gelak tawa dan bunyi palu berirama. Di sana, sekelompok sukarelawan dari Jebsen & Jessen Group berdiri di atas sebuah rumah komunitas, dengan hati-hati menata lembaran demi lembaran genteng baru. Genteng itu bukan dari tanah liat atau seng, tetapi dari 100 persen plastik laut yang didaur ulang. Setiap lembarannya adalah cerita tentang botol dan kemasan yang diselamatkan dari laut, lalu diubah menjadi pelindung bagi keluarga di bawahnya.
Ini bukan sekadar aksi bersih-bersih. Ini adalah babak dari sebuah misi yang lebih besar. Konglomerat industri itu menggandeng Seven Clean Seas, organisasi pecinta laut yang berbasis di Singapura, dalam proyek sukarela selama seminggu. Mereka menyebutnya Meet a Need. Memenuhi sebuah Kebutuhan. Kebutuhan akan atap yang aman, menggantikan asbes berbahaya. Kebutuhan akan sungai yang bersih. Dan yang paling utama, kebutuhan akan harapan.


Proyek di Batam ini adalah inisiatif sukarelawan terbesar yang pernah ditangani Seven Clean Seas. Ia adalah simfoni dari banyak hal pembersihan, daur ulang, edukasi, dan yang paling penting, solusi. Mereka tidak hanya mengambil sampah, mereka memutus mata rantainya.
Di Sungai Bengkong, salah satu arteri air yang paling tercemar di Batam, mereka memasang penghalang sungai (river barrier). Sebuah struktur yang dirancang untuk menyaring dan menahan sampah plastik sebelum hanyut ke laut lepas. Penghalang itu seperti benteng pertahanan terakhir, diperkirakan mampu mencegah ribuan kilogram sampah plastik mengotori ekosistem laut setiap tahunnya.
Heinrich Jessen, Ketua Jebsen & Jessen Group, melihat kemitraan ini sebagai bagian dari DNA perusahaannya. “Komitmen kami atas keberlanjutan merupakan bagian dari apa pun yang kita lakukan,” katanya. Kemitraan ini memungkinkan mereka untuk terlibat langsung, menciptakan dampak yang terukur bukan hanya untuk lingkungan, tapi juga untuk komunitas.
Dampak itu terlihat nyata. Selama 12 bulan ke depan, kelompok ini akan mendanai operasi untuk mengangkat 32.500 kg plastik dari komunitas Batam. Proses pemulihan ini bukan hanya soal mengangkat sampah. Ia dirancang untuk mengangkat taraf hidup. Sekitar 80 orang akan merasakan dampak ekonominya melalui terciptanya lapangan kerja baru di sektor pengumpulan sampah dan program edukasi.
Tom Peacock-Nazil, Pendiri dan Direktur Utama Seven Clean Seas, menekankan bahwa kolaborasi skala seperti inilah kunci kemajuan. “Dengan menggabungkan komitmen dan sumber daya Jebsen & Jessen dengan keahlian kami di lapangan, kita bisa mencegah lebih banyak plastik masuk ke laut, mengubahnya menjadi material berharga, dan sekaligus memberdayakan komunitas lokal,” ujarnya.
Edukasi menjadi tulang punggung dari semua aksi ini. Sebelumnya, pada awal tahun, webinar edukasi telah melibatkan 500 karyawan Jebsen & Jessen dari berbagai negara. Hasilnya nyata. Sebanyak 340 karyawan kemudian menyerahkan komitmen tertulis untuk meninggalkan botol plastik sekali pakai dan beralih ke wadah yang bisa digunakan kembali.
Sementara di Batam, edukasi dilakukan langsung kepada masyarakat. Mereka diajak memahami dampak polusi plastik dan diberi pengetahuan untuk memberdayakan diri. Aksi bersih-bersih bersama dan kunjungan ke Fasilitas Pemulihan Material menjadi ruang kelas tanpa dinding, tempat sampah dilihat bukan sebagai masalah akhir, tetapi sebagai sumber daya yang keliru tempat.
Ahmadi Awang, Sekretaris Distrik di Tanjung Uma, menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam. “Dukungan mereka sangat berarti bagi komunitas kami,” katanya, mewakili warga yang merasakan langsung sentuhan perubahan itu.
Inisiatif di Batam ini adalah sebuah titik dalam peta perjalanan panjang Jebsen & Jessen. Sebuah perusahaan yang sudah mencapai netralitas karbon sejak 2011 dan terus memperluas komitmen hijaunya. Mereka tidak hanya memasang panel surya di fasilitasnya, tetapi kini juga memasang genteng daur ulang di rumah-rumah warga dan membentengi sungai-sungai Indonesia.
Mereka membangun gelombang baru. Sebuah gelombang yang tidak datang dari laut, tetapi justru hendak menyelamatkannya. |WAW-LSID

Tanggapan